Sheila
(38) penyanyi dangdut
Enam
belas tahun aku telah malang
melintang di dunia tarik suara. Bermula ketika di tahun 90 an, aku menjadi
penyanyi bar di sebuah hotel berbintang di Jakarta Utara. Setahun lamanya,
kujalani profesi ini. Berangkat pukul tujuh malam, pulang ke rumah jam dua atau
tiga dini hari.
Di mata
sebagian orang, mungkin ada yang berpandangan negatif. Penyanyi bar identik
dengan dunia glamour. Dunia malam yang penuh hura-hura. Di tengah suasana
hotel yang melenakan. Aku tidak menyalahkan pandangan mereka. Karena jam
kerjaku memang boleh dibilang seperti kalong. Siang istirahat, malam begadang.
Sebuah kenyataan yang mengundang orang menganggap penyanyi bar mudah diajak apa
saja. Tapi aku bukan wanita sembarangan.
Kerja
malam, bagiku, bukan berarti aku harus larut dalam situasi. Aku tidak mau.
Meski tidak sedikit laki-laki hidung belang, yang mencoba mendekati. Bagiku, menyanyi adalah menyanyi.
Dan tugasku hanya itu. Aku tidak mau melakukan sesuatu yang bertentangan dengan
nurani. Honor yang kudapat sudah lebih dari cukup untuk bertahan hidup di Jakarta.
Setahun
lamanya kujalani profesi itu, hingga akhirnya kelelahan fisik membuatkan mundur
teratur. Aku terserang typhus. Otomatis, aku harus mengubah pola
hidupku. Aku tidak lagi diperkenankan keluar malam.
Memang,
selama menjadi penyanyi bar, keluargaku tidak ada yang tahu. Waktu itu, mereka
hanya menganggap aku begadang dengan teman-teman di RT sebelah. Kebetulan di sana ada aula yang biasa
menjadi tempat mangkal anak-anak muda. Di sanalah setiap malam, aku luangkan
waktu bila tidak ada job, tiga kali seminggu.
“Dari
mana sih, perempuan kok pulang malam-malam?” awalnya pertanyaan seperti itu
sering kudengar dari kakak. Sampai akhirnya kakak bosan sendiri. Ia tidak lagi
bertanya macam-macam. Karena ia sudah tahu kebiasaanku yang begadang setiap
malam di aula belakang.
Di mata
keluargaku, tidak ada yang berubah dalam diriku. Meski aku menjadi penyanyi
bar. Karena itulah mereka juga tidak curiga. Terlebih bila, saat keluar dari
rumah, aku selalu mengenakan pakaian biasa. Sementara kostum panggung sudah
kutitipkan di rumah teman sesama penyanyi.
Aku juga
tidak suka hidup berfoya-foya. Honor menyanyi lebih banyak yang kutabung serta
membeli kostum. Karena pada dasarnya, aku memang suka membeli pakaian.
Aku berjaya dengan jimat penglaris
Tahun 94,
aku come back. Layaknya seorang atlit yang telah menyatakan pensiun. Aku
kembali terjun ke dunia tarik suara. Kali ini, aku bergabung dengan band Della (nama
samaran) membangun masa depan baru. Rasanya, menyanyi sudah menjadi duniaku.
Hati menjadi plong, kesal pun hilang bila sedang menyanyi. Aku sangat menikmati
dunia nyanyi.
Di
sinilah, aku menjalin kisah kasih asmara dengan salah satu
anggota band. Reidi, namanya. Ia pemain drum. ‘Witing trisno jalaran soko
kulino’, kata pepatah Jawa. Lantaran intensitas pertemuan yang tinggi, Reidi
menyatakan kesukaannya kepadaku. Kusambut uluran tangan itu dengan hati senang.
Hatiku seakan terbang. Reidi adalah sosok pemuda yang baik dan bertanggung
jawab.
Rumah
Reidi yang luas pun dijadikan based camp. Di sanalah, kami mengadakan
latihan atau sekadar kumpul-kumpul. Di sana
pula, aku berkenalan dengan pamannya Reidi. Kami biasa memanggilnya Om Rio. Ia
orangnya enak diajak bicara. Mulanya, aku dan Om Rio ngobrol masalah nyanyi.
Tapi lama kelamaan, ia bertanya tentang keluargaku. Kukatakan saja, bahwa kedua
orangtuaku berasal dari keturunan orang-orang sakti. Meski kini, kesaktian
mereka tidak lagi terwariskan pada generasiku.
Om Rio
pun menebak. “Eh, sepertinya kamu sering melihat penampakan jin juga ya?”
katanya setengah bertanya. “Tidak sering Om.
Tapi beberapa kali pernah sih,” kataku.
Suatu
malam, menjelang Maghrib, aku berdiri di pintu rumah Reidi. Aku tertegun
melihat dua pohon kecapi di halaman rumah yang berdiri sejajar. Tingginya pun
seimbang. Kedua kecapi itu seakan menjadi pintu gerbang di rumah ini. Saat
itulah aku merasakan pundakku ditepuk.
“Kamu
jangan bengong. Kalau kamu melamun, nanti dikerjain sama yang di pohon kecapi
itu.” Aku menoleh ke belakang, kulihat kakek-kakek berpakain putih. Aku tidak
terkejut dengan penampakan yang tiba-tiba seperti itu, karena beberapa kali aku
telah melihatnya.
Ketika
aku melihat ke arah yang ditunjuk kakek itu, nampak kakek-kakek yang berpakaian
hitam-hitam. Ala Betawi tempo dulu. Ia berdiri di antara dua pohon kecapi. Aku
kembali termangu.
Sejak
berkenalan dengan Om Rio, hubunganku dengan Reidi mulai memanas. Sedikit ada
masalah, kami langsung beradu mulut. Yang kemudian diakhiri dengan kejadian
aneh. Aku kesurupan jin. Bila sudah demikian, maka yang menyadarkan kembali
selalu Om Rio. Orang pintar yang mencoba mengobatiku, rata-rata terpental. Aku
tetap kesurupan kalau belum disadarkan Om Rio.
Suatu
ketika, aku pernah kesurupan hingga sepuluh jam. Dari Maghrib sampai Shubuh.
Yang kutahu, aku merasakan tangan tinggi besar menarik kepalaku. Ia menjambak
rambutku hingga aku terjengkang ke lantai. Darah pun mengucur dari kepala. Setelah
itu aku tak ingat lagi.
Jam
enam pagi, aku baru diantar ke rumah,
dengan luka di kepala dan goresan seperti luka terbakar di wajah. Bapak marah
marah, melihat kondisiku. Karena tidak diberitahu sejak awal, bapak mengancam
akan menuntut bila terjadi sesuatu yang buruk pada diriku.
Menurut
cerita Reidi, saat kesurupan itu aku meronta-ronta. Enam orang yang memegangiku
terpental dengan mudahnya. Sedangkan, luka bakar di wajah itu bermula, saat Om
Rio berusaha menyadarkanku. Ia menggunakan nyala korek api untuk menakut-nakuti
jin. “Kamu akan saya bakar, kalau tidak mau keluar,” kata Reidi menirukan
ancaman Om Rio. Om Rio menyalakan api untuk
menakut-nakuti syetan, tapi tanpa diduga, aku justru merangsek ke arah
api hingga wajahku mengalami luka bakar.
Hubunganku
dengan Reidi yang telah berjalan lima
tahun, akhirnya putus, setelah aku melihat ada orang ketiga di antara kami. Ada gadis lain yang
naksir berat. Akhirnya aku mengalah. Aku putuskan untuk mengakhiri kisah cinta
itu.
Sejak
kehadiran gadis itu, aku sering sakit perut. Perutku membesar seperti hamil
tujuh bulan. Aku merasakan seperti ada batu yang berjalan-jalan di dalam perut.
Batu yang menggoreskan rasa perih di dalam.
Dokter
yang menanganiku kebingungan. Hanya dipegang sedikit, aku sudah merasakan sakit
yang luar biasa. Akhirnya aku dibawa ke dokter kandungan. Aku menjalani tes USG
(Ultra Sonografi) untuk mengetahui benda apa yang bergerak-gerak di
dalam perutku. Tapi anehnya, benda itu tidak terdeteksi. Ganjalan dalam perut
itu hanya bisa dirasakan, tapi tidak bisa dilihat.
Karena
keanehan demi keanehan itu, aku dibawa berobat ke orang pintar. Seorang dukun
ternama di Jawa Tengah. Bu Tini namanya. Puluhan jarum dikeluarkan dari
tubuhku. Tak lama kemudian perutku kempes.
Menurut
Bu Tini, yang mengerjaiku itu adalah pacarnya Reidi. Tapi aku tidak begitu mempedulikannya.
Toh aku sudah tidak lagi berpacaran dengan Reidi. Hubunganku hanya sebatas
pertemanan sesama anggota band. Tidak lebih.
Sebulan
kemudian, perutku membesar lagi. Aku kembali mendatangi Bu Tini. Kali ini, aku
diberi kertas bertuliskan Arab gundul yang tak bisa kubaca. Kertas itu dibakar,
kemudian dimasukkan ke dalam telur mentah yang telah dilubangi. Selanjutnya
telur beserta abu itu harus kutelan. Itulah tanda akhir ritual pengobatan Bu
Tini.
Selain
mengobati sakit perut Bu Tini juga membekaliku jimat penglaris. Aku diberi
cincin dan minyak wangi. Cincin itu dikenakan setiap kali manggung, sedangkan
minyak wangi itu dioleskan di antara dua alis bila aku bepergian atau manggung.
Katanya, suaraku akan bagus dan orang yang melihatku menjadi senang.
Dari
penuturan kakak yang menemaniku, Bu Tini juga memberiku ajian penglaris melalui
minuman. “Bu itu lho adiknya, nanti biar bagaimana pun kondisinya dia tetap
yang paling menarik. Saya sudah pasang. Pokoknya saya sudah kasih dia minum,
supaya suaranya tetap aman. Semua orang tetap tertarik sama dia. Biarpun ada
penyanyi yang bagaimanapun dia yang paling menarik,” kata Bu Tini.
Apa yang
disampaikan Bu Tini itu memang tidak kudengar langsung. Aku hanya mengetahuinya
setelah kakak cerita. Tapi kuakui, setelah mengikuti semua saran Bu Tini,
penampilanku jadi kian menarik. Orang-orang pada histeris. Bahkan kakak pernah
melihat sendiri, ketika aku manggung di sebuah resepsi pernikahan. Bapak-bapak
yang sedang asik menikmati hidangan makanan, spontan menaruh piring dan
memperhatikanku. Ia acuh saja dengan penyanyi yang melantunkan lagu sebelumku.
Aku tidak
tahu mengapa orang-orang seperti tersihir. Mereka terbengong-bengong. Padahal
aku berpakaian tertutup. Pakai celana jeans, dan baju lengan panjang. Goyanganku
pun biasa saja. Atau bahkan terkesan tidak berjoged. Tapi mengapa mereka begitu
histeris?
Tahun
2003, aku bahkan dikejar-kejar penggemar di atas panggung. Kejadiannya begini,
waktu itu ada seorang pengusaha yang mengadakan pesta akhir tahun. Johan namanya.
Ia untung besar. Dan ingin merayakannya bersama warga.
Kebetulan
di depan rumahnya itu ada lapangan. Di sanalah, didirikan panggung. Ada empat penyanyi yang
diundang malam itu. Susi, yang masih teman dekatku, Tri, dan Elis.
Susi, Tri
dan Elis,
terkenal dengan joged maut mereka serta kostum yang menantang. Sementara aku
tidak merubah gayaku. Aku tetap seperti yang lalu. Pakai jeans dan baju lengan
panjang.
Kubiarkan
mereka bertiga naik ke panggung terlebih dahulu. Saat itu penonton masih biasa
saja. Mereka tidak histeris meski digoncang dengan aneka goyang maut. Suasana
pun masih terkendali.
Suasana
langsung berubah begitu tiba giliranku. Baru satu bait, nada lagu terucap,
pengacara itu langsung berteriak. "Eh, siapa itu yang nyanyi?"
tanyanya. Sebelum kudengar ada yang menjawab, Johan langsung naik panggung.
"Ayo naik. Ayo naik," Johan mengajak teman-temannya berjoged di atas
panggung.
Puluhan
orang meloncat ke atas panggung. Mereka terus bergoyang sampai satu lagu
selesai. Kulanjutkan dengan lagu kedua, yang di lapangan juga semakin semangat.
Mereka berteriak histeris. Aku pun tetap tenang. Setelah tiga lagu, aku minta
izin turun. Aku ingin penyanyi lain naik ke atas panggung. Karena sedari awal,
masing-masing penyanyi mendapat jatah tiga lagu.
"Ayo
terus. Teruskan nyanyinya," kata Johan sambil memberikan beberapa lembar
uang ratusan. Bila uang yang biasa disebut dengan saweran itu masih diberikan,
maka penyanyi dangdut itu tidak boleh turun. Ia harus tetap menyanyi di
panggung.
Saat itu,
aku sudah mulai terdesak oleh penonton yang makin memenuhi panggung. Aku pun
bergeser ke belakang. Aku berharap ada di antara penyanyi lain yang naik
panggung. Setidaknya mereka menemani penonton berjoged sehingga aku bisa fokus
menyanyi. Tapi yang kulihat, mata Johan tidak melepaskanku sedetik pun. Ia
terus menatapku. Beberapa temannya juga bersikap serupa. Sampai ada yang sempat
bertanya dimana rumahku.
Sudah lima lagu, kunyanyikan
tapi saweran masih terus dikasih. "Sudah Bang, gentian sama yang
lain," kataku. "Nggak bisa. Kamu saja yang nyanyi," kata Johan
dengan lantang.
Aku pun
tidak punya pilihan. Kulanjutkan lagu demi lagu. Tak terasa sepuluh lagu sudah
kulantunkan. Secara fisik, aku sudah mulai lelah. Aku juga tidak dengan
teman-teman. Mereka seharusnya juga mendapatkan kesempatan yang sama sepertiku.
Aku mulai
bingung. Orang-orang yang berjoged di atas panggung itu terus merangsekku.
Sampai ada yang kupukul dengan mike, tapi dia tidak jera. Terakhir, kukatakan
kepada Johan. "Bang, maaf deh bang, aku sudah capek. Ada penyanyi lain. Gantian deh," kataku.
Belum
sempat Johan menjawab perkataanku, kukatakan kepada pemain musik, agar
menghentikan musiknya. Mereka pun menuruti keinginanku. Musik terhenti. Aku
hendak turun. Tapi Johan tetap memaksaku. "Kamu tetap menyanyi. Saya masih
punya uang. Saya masih banyak duit," katanya sambil mengeluarkan segebok
uang ratusan ribu. "Selagi saya masih bisa bayar kamu, kamu harus tetap
nyanyi," paksanya lagi.
Dengan
halus, aku menolak permintaannya. "Yang lain saja Bang," kataku pelan.
"Nggak, kamu saja yang nyanyi. Mau berapa?" tanyanya. Sambil
menyodorkan beberapa lembar uang ratusan ribu.
"Mainkan
musik lagi!" katanya sambil memasukkan lembaran uang itu ke balik kaosku.
Caranya memberikan uang, kulihat tidak pantas. Maka dengan reflek kugerakkan
tanganku untuk menampiknya.
Teman-temanku
yang berada di bawah, merasakan apa yang kualami. Mereka tidak terima, bila aku
dilecehkan begitu. Akhirnya mereka naik panggung. Mereka mengingatkan Johan
agar sopan sedikit. Johan tidak terima. "Saya bayar. Yang lain tidak
nyanyi, tidak apa-apa. Yang penting dia yang nyanyi," katanya dengan nada keras.
Pentas
dangdut malam itu pun berakhir rusuh. Johan tetap bersikukuh dengan
pendiriannya, sementara aku sendiri sudah kecapekan secara fisik. Secara mental
aku merasa dilecehkan. Akhirnya aku turun panggung dan meninggalkan pentas
malam itu bersama teman-teman. Setidaknya, aku dapat tiga jutaan dari uang
saweran.
Dendam sesama penyanyi.
Pentas
malam itu meninggalkan luka yang dalam di hati tiga penyanya lainnya. Mereka merasa terhina karena keberadaannya tidak
dihiraukan. Padahal secara kostum atau pun goyangan dangdut, aku tidak
apa-apanya dibandingkan mereka. Sementara uang yang mereka dapatkan tidak
banyak. Sekitar tiga ratusan ribu, sementara aku sendiri mendapat tiga juta
dari saweran. Itu diluar honor.
Susi pun
mulai memasang sikap bermusuhan denganku di atas panggung. Setiap kali melihat
penonton lebih senang dengan penampilanku, ia memasang raut muka yang tidak
senang. Jogednya pun langsung menjadi-jadi. Kalau saya membeli kostum panggung
yang baru, ia pun membeli kostum yang lebih baik dariku. Ia ingin nampak lebih
baik dariku dalam segala hal. Meski kenyataan di atas panggung tidaklah
demikian. Ia tetap kalah denganku.
Tapi
sejak keributan di pentas malam itu, setiap habis naik panggung, badanku selalu
lemas. Aku seperti kehabisan tenaga. Di lain waktu, kepalaku juga terasa sakit.
Sakit sekali. Sampai aku tidak bisa menyanyi. Tapi anehnya, setiap ada pentas
dan tiba giliran menyanyi, tiba-tiba saja aku merasakan badanku sehat. Tangan
yang gemetaran tidak lagi terasa. Sakit kepala pun hilang seketika. Tapi
keesokan harinya, aku kembali terkapar.
Di dalam
diriku, seperti ada dua kekuatan yang saling tarik ulur. Satu kekuatan
menghalangiku naik panggung, kekuatan lainnya mendorongku naik pentas. Tapi
selama ini, pertarungan di atas panggung itu selalu dimenangkan jin kiriman Bu
Tini.
Sebenarnya,
keindahan suaraku itu menarik perhatian sebuah studio rekaman. Beberapa kali
ditawari rekaman. Yang terakhir, aku bahkan sudah menyelesaikan proses rekaman.
Tinggal membuat video klip. Tapi akhirnya rekaman itu hanya tinggal kenangan.
Karena produser rekaman itu meminta sesuatu yang tidak dapat kupenuhi. Ia ingin
menjadikanku sebagai istri kedua, bila kasetku ingin dikeluarkan.
"Kaset
kamu mau dikeluarkan, nggak? Kalau mau dikeluarkan, kamu harus jadi istri
saya," katanya membuat persyaratan. Aku tidak mau memenuhi keinginannya.
Bagiku lebih baik, kaset rekaman itu tidak diedarkan ke pasar, daripada aku harus
melawan hati nuraniku. Aku tidak mau menyakiti istri dan anak-anaknya. Karena
selama ini hubunganku baik dengan mereka.
Karena
sering sakit-sakitan itu, aku berobat ke dokter. Aneh, dokter yang kudatangi
menyarankanku berobat ke pengobatan alternatif. Secara medis, penyakitku itu
sulit disembuhkan. Karena memang bukan penyakit biasa, katanya.
Kupenuhi
saran dokter tersebut. Aku datang ke orang pintar. Dari punggungku dikeluarkan
puluhan jarum. Tapi sepulang dari pengobatan itu, badanku justru semakin lemah.
Belikatku seperti ditusuk-tusuk duri. Sakit dan perih rasanya.
Aku
mencari dukun lain yang lebih sakti dengan ditemani ibu dan kakak. Kali ini,
aku disuruh mandi kembang dengan mengenakan daster. Ibu disuruh memasukkan
bunga ke dalam baskom lalu menyiramkannya ke badanku setelah terlebih dahulu
dibacakan mantra-mantra oleh dukun.
Sebelum
airnya habis dukun tersebut meminta ibu memasukkan perasan jeruk purut ke dalam
air. Jeruk perut itu ibu yang membelinya. Ibu juga yang membelahnya. Lalu aku
pun kembali mendapat guyuran air kembang bercampur jeruk perut sampai habis.
Selesai
mandi, dukun itu meminta ibu mengganti daster yang kukenakan. Saat daster itu
dibuka, betapa terkejutnya ibu kala melihat ada daun pisang kering seperti
diseterika yang menempel di punggungku. Daun pisang itu lengket di kulit.
Karena itulah dari punggungku keluar darah, ketika ibu menarik paksa daun
pisang tersebut. Aku hanya bisa meringis. Tapi mau bagaimana lagi. Tidak
mungkin kubiarkan daun pisang kering itu menempel selamanya di punggung.
Ketika
dibuka, dari daun pisang itu dikeluarkan bungkusan putih kecil yang sudah
keabu-abuan. Di dalamnya ada tulang-tulang kecil, jarum, paku, kerikil dan
pecahan beling. Ada
juga rambut.
Sepulang
dari dukun tersebut, penyakitku sedikit berkurang. Berganti dengan mimpi-mimpi
yang menyeramkan. Tapi tetap saja, aku masih selalu sakit-sakitan. Dan sembuh
saat naik panggung. Kejadian seperti itu selalu terulang, hingga aku
dipertemukan dengan Majalah Ghaib.
Waktu
itu, kakakku yang tinggal di Bekasi membaca Majalah Ghaib. Dan
kami pun tertarik mengikuti terapi ruqyah. kebetulan di Bekasi ada cabang Ghoib
Ruqyah Syar'iyah di daerah Pondok Gedhe.
Aku lebih
memilih mengikuti terapi ruqyah di kantor cabang Bekasi, karena lebih dekat
dengan rumah kakakku. Aku bisa menginap di rumah kakak untuk sementara waktu,
sambil terus menjalani terapi pengobatan.
Perjuangan
mengikuti terapi ruqyah ternyata tidak semudah yang kubayangkan. Ada saja halangan yang
menghambat kedatanganku ke kantor cabang Bekasi. Hingga suatu hari, kupaksakan
ke sana dengan
ditemani kakak.
Sewaktu
tiba di pintu gerbang, aku sudah ketakutan. Aku ingin pulang. Mukaku pucat.
Tanganku bergoyang-goyang terus tanpa dapat kucegah. Saat diterapi Ustadz Munif
itulah keluar pengakuan jin yang katanya dikirim Bu Yeti untuk membantuku
menyanyi. Jin itu yang membuat suaraku bagus. Dan dia tidak mau keluar. Dengan
sabar Ustadz Munif meruqyah dan memaksa jin itu keluar.
Kini
sudah lima
kali, aku menjalani terapi ruqyah. Alhamdulillah, gangguan kesehatan itu
berangsur berkurang. Sakit kepala tidak lagi sesakit dulu, gatal-gatalpun
berkurang drastis.
Hanya
saja, setiap terapi ruqyah jin penglaris itu masih tetap bercokol. Akhirnya
Ustadz Munif menasehatiku agar berhenti menyanyi. Di awal memang terasa berat.
Tapi aku harus kuatkan niat untuk menolak permintaan manggung yang masih terus
mengalir. Dengan itu aku berharap menemukan kembali ketenangan hidup. Karena
selama ini, aku mudah marah ketika berhadapan dengan orangtua. Aku juga tidak
betah berada di rumah.
http://ruqyahmajalahghoib.blogspot.com/
http://ruqyahmajalahghoib.blogspot.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar