Alex 27 tahun, karyawan swasta
Lepas SMA, aku diterima kerja di
perhotelan. Bagian pramusaji di café. Di sana,
aku bertemu dengan sekian banyak orang yang berbeda latar belakang. Ada pengunjung yang memang
murni menginap di hotel. Sebagian yang lain, ada yang memanfaatkannya untuk
menikmati gemerlapnya dunia malam.
Kerja di café sendiri, kurasakan
mengandung banyak resiko. Aku sering melihat teman-teman dipukul, dibentak atau
diberlakukan dengan kasar oleh preman yang mabuk. Terlebih bila kami,
pramusaji, harus mengantarkan makanan atau minuman ke night club, segala
kemungkinan bisa terjadi.
Suatu ketika, ada seorang teman
yang betisnya ditembak oleh Rio, pentolan preman.
Hanya karena alasan yang sepele. Rio mabuk. Secara
tak sengaja temanku menyinggung perasaannya. Penembakan itu menjadi berita
besar di media massa.
Melihat segala kemungkinan buruk
juga bisa menimpaku, aku mengiyakan saja, ketika teman-teman mengajak ke dukun.
Dalam hati, aku hanya ingin menemani mereka. Tidak terbetik sedikit pun
keinginan untuk mencari ilmu kebal, atau ajian pengasihan. Anehnya, setiap kali
menemani teman ke dukun, aku selalu ditawari dukun ilmu kesaktian tanpa harus
membayar.
Tawaran itu senantiasa kutolak.
Ketika ke Lampung misalnya, teman-teman minta diajari ilmu kesaktian. Aku
sendiri yang tidak meminta. Tapi teman-teman tidak ada yang dikasih. Anehnya,
aku yang justru ditawarinya. Aku tidak tahu mengapa dia ingin mewariskan
ilmunya kepadaku. Padahal kami baru bertemu. Tujuanku kesana juga sekadar
menemani teman. Tidak lebih.
“Malam ini kamu tidur saja di
kamar saya, nanti ilmu saya itu nurun sama kamu,” kata dukun yang sudah
paruh baya itu dengan serius. Tapi aku tidak mau. Bukannya apa-apa, aku memang
tidak ingin menjadi orang sakti.
Di Palembang pun sama. Entah
mengapa beberapa dukun yang kukunjungi selalu ingin mengajarkan ilmunya. Hingga
suatu ketika ada yang memberiku sebuah batu cincin. Ia tidak mengajarkan
apa-apa. Hanya mengatakan, “Kamu tidak perlu tahu kekuatan batu ini. Kalau kamu
tahu nanti kamu takabur. Biar nanti kamu rasakan sendiri.”
Batu seukuran dengan batu permata
yang menghiasi cincin itu berwarna putih dengan rona kebiru-biruan di
tengahnya. Batu itu kusimpan saja dalam dompet. Tidak kukeluarkan atau
kubuatkan cincin.
Aku merasa biasa saja. Tidak
merasakan adanya keanehan setelah menyimpan batu putih itu. Hanya saja, Bondan,
salah seorang teman yang sering mengajakku ke dukun keheranan ketika main ke
rumahku.
“Kamu pegang apa sih,
kok rumahmu rasanya beda?” tanyanya.
“Nggak. Aku nggak pegang
apa-apa. Hanya ada batu ini,” kataku setengah tidak percaya. Lalu kuambil batu
putih itu dari dompet dan kutunjukkan pada Bondan. Setelah sekian lama
mengamati cincin itu, Bondan mengakui bila batu itu memang ada ‘isinya’.
Kerja di café itu sistimnya
sip-sipan. Kadang masuk siang, lain kali tugas malam. Ketika bertugas malam itu
secara tak sengaja aku menyinggung perasaan Rio.
Preman yang dulu pernah menembak temanku. Aku tak sadar apa yang telah
kulakukan, yang jelas, tiba-tiba Rio yang lagi
mabuk itu mencabut pistolnya. Ia merengkuh badanku dan menempelkan ujung
pelatuknya di kepalaku.
Untuk sesaat aku terperangah. Tak
tahu apa yang harus dilakukan. Sementara orang-orang di sekelilingku secara
reflek menyingkir. Mereka membiarkan kami berdua di tengah arena. Seakan kami
adalah sepasang petarung di tengah arena yang dikelilingi penonton.
Hening dalam kebisuan. Sontak
semuanya terdiam. Sesaat kami beradu pandang. Rio
menatap mataku lekat-lekat, dengan jemari tengah siap mengokang pelatuk. Hingga
tiba-tiba ia memelukku. Ia sarungkan pistolnya lalu memelukku sambil menangis. “Kamu
adalah adikku,” katanya di tengah isak tangisnya.
Sontak semua yang mengelilingi
kami keheranan. Mereka tidak menduga Rio
bersikap seperti itu. Aku sendiri keheranan mengapa itu bisa terjadi. Setelah
kejadian malam itu, aku bersikap biasa saja ketika bertemu Rio.
Ia pun tidak lagi pedulikan diriku. Mungkin apa yang terjadi di malam itu
karena pengaruh minuman keras, hingga Rio
tidak menyadari apa yang telah dilakukannya.
Seorang wanita night club
nekat mau bunuh diri
Kerja di hotel memang banyak
cobaannya. Dari yang namanya narkoba hingga main perempuan. Terus terang, di
mata wanita, katanya, aku tergolong tampan dengan postur tubuh yang atletis. Di
tengah lingkungan seperti itu, tidak sedikit wanita yang tertarik kepadaku.
Bahkan ada yang sampai
tergila-gila. Lusi namanya. Ia wanita simpanan seorang pejabat tinggi. Mereka
sering menginap di hotel. Sesekali aku yang mengantarkan makanan ke meja
mereka. Hingga akhirnya Lusi terpikat kepadaku.
Suatu malam, Lusi datang sendiri
ke hotel. Ia mencariku. Dan secara terus terang mengatakan ketertarikannya
kepadaku. Waktu itu, aku masih nakal. Kuterima tawarannya, karena aku terpikat
dengan uangnya. Selama itu, aku tidak pernah menggunakan ajian pelet atau
apalah namanya untuk menggaet wanita. Tapi entah mengapa begitu mudah mereka
tertarik kepadaku.
Demikian juga dengan Lusi, aku
tidak pernah memeletnya. Setelah hubungan kami berjalan beberapa saat, pejabat
itu mencium hubungan gelap antara diriku dengan Lusi. Ia datang sendirian ke
hotel dan memintaku datang ke kamarnya. Di sanalah aku disidang dengan pistol
di atas meja. Aku ditanya macam-macam tentang hubunganku dengan Lusi, tapi aku
menyangkalnya. Kukatakan bila hubungan kami sebatas tamu dan pelayan hotel.
Aku merasa hidupku terancam.
Pejabat itu memang berkata, “Aku tidak akan ngapa-ngapain sama kamu,”
tapi ia mengatakan itu sambil meletakkan pistolnya di atas meja. Hati siapa
yang tidak mengkerut. Ia memang tidak mengancam akan mencelakakanku. Tapi bisa
saja, ia mengirim anak buahnya.
Aku mulai menjaga jarak dengan
Lusi, hingga akhirnya Lusi meninggalkan pejabat tersebut. Mungkin ia juga
diinterogasi seperti diriku. Setelah putus, Lusi datang menemuiku. Dia ingin
agar hubungan kami terus berlanjut, tapi aku menolaknya. Aku tidak mau, karena
aku merasa hidupku terancam bila masih berdekatan dengannya.
Lusi kecewa. Sedemikian kesalnya,
hingga ia membanting hand phonenya. Arloji yang sedianya diberikan
kepadaku juga diinjak-injak dengan sepatu haknya yang tinggi. Ia menangis dan
merengek agar aku tidak memutuskan hubungan.
Tapi aku kekeh menolak. Aku tidak
menganggap main-main ancaman pejabat itu. Aku belum siap mati. Setidaknya saat
itu. Sampai akhirnya Lusi berniat mengakhiri hidupnya, ia mengambil potongan
kaca dan hendak memotong urat nadinya. Untunglah, temanku dengan sigap memegang
tangannya dan menghentikan kenekatannya.
Bergabung dengan gerombolan
perampok
Lima bulan setelah peristiwa itu, aku
mengundurkan diri dari hotel. Kutinggalkan Palembang untuk mengadu
keberuntungan di kota kembang, Bandung. Berangkat berempat dengan
teman-teman satu band. Sejak SMA, aku sudah membentuk band bersama teman-teman.
Aku didaulat sebagai vokalis. Selama kurun waktu itu, bisa dibilang, band ku
sudah punya nama. Aku sering manggung di café, pesta ulang tahun atau
acara-acara tertentu.
Kami memilih Bandung,
karena dari sana
banyak grup band yang meraih sukses. Namun, harapan itu tinggal harapan. Di
Bandung, bukannya menuai keberhasilan. Sebaliknya grup band yang kurintis
bersama teman-teman layu sebelum mekar. Kami terjebak dalam mata rantai
narkoba, hingga cita-cita awal terabaikan.
Dua orang temanku kembali ke Palembang, sementara aku menetap di Bandung. Aku kos rame-rame dengan sekumpulan
teman dari Palembang.
Setiap kali bertemu dengan mereka, aku heran, ternyata teman-temanku itu
uangnya berkecukupan, kalau tidak boleh dibilang berlimpah.
Mereka seakan tidak pernah
kehabisan uang. Padahal, aku tahu apa yang mereka lakukan. Kerjanya adalah
menghambur-hamburkan uang di dunia malam atau arena perjudian. Mereka juga
tidak punya pekerjaan yang tetap. Yang mereka lakukan untuk memenuhi hasrat
mereka adalah dengan menjambret atau merampok.
Awalnya, aku bertahan dengan
idealisme untuk tidak terlibat terlalu jauh dengan mereka. Hubunganku hanyalah
sebatas teman biasa. Namun, desakan ekonomi dan belum adanya pekerjaan yang
bisa dijadikan pegangan akhirnya membuyarkan idealisme itu. Aku larut dalam
suasana.
Mulailah, aku belajar dengan mereka.
Mula-mula menjambret di terminal atau tempat ramai lainnya, sampai akhirnya
ikut dalam rombongan perampok. Biasanya, kami memilih rumah yang sering
ditinggal penghuninya keluar kota.
Dalam perampokan itu memang tidak
ada yang dianggap sebagai ketua secara permanen. Karena yang disebut sebagai
ketua perampok adalah yang memiliki ide untuk merampok rumah tertentu. Dia yang
telah mengadakan survey, rumah mana hendak dijadikan sasaran.
Selanjutnya ia memilih siapa saja
yang diajak bergabung. Dalam setiap perampokan biasanya beranggotakan empat
orang. Hasil rampokan itu kemudian dibagi rata di antara anggota yang ikut
merampok. Yang dibagi itu pun barang-barang berharga seperti televisi atau
motor misalnya. Sedangkan untuk perhiasan atau barang-barang kecil yang bisa
jadi tidak diketahui oleh anggota perampok lainnya dianggap menjadi hak milik
orang yang mengambilnya. Bila ia berkenan memberikan bagian kepada yang lain,
dipersilahkan dan jika ia mau menikmatinya sendiri juga tidak apa-apa. Hal
semacam ini sudah dianggap sebagai hokum yang tak tertulis dan dipatuhi setiap
anggota.
Suatu saat ketika aku sedang
pulang kampung, tempat kosku bersama teman-teman digerebek polisi. Katanya,
terjadilah aksi baku
tembak dengan polisi, hingga akhirnya dua anggota perampok tewas tertembus
timah panas. Satu di antara dua tertembak dengan mengenakan jaketku.
Itu adalah jaketku yang dipinjam
sebelum aku pulang kampung. Padahal saat itu, ia tidak ikut dalam aksi
perampokan. Mungkin polisi sudah lama mengincar tempat kosku dan
teman-teman. Hingga akhirnya dilakukan
aksi penggerebekan itu.
Tiga hari setelah penggerebekan
itu, aku baru mendapat informasi dari temanku yang pulang ke Palembang. Ia mengatakan, sebaiknya aku tidak
perlu kembali ke Bandung,
karena tempat persembunyianku dan teman-teman sudah digerebek polisi. Dua
anggota kami juga sudah tewas.
Aku menuruti saran temanku. Dan
mulailah kujalani kehidupanku di Palembang.
Aku kembali kerja di hotel. Meski tidak di hotel yang dulu. Aku juga masuk
kuliah di perguruan tinggi swasta.
Aku seakan memutar jarum jam. Apa
yang dulu kujalankan di hotel yang lama, kembali kugeluti. Pada saat yang
bersamaan, aku juga berpacaran dengan adik kelasku. Evi namanya, gadis cantik
berambut panjang itu menjadi rebutan beberapa lelaki.
Perebutan cinta yang memanas,
sampai akhirnya melibatkan klenik. Aku yang berhasil menggaet Evi, menjadi
sasaran santet orang-orang yang ingin merebut cintanya.
Suatu sore menjelang Maghrib, tiba-tiba
kaca lemari dan tremos air pecah.
Beberapa hari kemudian, aku merasakan kesakitan seperti ditusuk jarum
setiap waktu shalat. Aku memang tidak pernah shalat. Tapi setiap waktu shalat
itu aku selalu kesakitan.
Aku berobat ke dukun. Namanya Poli.
Ia lebih setahun dariku. Katanya, ada orang yang menyantetku. Dia mengerjaiku
setiap habis shalat. Beberapa minggu, aku diterapi Poli sampai sembuh. Hubungan
kami pun berlanjut tidak sekadar antara pasien dengan dukun, tapi antara guru
dengan muridnya.
Ya, perlahan, aku diajari
bagaimana menguasai ilmu pelet, ilmu harimua atau ilmu kesaktian lainnya. Evi
yang sudah beralih ke pemuda lain itu coba dikembalikan kepadaku. “Mana HP
kamu. Sebentar lagi dia nelpon ke HP mu,” katanya.
Benar. Beberapa saat kemudian, HP
ku berdering. Nama Evi muncul dilayar. Kukatakan
bila besok aku ingin ketemu di kantor. Keesokan harinya, seperti yang
dijanjikan Evi menemuiku di kantor. Ia meminta maaf bila telah berpaling ke
lelaki lain.
Evi pun kembali ke pangkuanku.
Pemuda yang mengirim guna-guna kepadaku itu pun kecewa. Mungkin karena tidak lagi
mampu mencelakanku hingga ia beralih mencelakai Evi. Badannya disiram dengan
cuka. Untunglah hanya mengenai pakaian di bagian punggung dan tidak sampai
melukai kulitnya. Kekerasan terhadap wanita itu pun berbuntut panjang, hingga
akhirnya pemuda itu masuk ke dalam penjara.
Taubat
Karena merasa bosan kerja di
hotel, aku mengajukan lamaran ke perusahaan perminyakan. Alhamdulillah, aku
diterima kemudian ditempatkan di Jambi. Dari Jambi, aku ditugaskan ke Balikpapan.
Ketika di Balikpapan itulah, aku
mulai menghindari narkoba. Shalat yang telah sekian puluh tahun kutinggalkan,
kembali kujalani. Kesadaran untuk shalat itu muncul begitu saja. Sekitar awal
tahun 2004.
Entah apa hubungannya dengan
kekuatan ilmu pelet, yang jelas beberapa hari setelah melaksanakan shalat, Evi
yang telah menjalin cinta denganku sejak tahun 1999 tiba-tiba memutuskan untuk
berpisah. Ia akhirnya menikah dengan lelaki lain.
Setelah menjalankan shalat itu
juga tiba-tiba aku lumpuh. Waktu itu aku sedang jongkok. Mau berdiri lagi, tapi
tidak bisa. Padahal aku tidak melakukan aktifitas yang membebani urat syaraf.
Sampai akhirnya aku dievakuasi ke rumah sakit.
Dokter bingung mendiagnosa sakit
yang kuderita. Katanya, ginjal. Pemeriksaan berikutnya, katanya, usus buntu.
Sampai akhirnya aku cuma dibilang kram otot saja. Tapi anehnya, ketika aku
tidak shalat, aku tidak merasakan adanya gangguan kesehatan. Aku sehat seperti
biasanya. Tapi ketika shalat, ada saja gangguan fisik yang kuterima.
Setelah masa kontrak di Balikpapan
habis, aku balik ke Palembang.
Di sana, aku
membuka rental play station. Aku mulai rajin ke masjid dan secara perlahan, aku
berhasil meninggalkan narkoba yang telah sekian tahun akrab denganku.
Mulai ada rasa tenang. Omonganku
juga mulai didengar orang. Yang biasanya slengekan mulai ada
tatakramanya. Kubuat peraturan ketat di rental. Ketika tiba waktu shalat, untuk
sementara rental ditutup. Selain itu, pelanggan tidak diperkenankan membawa
makanan atau minuman ke dalam tempat play station. Semua itu untuk menghindari
adanya pelanggan yang membawa narkoba.
Tahun 2006, aku dikenalkan dengan
seorang gadis asal Palembang yang menetap di Jakarta. Zulaihah,
namanya. Tak lama setelah perkenalan itu aku kembali mendapat panggilan kerja
di perminyakan di Jambi.
Hubunganku dengan Zulaihah pun
terus berlanjut, meski jarak memisahkan kami. Setelah masa kontrak di proyek
habis, aku bulatkan tekat untuk melamar Zulaihah. Aku ingin membangun keluarga
yang harmonis dengan seorang perempuan yang baik agamanya, baik akhlaknya.
Cukuplah kiranya pengembaraanku
selama ini. Aku ingin mengakhirinya dan membangun mahligai rumah tangga yang
diridhai-Nya. Pasca pernikahan, aku pindah ke Jakarta. Meninggalkan kenangan masa lalu
untuk meraih masa depan yang lebih cerah.
Aku mengontrak di pinggiran kota Jakarta Timur.
Awal-awal menetap di Jakarta,
aku sering bermimpi didatangi ular dan Evi, pacar pertamaku. Waktu banjir besar
melanda Jakarta,
rumah kontrakanku juga ikut terkena imbasnya. Suatu siang, ada yang
mengetok-ngetok pintu. Ketika kubuka, ternyata suara itu ditimbulkan oleh ular
yang mematuk-matuk pintu. Entah apa maksudnya.
Ular itu kabur ke kontrakan
sebelah. Kupanggil-panggil yang punya rumah, akhirnya ular itu pun mati di
tangannya.
Di Jakarta, kesempatan untuk
membaca buku-buku semakin banyak, pemahamanku kepada agama ini juga semakin
meningkat, seiring dengan seringnya aku menghadiri majlis ta’lim dan menjalin
persaudaraan dengan orang-orang shalih.
Aku mulai membiasakan diri untuk
membaca doa sebelum tidur. Hasilnya, mimpi kedatangan ular maupun Evi tidak
lagi datang.
Kamis kemarin, aku shalat jama’ah
di masjid. Aku ditawari Ustadz Bambang untuk ikut menghadiri ruqyah di masjid.
Aku nunggu di luar ruangan. Ketika dibacakan ayat-ayat al-Qur’an, mataku terasa
nanar. Keesokan harinya, aku disuruh datang ke rumah Ustadz Bambang untuk
menjalani terapi ruqyah. Aku langsung reaksi.
Ustadz Bambang dan Ustadz Munif
yang menerapiku sampai kewalahan. Cukup lama mereka berdua berusaha menenangkan
diriku yang kerasukan jin harimau. Aku meraung dan mengamuk. Alhamdulillah,
setelah sekian lama dialog dan dibacakan ayat-ayat al-Qur’an, akhirnya aku
mulai sadarkan diri.
Selama ini memang, di punggungku
terasa seperti ada koreng. Tapi tidak ada bekasnya. Rasanya itu gatal. Semoga
dengan terapi ruqyah ini Allah memberikan keteguhan kepada diriku untuk
senantiasa istiqamah di jalan-Nya. Semoga aku tidak lagi mudah terombang-ambing
kepada kebimbangan yang pada ujungnya menjerumuskanku ke lembah hitam.
Semoga aku dan istriku diberi
kekuatan untuk mewujudkan rumah impian. Baitii jannatii. Rumahku
surgaku.
http://ruqyahmajalahghoib.blogspot.com/
http://ruqyahmajalahghoib.blogspot.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar