Kusminah: Ibu Rumah Tangga
Aku
ditakdirkan sebagai istri seorang pelaut. Meski suamiku bukan seorang nelayan.
Kehidupannya di tengah laut tak terlepas dari tugas kantor yang mengharuskannya
berkelana di tengah laut. Mas Pri, begitu aku biasa memanggil suamiku. Ia
bekerja di perusahaan perkapalan yang bekerjasama dengan nelayan.
Mas Pri
ditugaskan di wilayah Indonesia Timur. Di awal-awal pernikahan, kami bertemu
sebulan sekali. Selebihnya jarak antara Jakarta
dan Maluku memisahkan kami. Ini adalah resiko yang sudah kami sadari sejak
awal.
Kesepian
adalah harga mahal yang harus kubayar. Aku tahu ini adalah konsekuensi
pekerjaan. Tidak mudah bagi suamiku untuk pindah tugas ke Jakarta. Keahliannya masih dibutuhkan untuk
menyelesaikan tugas di lapangan. Pilihan terbaik adalah aku yang harus
mengalah. Aku yang harus rela ikut kemana suami melangkah. Terlebih aku sudah
berbadan dua. Janin tiga bulan dalam kandunganku tidak rela berpisah dengan
bapaknya.
Aku
menyusul suami ke Maluku dan tinggal di perkampungan nelayan. Berbaur, menyatu
dan hidup bersama dengan mereka. Di tengah keseharian mereka, kutemukan sesuatu
yang tidak lazim. Gairah dan semangat untuk melaut tidak seperti yang
kubayangkan sebelumnya. Rona kesedihan terpancar di wajah-wajah nelayan
sepulang dari melaut. Sudah cukup lama hasil tangkapan ikan mereka sepi. Tidak
bisa menutupi kebutuhan harian, terlebih mereka harus mencicil biaya kapal
perbulan.
Setiap
tahun, katanya ada musim paceklik. Tapi tahun itu, lain dengan tahun-tahun
sebelumnya. Ikan semakin sulit didapat. Biasanya, dalam situasi seperti itu,
tetua adat perkampungan nelayan mengadakan ritual larung sajen ke laut. Sudah
lama mereka menggagasnya tapi belum terlaksana hingga aku berkumpul bersama
mereka.
Suatu hari
kulihat undangan tergeletak di meja. Kuambil undangan itu. Di atasnya tertera
nama suamiku. Undangan itu mengharap suamiku untuk hadir di ritual larung sajen
yang akan diselenggarakan selama tiga hari. Secara khusus, Danang, salah
seorang Tetua adat mengharap Mas Pri sendiri yang mewakili kantor.
Di hari
yang ditentukan, Mas Pri menghadiri ritual larung sajen. Sementara aku hanya
berdiam diri di rumah. Aku tidak ikut serta ke sana, karena undangan itu bukan untukku.
"Nih
minum!" kata Mas Pri sambil menyodorkan sebotol air. Aku mengangguk pelan.
Kuambil sebotol air dari tangan suamiku. "Ini air dari ritual larung
sajen. Kata Tetua adat harus diminum, biar kamu sehat. Kamu kan lagi hamil," jelas Mas Pri panjang
lebar.
Sebagai
orang baru, aku merasa terharu atas perhatian Danang yang masih sempat
mengirimkan sebotol air. Aku tidak berpikir macam-macam. Meski air itu bukan
air biasa. Dengan santainya air kembang itu kuminum seteguk dan sebagian lagi
untuk cuci muka. Sementara Mas Pri menceritakan acara larung sajen sambil
rebahan di lantai. Ritual itu diselenggarakan di atas karang di tengah laut.
Sebotol air yang tersisa separuh itu kemudian kutaruh kembali di atas meja.
Malam itu,
suasana perkampungan nelayan sedikit berbeda. Tidak seperti biasanya, lolongan anjing
terdengar nyaring. Anjing-anjing itu meraung-raung. Seakan memberi tanda
kehadiran makhluk lain di sekitar perkampungan. Bulu kudukku merinding. Aku tak
mengingkari bahwa malam itu aku sedikit takut. Sementara suamiku terlelap dalam
tidurnya. Ia kelelahan setelah tiga hari mengikuti ritual larung sajen.
Kupaksa
memejamkan mata. Di tengah ketakutan itu aku dikejutkan oleh kehadiran sosok
tinggi besar. Berbaju hitam. Celana hitam. Ia membawa bungkusan hitam. Entah
apa yang dipegangnya. Sosok hitam di tengah kegelapan itu membungkuk. Kulihat
tangannya memegang kakiku. Dingin. Aku pun berteriak histeris. Teriakan itu
membuyarkan semua yang ada di depanku. Aku yakin tidak sedang bermimpi. Aku
melihat dan merasakan sentuhan tangannya yang dingin. Tapi makhluk itu hilang
begitu saja. Ia seakan lenyap ditelan bumi
Suamiku
terbangun geragapan. Ia terkejut mendengar lengkingan suaraku. Didekapnya aku
yang masih gemetaran. Dengan isak tangis, kuceritakan apa yang baru terjadi.
Mas Pri, menggeleng setengah tidak percaya. Kuceritakan kembali keganjilan demi
keganjilan yang ada. Suara anjing yang terus meraung, hingga udara malam yang
terasa berbeda.
Perlahan,
Mas Pri memahami apa yang kumaksud. Akhirnya malam itu kami lalui dengan banyak
berdzikir dan membaca ayat Kursi. Malam itu menandai berlakunya malam yang
mencekam. Dan itu adalah malam pertama.
Setiap
malam, aku hidup dalam ketakutan. Sampai akhirnya aku sakit. Yang mengherankan,
anjing yang berkeliaran di desa itu selalu menggonggong bila melihatku. Mereka
seperti melihat sesuatu yang lain dalam diriku. Sementara orang yang melintas
sebelumku tidak dihiraukan oleh anjing-anjing itu. Bahkan tidak jarang ada
anjing yang sengaja datang ke rumahku hanya untuk menggonggong.
Kian hari sakitku makin parah. Berita sakitku menyebar
ke warga. Kedudukan suamiku sebagai orang yang mewakili kantor cukup terpandang
di mata mereka. Tanpa kami minta, ada saja orang yang datang ke rumah memberi
minuman. Katanya, minuman itu dari orang pintar. Bahkan ada juga yang
memandikanku selama tujuh hari. Katanya, hamil muda harus selalu dimandikan
dengan kembang. Aku hanya bisa pasrah. Begitulah adat di perkampungan nelayan
itu. Tiap Maghrib dia selalu ke rumah.
Kuturuti kemauan mereka, karena aku ingin segera
terbebas dari kelumpuhan ini. Tiga bulan lamanya, aku terbaring lemah di atas
tempat tidur. Tergolek tanpa daya. Aku bersyukur, Allah memberi kekuatan kepada
janin dalam kandunganku. Hingga tidak terpengaruh dengan keadaan orangtuanya.
Sebenarnya aku takut bila terjadi apa-apa dengan janinku. Tapi alhamdulillah
semua itu tidak terjadi.
Dalam balutan ketakutan yang semakin kuat itu, akhirnya
aku minta diantar kembali ke Semarang.
Aku ingin melahirkan anak dalam ketenangan. Mas Pri menuruti kemauanku.
Gangguan itu semakin menguat setelah melahirkan
Sakitku berangsur membaik. Anak pertamaku lahir dengan
selamat tanpa banyak kendala. Pertemuan dengan suami pun kembali merenggang.
Sebulan sekali, kami baru bertemu. Hal ini memang kurang baik bagi perkembangan
anakku. Akhirnya setelah anakku berumur setahun, aku kembali ke Maluku
mengikuti suami. Semua itu demi kebahagiaan keluarga ini.
Dua tahun di Maluku, aku mendapat firasat kurang baik.
Seolah-olah akan terjadi peristiwa besar. Tiga hari kemudian, terjadilah
peristiwa yang menggemparkan. Perang antar agama di Ambon
pecah. Peperangan itu menjalar ke mana-mana. Termasuk di perkampungan di mana
aku tinggal.
Kami kalang kabut melarikan diri. Waktu itu Danang
memberiku ikat pinggang. Katanya, agar kami selamat dalam pelarian. Ikat
pinggang itu harus dibawa kemana-mana dalam keadaan suci dan tidak boleh di
bawah ke kamar mandi. Aku ikuti pesan tetua adat itu, karena aku memang tidak
tahu apa-apa.
Bersama suami dan rombongan, kami terdampar di Pasuruan.
Di sinilah aku dan Mas Pri memutuskan untuk menetap dan memulai hidup baru.
Apalagi aku sudah mulai mengandung anak kedua. Aku mengontrak rumah, sambil
menunggu renovasi rumah yang baru kami beli. Sementara Mas Pri kembali ke
perkapalan.
Ikat pinggang dari Danang kukubur di halaman rumah
kontrakan. Waktu itu aku tidak tahu bila Ujang, pemilik rumah, sudah memagari
rumahnya dengan pagar ghaib yang menyerupai seekor ular berkulit hijau dan
belang kuning itu tidak terima kedatangan tamu asing, hingga ia menampakkan
diri.
Saat Ujang memberi jaminan rasa aman pun aku hanya
mesam-mesem saja. Aku tidak cerita bila sudah melihat binatang peliharaannya.
“Kamu di sini tenang saja. Tidak akan ada yang berani mengambil harta kamu,
bila kamu ngontrak di sini,” kata Ujang. “Emang kenapa Jang?” tanyaku pura-pura
tidak tahu.
“Di sini sudah dijaga ular,” katanya. Dalam hati saya
bilang, saya sudah lihat. “Oh ya Jang ya,” kataku sambil mengangguk.
Sebulan, aku mengontrak di rumah Ujang, hingga pada
akhirnya ia meninggal dengan cara mengenaskan. Badannya penuh luka benjolan.
Bernanah dan mengeluarkan bau anyir. Berhari-hari, Ujang melolong minta tolong.
Namun, ajal seakan sulit menghampirinya. Dalam hati aku berpikir, sungguh berat
siksanya di dunia.
Sepeninggal Ujang, aku pindah ke rumah sendiri.
Kebetulan rumahku sudah selesai direnovasi. Aku gali kembali ikat pinggang yang
telah kukubur. Dan kubawa ke rumah yang baru. Di sini, di rumah yang baru,
penampakan-penampakan kembali hadir. Di malam pertama, aku disambut dengan
suara berdebum di lantai dua. Seperti suara barang yang dilempar keras.
Aku bergegas naik ke atas, tapi tak terlihat seorang
pun di sana.
Tidak ada benda yang berserakan, atau jatuh ke lantai. Semuanya tetap di
tempatnya seperti semula. Pengalaman yang mengingatkanku kembali dengan
kenangan pahit di Maluku dulu.
Aku bergegas turun ke bawah. Kudekap anakku yang
tertidur pulas. Aku bersyukur, ia tidak terganggu dengan dentuman suara itu.
Ingatanku kembali kepada Mas Pri yang jauh di seberang sana. Entahlah, apakah ia merasakan keanehan
seperti yang kurasakan ini, aku tidak tahu. Yang jelas, kerinduan dalam hatiku
kembali membuncah. Dalam suasana seperti ini aku sangat membutuhkan
kehadirannya.
Suara berdebum di malam pertama itu merupakan sebuah
pertanda. Bahwa ada makhluk lain yang tinggal di lantai atas. Beberapa kali
makhluk tak diundang itu menampakkan diri kepada warga sekitar. Mereka pun
bercerita, “Kus, ada bapak-bapak yang tinggal di lantai atas rumahmu. Badannya
tinggi sekali. Sekitar dua meter. Bajunya hitam,” kata Imah, seorang
tetanggaku.
Aku tidak menyangkal apa yang mereka ceritakan. Karena
sudah beberapa kali aku melihat kehadiran makhluk itu. Tapi di hadapan Imah,
aku pura-pura tidak tahu. Aku tidak ingin mereka takut dan enggan bermain di
rumahku. “Ah, nggak ada. Ibu nakut-nakuti saya saja,” kataku mengelak.
Setelah kelahiran anak yang kedua, aku mulai sensitif
bila ada orang yang meninggal. Ada
desiran halus yang menandakan seseorang akan meninggal. Firasat itu seringkali
benar. Dimulai dengan bulu kuduk yang merinding lalu mulai kesakitan di sekujur
badan. Badanku meriang. Bila perasaan seperti ini muncul, maka itu adalah
pertanda datangnya kematian. Kekuatan ini justru membuatku semakin tercekam
ketakutan.
Kian hari firasatku semakin kental, hingga akhirnya
orang di sekitarku mulai percaya dengan ramalan kematianku. Ada saja yang kemudian mereka pertanyakan
kepadaku.
Sampai akhirnya, aku sendiri yang ketakutan luar biasa.
Kekalutan ini bermula ketika aku
mendengar takbir lebaran dari masjid. Gema takbir yang membahana berulang-ulang
itu seakan merontokkan jiwaku. Aku berteriak histeris. “Panaaasss. Panaaassss.”
Ibu mertua yang sejak kehamilanku mulai membesar tinggal di rumahku berusaha
menenangkan diriku.
Aku mulai tenang. Ketika Mas Pri menghubungi via
telpon, aku menangis. Aku merasa sedih, di saat lebaran seperti ini harus
tinggal berjauhan. Aku ceritakan peristiwa semalam. Mas Pri minta maaf, karena
belum bisa pulang. Ia lalu memberiku wiridan. Kuamalkan wiridan itu. Tapi
semakin lama kuamalkan, hatiku semakin gelisah. Hingga akhirnya aku berteriak
histeris. “Aku mau pulang. Aku mau pulang,” aku terus berteriak sambil berlari
ke sana kemari.
Semua itu kulakukan tanpa sadar. Aku tidak lagi ingat punya anak dan suami.
Dalam ketakutan itu, aku mengajak ibu mertua untuk
wiridan. “Bu, aku disantet orang. Ayo wiridan bu!” kuajak ibu mertua wiridan.
Saat wiridan itu badanku bergoyang-goyang. “Ayo bu. Ayo bu. Aku disantet bu!”
Aku semakin yakin bila disantet. Aku kalut. Kuminta ibu mertua membawaku pulang
ke orangtua di Semarang.
“Bu, pulang saja bu. Antar aku ke Semarang
bu!”.
Kondisiku semakin parah. Kekuatan lain dalam diriku
semakin tidak dapat kukendalikan. Akhirnya ibu mertua mengantarkan aku ke Semarang sambil
menggendong anak keduaku yang masih orok.
Disuruh makan ekor kucing hitam
Sesampai di Semarang, aku dibawa berobat ke orang
pintar. Ki Dargo namanya. Padepokannya hanya berjarak satu kilo meter dari
rumah ibu. Menurut ibu, ketika masuk ke
padepokan Ki Dargo aku berlagak tak ubahnya seorang jagoan. Dengan berkacak
pinggang, aku tantang Ki Dargo. “Ilmu kamu setinggi mana?” kataku. “Aku mau
pulang. Kalau kamu benar-benar tinggi ilmunya, antarkan aku pulang!” bentakku
dengan sengit.
Ki Dargo tidak menduga mendapat tantangan itu. Namun,
ia masih berusaha tenang. “Emang, rumahmu dimana?” tanya Ki Dargo. “Di Maluku,”
kataku. Ki Dargo mengira aku masih trauma perang saudara di Maluku dan masih
membekas. Karena itu ia menyarankan agar aku dibawa ke rumah sakit jiwa.
Orangtuaku menuruti nasehat Ki Dargo. Aku dibawa ke
rumah sakit jiwa. Selama di rumah sakit, aku mengoceh tidak karuan. Aku
sebutkan keburukan orang-orang di Pasuruan. Tetanggaku dan orang-orang yang
selama ini aku kenal. Perawat di rumah sakit itu hanya bisa geleng-geleng
kepala melihat ulahku.
Seminggu di rumah sakit tidak ada perubahan berarti,
bahkan setiap mendengar suara adzan, aku ketakutan luar biasa. Mataku
blingsatan dan secepat kilat kucabut selang infus. Aku berlari dan bersembunyi.
Hingga pada akhirnya Mas Pri datang seminggu setelah aku dirawat.
Mendengar keanehanku, Mas Pri teringat peristiwa di
Maluku beberapa tahun lalu. Ia mencoba menenangkanku dengan membaca ayat Kursi.
Aku berontak. Telingaku terasa panas. “Kurang ajar kamu Priono. Kamu yang
membawa aku ke sini. Kurang ajar kamu. Antarin ke Ki Dargo aku mau pulang,”
kataku dengan keras.
Suamiku ketakutan. Ia tidak menduga bila mendapat
bentakan seperti itu. “Kalau tidak, istrimu aku bawa,” ancam jin yang menguasai
diriku. “Jangan. Istriku jangan dibawa,” Mas Pri mempertahankan diri.
Akhirnya aku dibawa kembali ke padepokan Ki Dargo. Di sana, aku tidak kerasan.
Aku tersiksa dengan bisikan-bisikan yang terus terngiang di telinga. “Syetan.
Syetan. Syetan.” Bisikan ini terus membuntuti kemanapun aku pergi. Sampai
akhirnya salah seorang murid Ki Dargo mencoba mengusir bisikan itu dengan
memasukkan jin ke dalam diriku. Ia bermaksud mengusir jin dengan jin yang ia
masukkan. Tapi hasilnya nihil. Jin murid Ki Dargo dikalahkan oleh jin yang
telah menetap dalam diriku.
Melihat kenyataan itu, akhirnya Ki Dargo memutuskan untuk
mewariskan ilmu tenaga dalamnya kepadaku. Ia berharap dengan mengamalkan ilmu
ini, pada akhirnya jin itu akan kalah seiring dengan perjalanan waktu. Aku
tidak tahu, apa motif dibalik pengajaran ilmu tenaga dalam itu. Kedatanganku ke
sana bukanlah
untuk mencari ilmu, tapi jin yang ada dalam diriku ingin dipulangkan ke Maluku.
Ia merasa tidak bisa keluar dengan sendirinya dari tubuhku.
Aku tirakat. Tidak makan dan tidur sehari semalam.
Setelah itu aku disuruh makan silet dan kaca. Aku tidak mau. Keinginanku
bukanlah untuk mendapatkan kekebalan. Setiap kali ke padepokan Ki Dargo, aku
bukannya diobati, tapi diberi amalan-amalan baru berupa mantra Jawa. Aku
disuruh merapal mantra-mantra itu. hasilnya penyakitku bukannya sembuh, tapi
aku semakin kuat. Pukulanku semakin mematikan. Akibatnya aku mudah marah kepada
suami. Dan dengan ringan, aku pukul Mas Pri bila dia melakukan kesalahan.
Bukannya sembuh. Justru melahirkan masalah baru.
Di lain waktu itu bisikan jahat itu memprofokasi untuk
bunuh diri. “Reputasi kamu sudah habis. Sudah dibikin malu di Banyuwangi.
Sekarang, kamu bunuh diri saja. Kamu gantung saja di pohon mlinjo,” bisikan itu
terus terngiang di telinga. Aku terpengaruh. Tanpa sadar aku berteriak,
“Talinya mana, aku mau gantung diri.”
Orang-orang segera mengamankan tali dari jangkauanku.
Aku semakin kalut. Dalam kondisi seperti itu, aku tidak ingat pada anak atau
suami. Aku tidak kenal siapapun. Yang kutahu, aku hanya ingin dipulangkan ke
Maluku.
Kegagalan Ki Dargo tidak membuat keluargaku menyerah.
Mereka terus berusaha mencari pengobatan alternatif. Setiap orang bilang, di sana ada dukun bagus, dia
diundang ke rumah. Sampai karena sedemikian parahnya, aku pernah disuruh makan
ekor kucing hitam. Keluargaku menuruti permintaan sang dukun. Dan merelakanku
makan ekor kucing. Di lain waktu, ada dukun yang menyuruh menaruh tulang babi
di bawah tempat tidurku.
Keluargaku juga membawaku berobat ke psikeater, tapi
tidak banyak membawa perubahan. Karena ujung-ujungnya hanya dikasih obat
penenang.
Suatu ketika, Mas Pri kembali bertugas di Maluku. Di sana, ia bertemu dengan
tetua adat yang dulu memberi air sebotol. Ia menceritakan semua peristiwa yang
menimpaku. Entah apa yang dipikirkan tetua adat itu. hingga ia memberi suamiku
tiga botol air. Katanya aku harus dimandikan dengan tiga botol air itu.
Mas Pri senang. Ia berharap tiga botol air dati tetua
adat itu bisa menyembuhkanku. Hingga hari itu pun ia langsung pulang. Jam lima sore, aku
dimandikan. Katanya, biar syetannya tahu rasa.
Tapi yang terjadi kemudian justru kebalikannya. Jam dua
malam, terdengar suara berdentum di lantai atas. Seperti ada yang meletus. Keesokan harinya, anakku yang kedua
muntah-muntah dan harus dirawat di rumah sakit. Anak pertama juga menyusul
diopname. Tidak lama kemudian, aku juga harus dirawat karena demam yang tinggi.
Melihat gelagat yang kurang baik itu akhirnya aku dibawa ke Semarang kembali. Ibu bahkan menyuruh menjual
rumah di Banyuwangi.
Pertemuan dengan Majalah Ghoib.
Aku pindah ke Jakarta
ketika suamiku ditarik ke kantor. Waktu itu aku sedang hamil anak yang ketiga. Setelah
kelahiran anak ketiga aku mulai sakit lagi. Makin parah. Kali ini, aku sudah
menuntut cerai dari suamiku. “Sudahlah Mas, aku sudah tidak kuat. Aku minta
cerai. Pokoknya aku mau pergi dari sini.
Anak-anak kamu ambil semua.” Aku mulai kebingungan.
Mas Priono sadar bahwa itu bukan dari diriku. Gangguan
dari jin itu kembali muncul setelah aku mulai banyak membaca Al-Qur'an dan
mendekatkan diri kepada Allah. Beruntung, pada saat itu istilah ruqyah sudah
tidak lagi asing di masyarakat. Sehingga tetangga menyarankan agar aku mengikuti
terapi ruqyah di kantor Majalah Ghoib.
Ketika aku menghubungi kantor Majalah Ghoib,
aku disarankan untuk mengikuti terapi ruqyah di Ghoib Ruqyah Syar’iyah cabang
Ciputat. Salah satu cabang terapi ruqyah dari Majalah Ghoib yang
lebih dekat dengan tempat tinggalku.
Aku tidak sabar lagi. Kupanggil taxi dan kubawa ketiga
anakku. Sementara suami yang masih di kantor kuminta segera menyusul ke tempat
terapi ruqyah ke Ghoib Ruqyah Syar’iyah cabang Ciputat.
Saat dibacakan ayat-ayat Al-Qur'an oleh Ustadz Endang,
aku langsung teriak, “Aku mau pulang. Mau pulang.” Aku terus berteriak dan memberontak. Jin itu masih belum mengaku darimana asalnya.
Dia hanya tertawa dan berbelit-belit ketika ditanya.
Setelah terus dibacakan ayat Al-Qur'an, akhirnya jin
itu mengaku bahwa dia berasal dari kuburan. “Aku mau pulang. Tapi aku harus
bawa Kusminah,” kata jin dari kuburan itu. “Kamu pulang sendiri,” jawab Ustadz
Endang. “Dulu perjanjiannya gimana? Aku mau bawa Kusminah.”
Jin dari kuburan itu tidak mau pulang tanpa diriku. Ia
juga mengaku dia masuk melalui air kembang yang dibawa suamiku dari ritual
larung sajen di laut Maluku.
Pengakuan jin itu mengingatkanku kembali kepada masa
silam. Saat aku menginjakkan kaki di tanah Maluku. Menurut cerita yang kudengar
dari tetangga di perkampungan nelayan. Tempat larung sajen itu memang berada di
atas kuburan. Dulu, karang di tepi laut itu berupa daratan. Seiring dengan
waktu, ia terkikis dan menjadi bagian dari laut. Di sanalah Tetua adat biasa
mengadakan larung sajen.
“Yang ngasih minum itu Priono. Yang nyuruh Tetua adat,”
jin dari kuburan itu terus ngedumel.
“Aku diikat di badannya Kusminah. Aku tidak bisa
keluar,” celoteh jin itu. Suamiku pucat pasi mendengar pengakuan jin dari
kuburan. Ia tidak mengira bila diriku akan dijadikan tumbal nelayan.
Sepulang dari Ciputat, aku tetap memutar kaset ruqyah
di rumah. Akibatnya aku kembali melolong minta tolong. “Tolong-tolong, aku mau
pulang. Aku sudah tidak suka di badan Kusminah.” Lain kali dia mengancam
suamiku. “Priono. Bilangin Tetua adat sana,
aku mau pulang. Kalau tidak aku bunuh ibu kamu. Aku bunuh siapa saja.”
Di lain kesempatan jin itu merajuk seperti anak kecil.
Ia merayu suamiku. “Anakku sayang, Priono, ke sini aku pangku nak,” katanya.
“Sini sayang. Aku pulangin ya nak. Kamu anakku. Pulangin aku.” Ia selalu
mengulang kata-kata ingin pulang. Karena ia merasa tersiksa berada di badanku.
Sudah lama ia menetap di sini, dan ia ingin bebas. “Kalau aku sampai mati, tetua
adat mati,” ancamnya lagi.
Mas Pri mencoba menghubungi Danang di Maluku. Waktu itu
Danang minta dikirim baju yang sudah kupakai dan masih ada keringatnya. Hanya
saja dia baru bisa melakukan ritual pada hari Jum'at.
Suamiku ketakutan, sampai akhirnya dia hampir saja
mengabulkan permintaan Danang. “Gimana ya kalau baju kamu kukirim ke Danang.
Kalau tidak, kamu sendiri yang ke sana
naik pesawat,” kata Mas Pri. “Aku tanya ke Ustadz Endang dulu,” jawabku. Aku
tidak mau mengabulkan keinginan Mas Pri sebelum konsultasi dengan Ustadz
Endang. Ketika akhirnya ustadz tidak mengizinkan, Mas Pri tidak jadi mengirim
pakaianku ke Maluku.
Jalan yang kutempuh hanya mengintensifkan ruqyah.
Karena dari pengalaman selama ini, inilah jalan terbaik untuk mengeluarkan jin
dari dalam diriku. Aku tidak jemu-jemunya untuk terus ruqyah di rumah atau di
Ciputat. Karena pada dasarnya, aku mengalami gangguan di malam hari. Siang
hari, kesadaranku muncul kembali dan aku bisa melakukan aktifitas seperti
biasa.
Hingga suatu malam, jin itu menyerah. Ia keluar sekitar
jam sembilan malam. Dua jam setelah utusan dari kantor pulang dari rumahku.
Waktu itu aku tidur. Anakku yang pertama juga tiduran di sampingku. Anak yang
kedua aku dekap dengan erat. Saat itulah aku melihat bayangan seperti asap
hitam naik dan menembus atap rumah.
Anakku yang kedua melihat peristiwa bersejarah dalam
hidupku itu. Seperti seorang anak yang melepas kepergian orang lain. Anakku
mengucapkan salam perpisahan. “Dada mamaaa,” sementara anakku yang masih bayi
menangis keras.
Entahlah, apakah ada hubungan antara keluarnya jin itu
kedatangan utusan kantor ke rumah, aku tidak tahu pasti. Yang jelas, sekarang
aku mulai menata kembali kehidupanku bersama suami dan anak-anak setelah sekian
lama terganggu.
http://ruqyahmajalahghoib.blogspot.com/
http://ruqyahmajalahghoib.blogspot.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar