ALAMAT RUQYAH SYAR'IYYAH DAN BEKAM
JL. PERCETAKAN NEGARA IX A NO 79 B RAWASARI JAKARTA PUSAT
BUKA PRAKTEK BEKAM SETIAP HARI DARI JAM 09.00 S/D 17.00 TERMASUK HARI LIBUR DILUAR JAM BISA JANJIAN MENERIMA BEKAM PANGGILAN, BEKAM MASSAL, BEKAM SUAMI ISTRI , BEKAM KEPALA TANPA HARUS MENCUKUR RAMBUT DLL, Tlp : 0815 11311 554 , 0812 828 11254 WA / SMS
Putri, 30 tahun, eksekutif mudaJL. PERCETAKAN NEGARA IX A NO 79 B RAWASARI JAKARTA PUSAT
BUKA PRAKTEK BEKAM SETIAP HARI DARI JAM 09.00 S/D 17.00 TERMASUK HARI LIBUR DILUAR JAM BISA JANJIAN MENERIMA BEKAM PANGGILAN, BEKAM MASSAL, BEKAM SUAMI ISTRI , BEKAM KEPALA TANPA HARUS MENCUKUR RAMBUT DLL, Tlp : 0815 11311 554 , 0812 828 11254 WA / SMS
Harus darimana aku memulai kisahku ini, sulit rasanya. Tapi baiklah, sebut saja namaku Putri, kelahiran 30 tahun silam di Kudus, Jawa Tengah. Aku lahir dan dibesarkan di tengah keluarga baik-baik dan berkecukupan. Satu hal yang kubanggakan dari ayah adalah semangatnya untuk belajar dan terus belajar. Sesuatu yang menurun pada diriku.
Masa-masa kuliah di salah satu perguruan tinggi ternama di Jawa Tengah, kulalui dengan mulus. Meski disibukkan dengan kegiatan ekstra kurikuler, tapi hal itu tidak mempengaruhi nilai akademisku. Bahkan banyak pelajaran berharga yang kureguk kala bergelut dengan dunia organisasi.
Pengalaman yang memudahkanku meraih prestasi di dunia kerja. Hingga sekarang, terbilang sudah lima perusahaan yang pernah kulewati. Semuanya dalam posisi yang strategis dan sangat menjanjikan. Sekarang, aku menjadi asisten manajer di PMA Jepang.
Enam tahun silam, aku mengakhiri masa lajangku. Kebetulan, Allah
mempertemukanku kembali dengan pemuda satu angkatan di atasku. Mas
Hanif, begitu aku biasa memanggilnya. Waktu kuliah, kami sama-sama aktif
di organisasi. Kami sering bertemu dan bertukar pikiran. Tapi bukan
berarti kami telah merajut cinta. Hubungan kami masih sebatas teman satu
organisasi yang sering menyuarakan sikap yang sama.
Sungguh sebuah anugrah yang tidak terhingga. Allah memilihku menjadi
pendampingnya. Aku mengenalnya sebagai orang yang sangat baik, penyabar
dan pengertian.
Kehadiran Mas Hanif di sampingku, kian menguatkan semangat. Aku yang
memang senang dengan tantangan baru dalam bidang yang kugeluti tidak
memupus langkah dengan meninggalkan dunia kerja. Aku bersyukur, Mas
Hanif sangat memahami diriku. Ia memberiku kebebasan menjadi ratu dalam
rumah tangga tanpa melepaskan karir. Tentu dengan catatan, selama tidak
mengganggu tugas utamaku sebagai istri dan ibu bagi anakku.
Aku menyanggupinya. Karena memang di tahun pertama pernikahan kami,
Allah mempercayakan kami seorang bayi laki-laki yang lucu. Sebuah
anugerah yang tidak terhingga. Kehadirannya semakin melengkapi
kebahagiaan kami. Letih dan lelah setelah seharian berkutat dengan tugas
kantor, terasa hilang, kala mata memandang si buah hati. Kehadirannya
menjadi pelipur lara.
Kehadirannya kian melecut semangat kami dalam bekerja. Bukan untuk diri kami sendiri, tapi demi masa depan anak-anak kami.
Pindah kerja
Setelah lima tahun bekerja sebagai asisten manajer di salah satu
perusahaan asing, aku memutuskan mencari tantangan baru di tempat lain.
Aku pindah ke perusahaan garmen. Lima bulan di sana, aku beralih ke
perusahaan baja. Nah, ketika bekerja di perusahaan baja tersebut, ada
sebuah perusahaan yang baru dirintis menawariku bekerja di tempat
mereka.
Sebenarnya,
aku masih enjoy di perusahaan baja. Data lamaran kerjaku yang
terpampang di internet masih ada. Perusahaan tersebut mencari karyawan
untuk posisi tertentu dan kebetulan cocok dengan keahlianku.
Tiga kali mereka menghubungiku. Awalnya, aku menolak dengan halus.
tapi mereka tetap gigih. Mereka terus mengejarku hingga akhirnya hatiku
pun luluh. Suatu hari, dengan diantar Mas Hanif, aku menyelidiki
perusahaan tersebut. Ternyata memang baru dibangun. Plat nama perusahaan
saja masih belum terpasang.
Namun, di balik itu semua, aku melihat masa depan perusahaan tersebut
cerah. Modalnya kuat. Ia juga mendapat garansi dari seorang konglomerat
ternama. Akhirnya dengan segala keterbatasan yang ada, kuputuskan
menerima tawaran mereka.
Ketika pertama kali menginjakkan kaki di perusahaan tersebut, aku melihat wajah-wajah mereka cukup welcome
dan hormat. Aku dipercaya sebagai pimpinan setingkat asisten manajer.
Menggantikan Edward, eksekutif, yang dimutasi ke bagian lain. Saat
penyerahan tugas itu, Edward menyebut satu nama yang perlu diberi
perhatian lebih. Rika, namanya. Ia bawahan langsung Edward. Bukan
lantaran prestasi Rika yang menonjol, tapi lebih disebabkan oleh
sikapnya yang kurang bagus. Susah diatur, etikanya tidak dan bagus dan
yang lebih parah, Rika terlalu santai.
Catatan singkat itu kuperhatikan. Aku mengumpulkan segala informasi
yang terkait dengan bidang kerjaku. Dari informasi yang kudapat, aku
menyimpulkan bahwa konflik antara Edward dan Rika lebih disebabkan oleh
gaya kepemimpinan Edward yang one man show. Ia kurang memberi kesempatan dan pelatihan kepada bawahannya. Di saat yang sama, ia meminta mereka bersikap professional.
Gaya kepemimpinan itu yang ingin kurubah. Aku menginginkan agar semua
bawahan dapat bekerja secara tim dan memiliki tanggung jawab. Pada saat
yang sama, aku melatih dan membimbing mereka agar dapat mengerjakan
tugas sesuai dengan standar yang ditentukan perusahaan. Demikian pula
terhadap Rika.
Setelah sekian minggu, ada perubahan positif atas kinerjanya. Walau
pada akhirnya, aku mengakui bahwa catatan yang diberikan Edward benar
adanya. Meski demikian, hal itu tidak menjadi penghalang hubungan di
antara kami. Mungkin karena sama-sama perempuan, sehingga aku lebih bisa
memahami sikapnya.
Baru tiga bulan bekerja, aku dan Mas Hanif dikejutkan dengan kabar
gembira. Aku positif hamil. Memang, sudah kami rencanakan untuk segera
menimang anak yang kedua. Karena anak yang pertama sudah berusia lima
tahun. Tapi tetap saja kehamilanku itu menjadi surprise tersendiri.
Perasaan haru sekaligus bahagia menyelimuti diriku bersama suami menapak
hari-hari di awal tempat kerja yang baru.
Semakin tambah bulan kurasakan beban di perutku semakin berat. Ya,
memang itu manusiawi sekali. Walaupun berat, aku masih tetap semangat
bekerja. Apalagi tergolong orang baru sekaligus pimpinan. Kira-kira
menginjak bulan ke enam masa kehamilanku atau kira-kira 9 bulan masa
kerjaku. Nampak ada keanehan dalam diriku. Entah apa pemincunya dan
kapan mulainya, rasanya seperti air yang mengalir, kudapati diriku tidak
seperti yang dulu lagi.
Aku mulai sensitif, cepat marah dan mudah tersinggung. Awalnya Mas
Hanif mengira kalau itu adalah gejala alami dari ibu yang sedang hamil.
Puncaknya, aku malas bekerja. Aku lebih memilih mengurung diri di kamar
ketimbang bercengkerama dengan suami dan anak-anak bila libur tiba.
Benar-benar aku merasakan kondisi yang sangat payah. Aku tidak mau
lagi bekerja. Entah karena apa. Rasanya sangat berat untuk berangkat
kerja. Bahkan aku sempat tidak masuk selama seminggu. Anehnya aku tidak
mau ditinggal Mas Hanif kerja. Ada perasaan ketakutan yang luar biasa
menyelimuti diriku saat itu.
Kepala dan pundak juga sering pusing dan pegal-pegal. Hampir setiap
saat Mas Hanif kuminta untuk memijat bagian pundak, kaki dan kepala
apabila rasa sakit itu datang menghampiri. Tragisnya lagi, aku juga
tidak mau makan, padahal pada masa seperti inilah justru harus banyak
makan asupan yang bergizi.
Kami belum mengerti mengapa seperti ini. Mas Hanif juga masih
menganggap wajar karena masa kehamilanku semakin tua. Benar-benar aku
sudah payah untuk bekerja lagi. Pernah suatu saat aku kuatkan diri untuk
berangkat kerja. Sesampainya di kantor rasanya biasa saja. Tapi ketika
pulang ke rumah, rasa sakit mendera kembali. Hingga aku hanya bisa
tiduran saja. Mendapati gejala yang tidak wajar itu, Mas Hanif mencoba
mencari ‘orang pintar’ yang bisa mengobati
Kata teman-teman, gejala seperti itu biasanya karena guna-guna.
Datanglah orang pintar yang dimaksud. Sebut saja namanya Fadli. Lelaki
paruh baya itu datang bersama seorang temannya. Kondisiku yang kian
parah memaksa diriku hanya menerimanya sambil terbaring lemas. Beberapa
saat setelah proses pengobatan dimulai, aku tidak sadarkan diri.
Aku tidak tahu bagaimana cara pengobatannya. Menurut penuturan Mas
Hanif, Fadli memanggil jin yang menggangguku kemudian dimasukkan ke
mediator yang masih rekannya sendiri. Tak lama kemudian sang mediator
berulah seperti babi. Ia terus bergerak-gerak sambil mengeluarkan suara
babi.
Jin babi itu
disuruh keluar dari ragaku, tapi tetap enggan keluar. Akhirnya Pak Fadli
memaksanya. Entah bagaimana caranya, katanya jin babi itu sudah keluar.
Konon, jin babi itu berasal dari empang yang berada tidak jauh dari
rumahku. Antara percaya dan tidak, kami hanya mengiyakan saja penjelasan
Pak Fadli.
Setelah pengobatan malam itu, memang kondisiku membaik. Tapi aku masih
enggan untuk berangkat kerja. Karena itulah pengobatan diulang sampai
tiga kali. Sampai akhirnya, ia datang bersama timnya ke rumah. Katanya,
ia perlu menggelar ruwatan untuk membersihkan rumah dari pengaruh
makhluk ghaib tersebut.
Karena kondisiku masih payah, Mas Hanif mencari ‘orang pintar’ lagi.
Atas saran dokter spesialis kandungan dimana aku rutin memeriksakan
diri, kami mendatangi klinik seorang dokter di daerah Jakarta yang
menggabungkan pengobatan medis dan non medis. Hasil pemeriksaan klinis, alhamdulillah
kandunganku dinyatakan sehat. Kemudian aku disuruh terapi di ruang
sebelahnya. Di ruang tersebut sudah menunggu lelaki setengah baya yang
berbaju hitam. Kami disambut baik. Kemudian diminta menceritakan
keluhannya.
Pengobatan yang kali ini berbeda dengan yang sebelumnya. Tapi intinya
hampir sama. Pengobatan yang dimaksud menggunakan tenaga jin juga.
Pengobatan di tempat ini sempat sampai dua kali. Bahkan kami disarankan
untuk pindah rumah. Karena diduga ada sesuatu dengan rumah kami. Karena
kondisiku masih tetap payah walaupun telah menjalani pengobatan.
Dengan sangat terpaksa aku mengajukan diri untuk mengambil cuti hamil
lebih awal dari waktunya. Semua itu kulakukan demi kebaikan semua pihak.
Sebagian tugas kantor kupercayakan kepada Rika. Meski ada beberapa
sifatnya yang kurang berkenan, tapi setidaknya, ia bisa menyelesaikan
tugas harian.
Aku
bersyukur, akhirnya anakku lahir dengan selamat. Dia sehat dan cantik.
Dalam hati aku sangat bersyukur kepada Allah. Karena sekali lagi anakku
lahir dengan sehat jasmani dan rohani. Padahal selama hamil, benar-benar
kondisiku sangat payah.
Terbelenggu cinta sesama jenis
Tiga bulan setelah melahirkan aku masuk kantor kembali. Aku bersikap
biasa. Bekerja seperti biasa. Tapi beberapa hari kemudian, aku mendengar
ghosib yang kurang menyenangkan. Ada isu bahwa aku akan keluar dari
kantor. Posisiku akan diisi oleh eksekutif dari kantor pusat.
Jujur, aku kaget dengan berita tersebut. Selama ini, aku tidak punya
niat mengundurkan diri dari kantor. Meski apa yang kualami saat hamil
begitu menyakitkan, aku tidak menganggapnya sebagai penghalang untuk
terus berkarir.
Aku
penasaran. Siapa yang menyebarkan isu tersebut. Hingga semua karyawan
menganggapnya itu berita benar. Dari sekian orang yang kutanya, ternyata
semua berita itu bermuara pada Rika, orang yang kupercaya untuk
mengemban amanah selama aku cuti.
Rika hanya tersenyum. Dia tidak membela diri ketika kutanyakan mengapa
tega bersikap begitu. Saat itu, aku mulai bertanya apa motif Rika yang
sebenarnya. Aku mulai merunut ke belakang. Enam bulan lamanya, aku
menderita saat hamil. Dan sekarang, di kantor aku dibuatnya salah
tingkah.
Terlebih
reinbers kelahiranku molor dari jadwal. Rika yang berkuasa
mengeluarkannya. Kalau dia memang berniat baik, mengapa harus
ditunda-tunda. Toh, aku juga atasannya langsung. Tapi sudahlah, semua pikiran negatif itu kutepis. Aku tidak mau berburuk sangka.
Suatu ketika, aku menerima kado dari Rika. Katanya, itu kado kelahiran
atas anakku yang kedua. Aku sempat heran juga. Mengapa baru sekarang
dia memberikannya? Mengapa tidak sedari dulu, waktu anak keduaku lahir
dan menyerahkannya di rumah? Ah, biarlah. Kado itu pun kuterima.
Waktu terus berjalan. Tiga bulan sudah aku kembali bekerja. Namun, di
bulan yang ketiga itu pula aku merasakan keanehan dalam diriku. Entah
mengapa muncul perasaan senang berduaan dengan Rika. Senang melihat
wajahnya. Senang mendengar suaranya. Padahal sebelumnya, tidak ada
perasaan seperti itu.
Perasaan aneh itu muncul hanya berselang beberapa hari setelah aku
menerima satu karyawati kontrak. Karena aku melihat Rika sering keteteran
mengerjakan tugasnya. Sementara perkembangan perusahaan terbilang
cepat. Aku tidak ingin harus pulang malam setiap hari, karena pekerjaan
yang belum terselesaikan.
Tapi di sinilah masalahnya. Kehadiran karyawati baru tersebut merubah
sikapku kepada Rika. Gawat. Aku terperangkap dalam perasaan cinta
sejenis. Yang lebih parah, hasratku tidak bertepuk sebelah tangan.
Nampaknya Rika memahami perubahan sikapku.
Ia mulai mengirim pesan pendek tiap malam. Biasanya antara jam sebelas
hingga dua belas. Mulanya, dia hanya kirim SMS yang lucu-lucu. Lama
kelamaan tentang kematian. Hingga akhirnya aku menikmati dan menjawab
SMSnya. SMS pun terus mengalir. Perasaan suka itu pun semakin terpupuk.
Lama kelamaan, perasaan sayang itu melebihi kasih sayang antara atasan
dan bawahan. Bahkan lebih cenderung ke perasaan cinta. Menyadari
perkembangan yang negatif itu, aku cerita secara terbuka kepada Mas
Hanif. Ia suamiku. Sudah seharusnya ia tahu apa yang terjadi dalam
diriku sejak awal.
Kaget juga ia mendengarnya. Selama ini, tidak keanehan dalam diriku,
selain saat hamil anak yang kedua. Selebihnya, aku tidak memiliki
catatan negatif. Dalam sujud panjangku, aku sering menangis. Aku tahu
perasaan ini tidak wajar. Tapi aku masih belum tahu bagaimana cara
menyelesaikannya.
Yang terjadi justru sebaliknya. Perasaan sayang dan cinta kepada Rika
semakin menguat. Meski juga sudah ada karyawati baru, tapi aku lebih
menikmati suasana berduaan dengan Rika. Karena itulah, aku dan Rika
masih sering kerja lembur. Walau sebenarnya pekerjaan kami sudah bisa
terselesaikan tanpa harus lembur dengan tambahan karyawati baru.
Seandainya perilaku negatif itu merupakan penyimpangan bawaan, tentu
aku tidak akan cerita kepada suamiku. Diam-diam aku akan menikmatinya
sendiri. Tapi kenyataannya aku merasa tersiksa.
Mas Hanif sendiri tidak percaya. Secara penampilan, Rika tidaklah
cantik. Wajahnya biasa saja. Masih banyak karyawati yang jauh lebih
cantik darinya. Tapi sama sekali aku tidak tertarik dengan mereka.
Meski telah berupaya sekuat tenaga untuk mengusir dan menghapus
perasaan itu, tapi semua usahaku sia-sia belaka. Aku justru semakin
tergila-gila. Akibatnya konflik dalam rumah tangga pun tak lagi
terelakkan.
Aku
tidak lagi peduli dan perhatian kepada buah hatiku. Ketika hari libur
kerjaku hanyalah tidur dan tidur. Sementara dua anakku kuserahkan
sepenuhnya kepada pembantu dan suamiku. Buah hatiku yang masih merah itu
pun tak kuasa meluluhkan perasaanku. Aku enggan menggendongnya atau
sekadar melantunkan nyanyian anak-anak menjelang tidur.
Yang terbayang hanyalah wajah Rika. Perasaan ingin berdekatan
dengannya. Sampai terbawa ke alam bawah sadar. Dalam tidur nyenyakku aku
sering mengigau dan memanggil nama Rika. Bahkan dengan tegas aku
menantang suamiku untuk berpisah. “Kalau kamu tidak mau aku seperti ini.
Lebih baik aku hidup sendiri. Aku bisa menghidupi diriku sendiri.”
Begitulah aku menantang Mas Hanif.
Aku tidak lagi memikirkan suami dan dua anakku. Yang terbayang dalam
pikiran hanyalah Rika. Bahkan sempat terlontar ucapan yang memiriskan
hati bila mengingatnya. “Lebih baik bersama dia saja,” kataku suatu
saat.
Suatu hari
Mas Hanif membeli Majalah Al-Iman di lapak koran. Ia tertarik dengan
salah satu judul kesaksiannya. Dari sanalah, kami mengetahui terapi
ruqyah untuk mengusir gangguan jin. Karena apa yang kualami dan
kurasakan sangat kuat mengindikasikan bahwa diriku terkena gangguan jin.
Setidaknya begitulah analisa suamiku.
Mas Hanif menghubungi Graha ruqyah di 021-7037 4645, 0815 11311 554, 0812 8281 1254 dan membuat
janji. Mulailah tetapi demi terapi kami jalani. Pada pertemuan ketiga,
dengan ridha Allah aku mendapati perkembangan yang signifikan. Karena
saat itu benar-benar nyata bahwa selama ini yang membuatku seperti ini
adalah makhluk yang bernama jin. Dalam dialog itu jin mengaku dikirim
Rika, orang yang selama ini mengganggu pikiranku.
Wallahu a’lam bishshawab. Allah Yang Maha Tahu. Aku tidak mau berburuk sangka dan menyalahkan orang lain. Tapi itulah yang kurasakan.
Sekarang, kondisiku jauh lebih baik dibanding sebelumnya. Rasanya
seperti baru dilahirkan kembali. Walaupun demikian aku putuskan untuk
terus rutin menjalani terapi ruqyah. Aku tidak mau lagi coba-coba
berobat ke yang bukan syar’i. Semoga diringankan langkah kami agar lebih
baik dan selalu mendapatkan bimbingan dan ridha-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar