Jangan mudah terbawa perasaan, lalu
memperturutkan apa kata hati. Meski telah dikhianati orang yang paling
dipercaya selama ini. Karena akibatnya
bisa lebih fatal. Seperti kisah Nita, seorang janda yang dikhianati suaminya. Niatan
untuk membalas dendam melalui tangan dukun berbuah petaka. Tiga tahun Nita
terperangkap dalam dekapan dukun cabul. Berikut petikan kisahnya sebagaimana
disampaikan kepada Ustadz Awaludin dari Ghoib Ruqyah Syar'iyyah
cabang Jambi.
Perkenalanku dengan Rian bukan
sesuatu yang kebetulan. Kebiasaanku minum es degan di warung depan kampusnya,
membuat kami sering bertemu. Terutama jika jam istirahat, kebetulan juga kantor
tempatku bekerja letaknya tidak jauh dari kampusnya Rian. Keseringan bertemu dan
kesukaan pada menu minuman yang sama membuat kami sering bertegur sapa,
bertukar cerita, hingga akhirnya suatu hari ia memberanikan diri ingin
mengajakku nonton dan jalan-jalan.
Mendapat ajakan itu, rasanya aku
seperti mendapat durian runtuh, bahkan mungkin lebih. Saat itu aku merasa lebih
gembira mendengar ajakan Rian daripada informasi kenaikan gaji dan bonus yang akan
kuterima bulan depan. Bagaimana tidak, gadis seusia diriku, yang selama ini
hanya bisa berhayal mempunyai seorang kekasih… . Oh, belum apa-apa aku sudah
membayangkan yang bukan-bukan. Padahal ajakan Rian baru sebatas nonton,
jalan-jalan… dan Rian belum menyatakan apa-apa.
Oh …. tidak. Aku harus bisa
mengendalikan diri. Meski tidak bisa kupungkiri bahwa dalam hati ini memendam
harapan dan rasa cinta. Aku jadi GR dan sering salah tingkah. Apakah itu
yang namanya jatuh cinta? Entahlah, aku tidak lagi mempedulikannya.
Witing tresno jalaran soko kulino
(Jatuh cinta lantaran sering bertemu). Demikian teman-temanku yang dari Jawa
sering bilang. Yang kurasakan memang demikian. Seiring dengan perjalanan
waktu, Rian pun menyatakan kata hatinya. Satu kata yang selama ini
kutunggu-tunggu itu pun menjadi nyata. "Aku cinta padamu," katanya
dengan tatapan mata yang lembut.
Setelah hampir 4 bulan kami menyatakan
resmi pacaran, rasa cintaku kian membuncah hingga sulit untuk tidak bertemu
dengan Rian walau sehari. Sampai aku nekat mencari rumah kost-nya, bila sehari
saja aku tidak mendengar suaranya.
Demi cinta, aku juga rela
menyerahkan sebagian gajiku untuk keperluan kuliahnya. Ketika orang tuanya
menghentikan kiriman uang kuliah karena sudah tidak mampu dan sering
sakit-sakitan, aku memberanikan diri menanggung semua keperluan kuliahnya.
Meski untuk itu aku harus berbohong pada ibuku dan mulai jarang memberinya uang.
Sepotong kue kesenangan ibu pun sudah jarang kubelikan.
Benar kata orang, kekuatan cinta terkadang
mengalahkan segalanya. Begitulah yang kualami, yang penting aku masih bisa
berdampingan dengan Rian. Aku bersyukur toh akhirnya usahaku tidak
sia-sia. Dua tahun kemudian Rian lulus dan menyandang gelar sarjana.
Sesuai kesepakatan yang
telah kami buat, maka 3 bulan setelah wisuda kami menikah. Meskipun rencana
pernikahan kami ditentang kakak-kakakku, hanya karena Rian belum mempunyai
penghasilan dan perbedaan usia kami. Aku lebih tua 4 tahun dari Rian, tapi aku
tetap melenggang. The show must go on, begitu yang terlintas dalam
benakku.
Aku tetap bahagia dan kebahagianku
semakin komplit manakala seminggu setelah pernikahan, Rian diterima kerja di perusahaan
kontraktor. Gajinya memang belum begitu besar bila dibanding dengan gajiku,
tapi hal itu tidak menjadi masalah buatku.
Dengan kemampuan seadanya kami pun
memilih mencari rumah kontrakan yang lebih baik. Namun ternyata di sinilah awal
mula bencana kekisruhan rumah tanggaku.
Rian yang dulu romantis, penyayang
dan sangat perhatian langsung berubah. Ia bagaikan srigala berbulu domba.
Wataknya yang asli tak lagi dapat disembunyikannya. Dulu, untuk berbicara saja Rian
sangat hati-hati, bahkan hampir dibilang tidak pernah berkata kasar. Namun semuanya
telah berbalik 180 derajat.
Pada bulan pertama usia pernikahan
kami kesalahpahaman mulai sering terjadi. Dari yang paling kecil seperti urusan
kebersihan rumah, setrikaan yang kurang rapi, menu makanan yang katanya
monoton, hingga seabrek masalah yang ketika pacaran tidak pernah
dipermasalahkan, kini sering dijadikan bahan perdebatan. Pertengkaran pun
sering terjadi. Bahkan Rian mengumpat dengan kata-kata kotor yang tidak pernah kudengar
ketika masa pacaran dulu. Kalau sudah begitu, biasanya aku lebih banyak
mengalah, bersabar dan berdo’a, semoga ini hanya ujian sementara yang akan
segera berakhir.
Tapi harapan hanya tinggal
harapan. Kenyataannya yang kualami justru semakin parah. Memasuki bulan kedua, Rian
mulai berani menghardik dan tega memukulku bila aku menjawab meskipun hanya sekadar
untuk membela diri. Akibatnya aku sering melamun. Di tempat kerja pun aku
sering menangis. Aku tidak berani mengadukan masalah ini pada kakak-kakakku
yang pernah menentang pernikahan kami. Karenanya aku sering sakit-sakitan.
Dalam kondisi seperti itu pun Rian
tidak memperhatikan kesehatanku. Sebaliknya, ia sering tidak pulang ke rumah
dengan alasan lembur kerja. Meski sejujurnya aku juga bersyukur bila ia tidak
di rumah karena setidaknya caci maki dan tamparan tidak kuterima, yang biasanya
hampir setiap hari menderaku.
Memasuki bulan ketiga adalah
puncak perlawananku. Aku yang semula hanya menerima atas perlakuannya yang
kasar sudah berani melawan. Akibatnya pertengkaran kami sering mengganggu tetangga.
Bukan hanya sekadar suara bentakan tetapi pecahan perabot rumah pun hampir
selalu ada pada setiap pertengkaran.
Rumah tanggaku yang belum genap
seumur jagung kurasakan bagai neraka saja. Terlebih ketika aku tahu Rian menjalin
cinta dengan wanita lain di tempat kerjanya. Hatiku meradang. Emosiku semakin
tidak terkendali. Jika semula Rian yang memulai pertengkaran, justru kini
akulah yang lebih sering menyerang dan memukulnya dengan apa saja yang ada di sekelilingku.
Aku sering mengamuk seperti orang kesurupan, hingga pada akhirnya suatu hari
pukulan telak Rian bersarang di dadaku. Aku terjerembab dan tak sadarkan diri.
Terpedaya dendam kesumat
Melalui proses yang agak rumit
akhirnya gugatan perceraianku dikabulkan oleh KUA, meskipun sampai sekarang
Rian tidak mau menandatangani surat
talaknya itu. Jadilah aku menyandang gelar janda. Saat itu aku merasa menjadi
manusia yang merdeka. Aku merasa telah terbebas dari sebuah himpitan batu yang
sangat berat, meskipun aku harus memulai hidup dengan kesendirian lagi. Ah
biarlah…toh aku masih muda dan masih bisa mencari pria lain, pikirku
saat itu. Pokoknya yang penting aku telah bebas dari cacian, makian, tamparan
dan berbagai pertengkaran dengan orang yang tidak tahu diuntung.
Sejalan dengan berlalunya
waktu, ternyata aku tidak bisa melupakan Rian. Mungkin karena dia adalah lelaki
pertama yang membuatku terpesona. Kenangan indah itu tetap tidak bisa terhapus
oleh perangainya yang kasar. Jujur, bayangan wajahnya, senyumnya, candanya,
sesekali melayang di ingatanku. Satu kenyataan yang membangkitkan rasa rindu. Secara
sembunyi-sembunyi, aku sering mencari informasi tentang dirinya. Tapi justru di
sini, aku terjebak pada praktek perdukunan.
Ketika aku mendengar Rian akan
menikah, entah mengapa dada ini rasanya sesak. Aku sadar Rian bukan suamiku
lagi. Tapi kesan ia masih mencintaiku tidak bisa terhapus dari sorot matanya,
saat ia menjengukku di rumah sakit. Satu hal yang membuatku masih sedikit
berharap Rian akan kembali ke pangkuanku.
Namun, setelah mendengar berita rencana
pernikahan Rian, tiba-tiba aku jadi dendam. Amarah yang selama ini telah terkubur
dalam-dalam, bangkit bak hantu gentayangan yang siap membalas dendam.
Aku menghubungi Mbah Kiro, yang
katanya, dukun mumpuni. Setelah memenuhi berbagai persyaratan, aku
sampaikan niatku agar ia mau membantuku menjadikan Rian dibenci oleh kaum hawa
dan agar tidak ada seorangpun mau dinikahinya.
Aku sempat terperangah ketika
mendengar kabar perkawinan Rian benar-banar batal. Konon, mempelai wanita
menolak menikah dengan lelaki yang katanya sering mirip monyet.
Dari Mbah Kiro, aku mendapat jawaban bahwa ia
mengirim jin monyet untuk merasuki raga Rian. Saat itu yang kutahu aku puas
dendamku telah terbalaskan.
Digerayangi dukun cabul
Setelah 3 tahun menjanda
hasrat kewanitaanku lebih sering tidak terkendali. Aku merasa kesepian. Aku
kembali mendatangi Mbah Kiro untuk mohon pertolongan agar didekatkan jodoh
buatku. Mulai dari ritual mandi kembang, pasang susuk, dan topo rendem
(direndam tengah malam) kujalani dengan penuh harapan semoga jodohku akan
segera datang. Nyatanya sampai 6 tahun usia jandaku tetap saja belum ada
laki-laki yang serius ingin menikahiku. Kalaupun ada yang dekat padaku biasanya
hanya ingin sesuatu yang tidak semestinya. Maka bila gelagat yang tidak baik
itu muncul akulah yang harus bersusah payah menghidarkan diri. Alhamdulillah,
Allah masih menguatkan imanku untuk tidak terjebak pada bujuk rayu laki-laki iseng,
meski kuakui hasrat kewanitaanku juga sedang menggelora.
Melalui informasi seorang teman,
aku diajak berkunjung ke 'orang pintar' lainnya. Orang-orang sering
memanggilnya Ustadz Mali. Jaraknya tidak terlalu jauh dari kota tempat tinggalku. Katanya,
ia menggunakan metode zikir dalam membantu pasiennya.
Benar saja, pada hari pertama aku
dibuatnya menangis. Banyak sekali nasehat dan pesan yang disampaikan bahwa aku
harus tegar dan sabar. Kesejukan dan kedamaian hati dalam menerima nasehat-nasehatnya
membuatku sering berkunjung ke tempat prakteknya. Pada mulanya memang hanya
diajak zikir, sholat sunat hajat bersama, dan dengan jamaah lainnya aku jadi
rutin setiap minggu berkumpul. Hingga suatu hari Ustadz
Mali mengatakan, menurut wangsit yang ia terima aku terkena
guna-guna dari seorang dukun yang ciri-cirinya mirip sekali dengan Mbah Kiro.
Untuk menghilangkan pengaruh sihir,
aku harus dimandikan dengan air yang diambil dari 9 tempat yang berbeda.
Lagi-lagi aku hanya bisa menuruti perintahnya. Aku dimandikan oleh Ustadz Mali. Setelah itu diajak sholat hajat
hanya berdua saja.
Tiga hari kemudian, sesuai dengan
anjurannya, aku datang kembali untuk dimandikan lagi. Jika pada mandi yang
pertama, aku masih mengenakan pakaian lengkap, maka pada mandi yang kedua harus
tanpa busana dan hanya ditutupi kain sarung sebatas dada. Setelah itu aku
diajak sholat hajat berdua.
Tiga hari kemudian aku masih
disuruh datang untuk mandi yang terakhir. Katanya sebagai pungkasan adalah air
yang telah dimantra dengan wirid selama 3 hari 3 malam. agar pengaruh sihir itu
benar-benar hilang dari tubuhku. Katanya, kali ini Ustadz
Mali sendiri yang harus menggosok tubuhku dengan bubuk batu bata
yang sudah dihaluskan. Aku kembali tidak berdaya menolak perintahnya. Karena
aku masih yakin ia benar-benar ingin menolong kesulitanku, maka kuiklashkan
semua tubuhku dilulur langsung oleh tangan Ustadz
Mali.
Namun, malam harinya aku tidak
bisa tidur. Akal sehatku mulai berpikir jernih, bagaimana mungkin seorang yang
mengaku ustad memelototi dan meraba pasiennya dengan mata dan tangan telanjang?
Keesokan harinya aku berontak dengan menghubunginya via telepon. Dengan panjang
lebar ia menjelaskan bahwa semua itu adalah tahapan prosesi yang memang harus
dilalui jika aku ingin terbebas dari pengaruh sihir jahat yang telah mendarah
daging dalam tubuhku.
Aku kembali tidak berdaya
mendengar ceramahnya. Bahkan katanya masih harus ada dua tahapan lagi yang
harus kulalui. Meski pada mulanya gamang akhirnya prosesi selanjutnya tetap aku
penuhi demi satu keinginan agar pengaruh sihir sebagaimana yang ia sampaikan benar-benar
hilang.
Akan tetapi prosesi terapi
lanjutan itu lebih gila dari sebelumnya. Katanya tubuhku harus dirajah dengan
air susu yang diambil dari (maaf) payudaraku sendiri. Seperti kerbau yang
dicocok hidungnya, aku menurut saja. Pada prosesi yang terakhir aku sempat
berontak. Saat itu, tubuhku harus dirajah dengan air yang diambil dari (maaf)
liang kemaluanku. Meski semula aku sangat berontak keras tapi entah bagaimana
akhirnya aku menyerah. Setelah mendengar penuturannya aku tidak kuasa
menolaknya.
Dua prosesi terakhir itu, kuanggap
prosesi yang paling jorok dan konyol. Oh… aku jadi malu sendiri. Aku jadi
merasa hina mengingat semuanya. Setelah itu dia berjanji bahwa paling lama seminggu
sejak prosesi terakhir, akan datang seorang laki-laki yang ingin memperistriku.
'Ditiduri' dukun cabul
Belum genap sepekan sejak prosesi
terapi terakhir aku makin sering resah dan gelisah. Pikiranku selalu teringat
nasehat-nasehat Ustadz Mali. Wajahnya
selalu menari-menari di benak kepalaku dan seperti ada dorongan yang sangat
luar biasa datangnya dari dalam diriku untuk segera bertemu. Semakin kutahan
rasa rindu itu, malah semakin membuatku tersiksa. Aku telah dibuatnya
setengah gila. Sampai pada akhirnya aku benar-benar dibuat tidak berdaya dan
harus rela menerima segala perlakuannya yang seharusnya tidak boleh terjadi.
Idul Fitri tahun 2006, genap
9 tahun aku menyandang status janda. Aku sengaja tidak pulang ke rumah Ibuku
yang kini menetap di Palembang.
Sementara semua saudaraku berkumpul di sana.
Aku lebih memilih berkunjung ke rumah kakakku yang berada di kota Jambi. Di sinilah pada mulanya aku kenal
dengan kalimat Ruqyah Syar’iyyah melalui Vivi, teman sekantor kakakku. Bahkan
dia menyarankanku mengikuti terapi ruqyah. Beberapa keluarganya juga telah
banyak yang tertolong melalui terapi ruqyah.
Semula aku tidak menghiraukan
anjuran itu. Lagian menurutku paling-paling ustadnya juga sama dengan Ustadz Mali yang sampai waktu itu masih sering
membuatku mabuk kepayang.
Pertama kali berkunjung ke
GRS Jambi, jujur kukatakan bahwa aku setengah dipaksa. “Lihat saja dulu,
konsultasi dulu, nggak usah terapi juga nggak apa-apa kok,” tegas
vivi. Aku menurut saja. Tetapi setelah melihat secara langsung sejak pendaftaran,
tausiah, konsultasi dan terapi, aku mulai bisa menyimpulkan bahwa terapi ruqyah
di GRS Jambi, memang berbeda dengan prakteknya Ustadz
Mali. Terlebih ketika mendengar penjelasan tentang ruqyah secara
panjang lebar, akal sehatku langsung menerima dan akhirnya aku menyadari bahwa
selama ini ternyata aku terjebak oleh praktek dukun cabul yang menggunakan
label Ustadz.
Sekarang aku membiasakan diri mengenakan
jilbab jika berkunjung ke GRS cabang Jambi. Sungguh ini ajakan moral yang tidak
pernah kudengar dari Ustadz Mali yang
lebih senang melihatku tampil modis. Pada kunjungan ketiga aku mulai memberanikan
diri untuk ikut terapi. Diluar dugaanku, kata Vivi, aku mengamuk sejadi-jadinya
dengan bahasa Jawa dan dialeg Rejang Lebong (bahasa daerah). Padahal aku asli Palembang yang tidak
mengerti kedua bahasa itu.
Kata Vivi, jin yang mengaku dari
Mbah Kiro menuntut balas, karena aku tidak pernah mengunjungi Mbah Kiro tetapi
malah pindah ke dukun lain. Sedangkan jin yang menggunakan bahasa Dialeg Rejang
mengaku, kalau ia sengaja disuruh menjaga tubuhku oleh Ustadz Mali.
“Sudahlah tidak usah
dipercaya omongan jin. Meski ada yang benar, tetapi lebih banyak
bohongnya,” kata Ustadz Juanda menjelaskan. Jadilah aku pasien tetap yang
dijadwal setiap minggu. Anehnya, setiap sehabis terapi Ruqyah Ustadz Mali selalu tahu. Melalui telepon, ia
selalu mengancam akan membunuhku bila tidak segera pulang ke Bengkulu.
Puncaknya, aku menjadi paranoid
dan ketakutan yang luar biasa. Untuk ke kamar mandi saja takut. Kaset Ruqyah
yang dibekali dari GRS cabang Jambi untuk membantu terapi harianku seperti
rusak dan kusut. Tapi ketika Vivi menghidupkan di walkmannya suaranya
terdengar jelas. Ketika kudengarkan, yang keluar justru suara orang yang sedang
bersenandung lagu Rejang Lebong.
Alhamdulillah berkat
ketekunan dan kesabaranku menjalani terapi yang sudah tidak terhitung jumlahnya,
akhirnya gangguan di telingaku hilang. Namun sebaliknya setiap kali terapi ruqyah,
jin yang di dalam tubuhku hanya mau keluar lewat (maaf) pipis. Sekarang aku
benar-benar menyesali perbuatanku selama ini. Karena dendam pada mantan suami,
ternyata aku terseret pada lembah kemusyrikan.
Melalui tausiah dan nasehat di GRS
cabang Jambi, aku menemukan segelas air yang benar-benar mampu menghapus
kotoran jiwaku. “Banyaklah beristighfar
dan sujud malam, Allah pasti menolong kita. Jangan suka dendam, karena dendam
tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Tapi menyadarkan musuh justru itulah
sikap yang paling bijaksana”. Tausiah seperti ini akan tetap kuingat. Dalam
sujudku, aku hanya berharap semoga Allah mengampuni kesalahanku dan
mempertemukanku dengan lelaki yang menyayangiku.
http://ruqyahmajalahghoib.blogspot.com/
http://ruqyahmajalahghoib.blogspot.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar