Hafsari:
Persaingan dunia kerja di kota besar seperti
Jakarta demikian besar, sehingga untuk meningkatkan rasa percaya diri dan agar
mudah diterima di berbagai kalangan terkadang membuat orang lupa diri. Ia
dengan sengaja atau tidak mencari pegangan dengan meminta bantuan jin. Ya,
jimat kewibawaan adalah solusi dari sekian masalah itu, katanya. Padahal
ketidaktenangan dan kehilangan kepribadian justru menjadi tumbal sang jimat.
Itulah sepenggal pengalaman Hafsari, mantan pegawai di sebuah event organizer
di Jakarta. Gadis berusia 26 tahun yang segera mengahiri masa lajangnya itu
menceritakan kisahnya kepada Majalah Ghoib. Berikut petikan kisahnya.
Sebagai seorang gadis yang masih
memiliki garis keturunan dengan penguasa Mataram, sangatlah wajar bila dalam
kehidupan saya tidak terlepas dari dunia paranormal. Walau saya bukan seperti
mereka, tapi setidaknya cukup sering eyang yang menganut Islam kejawen mengajak
saya ke paranormal.
Kebetulan pada tahun 1999, saya
bermain ke tempat bulek Rina yang tinggal di daerah Bogor. Saya terbiasa
memanggilnya dengan bulek karena ia masih kerabat dekat saya yang berprofesi
sebagai paranormal. Setelah ngobrol kesana kemari, bulek Rina menawari saya
sebuah jimat yang katanya untuk jaga diri. Entahlah, apa alasannya, kenapa saya
yang dikasih jimat itu dan bukan saudara saya yang lain.
Bulek Rina menyodorkan sebuah
bungkusan kain putih seperti kain blacu yang berbentuk segi empat seukuran jari
terlunjuk. Menurut bulek Rina jimat itu berisi kulit macan dan sejumlah jarum
emas yang disusun sedemikian rupa. Ow …, harum sekali baunya. Di bagian depan
bungkusan jimat itu terdapat tulisan berbahasa Arab yang ditulis dengan tinta
emas. Saya akui, saya memang tidak tahu apa artinya dan waktu itu saya juga
tidak mempertanyakannya kepada bulek. Sementara di bagian belakangnya diberi
peniti. Rupanya jimat ini harus saya pakai kemanapun saya pergi dan yang lebih
penting lagi harus menempel di kulit. Tidak boleh hanya dikantongi di dompet
atau disimpan dalam tas.
Waktu memberikan jimat itu bulek
sempat berpesan. “Dua bulan sekali, jimat ini harus dibawa kemari untuk di
perbarui kekuatannya,” ujar bulek dengan serius. Entahlah, bagaimana susunan
sejumlah jarum dan kulit macan itu sehingga saya tidak diperbolehkan membuka
atau mengutak-atiknya. “Kalau jimat ini rusak, jangan coba-coba untuk
memasangnya sendiri. Dan bila terkena air atau tercuci, maka kamu harus segera
membawanya kemari. Sebab kalau dibongkar khasiatnya akan berubah dan apa yang
kamu rencanakan bisa berantakan,” kata bulek dengan panjang lebar.
Setelah menerima jimat kewibawaan
itu, bulek menyuruh saya memakan sebutir asam manis yang dicampur dengan gula.
Menurut bulek, setelah makan gula asam manis itu maka senyuman saya akan
kelihatan manis dan berwibawa. Selain itu setiap malam Jum’at Kliwon saya harus
datang ke rumah bulek untuk mandi kembang.
Selepas sekolah SMA saya diterima
kerja di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang event organizer.
Dengan tinggi badan 162 cm dan berat 48 kg, sangat membantu sekali dalam
pelaksanaan tugas saya setiap hari. Terlebih bila saya dikaruniai kulit yang putih bersih. Orang bilang klop lah
dengan dunia kerja yang saya masuki.
Tidak jarang saya mendapat tugas
menjadi pagar ayu di sebuah acara yang dihadiri oleh pajabat atau pengusaha
besar. Nah, dalam kondisi seperti ini saya sering mendapat tugas sebagai pager
ayu atau bahkan terkadang disuruh menari tarian Jawa. Entahlah, apakah itu
karena jimat pemberian bulek yang selalu saya bawa ataukah memang karena aura
dalam diri saya yang demikian kuat, saya saat itu masih belum tahu. Tapi yang
jelas orang sangat terpesona dengan penampilan saya. “Eh, lihat. Dia cantik
banget ya,” pujian yang hanya berupa bisikan sesama mereka bukan hal yang asing
lagi.
Daya pesona saya semakin kuat
apabila jimat itu baru saya bawa ke bulek. Istilahnya untuk dicharge
lagi, dan saya habis mandi kembang pada hari Jum’at Kliwon. Lalu sebelum
bertugas saya makan gula asam manis, maka bisa dijamin mata para lelaki akan
melotot. Seakan mereka mau menelanjangi saya. Bahkan tidak sedikit dari pejabat
atau pengusaha yang membujuk saya agar mau menjadi istri simpanannya.
Anehnya, meski begitu banyak yang
terpesona tapi tidak satupun di antara mereka yang mampu berbuat senonoh
terhadap saya. Bukan berarti semua orang itu baik perilakunya, tapi memang ada
kekuatan lain yang tidak mereka ketahui yang menjaga saya. Saya sendiri tidak
tahu kalau seandainya bukan mereka sendiri yang mengatakannya.
Seperti yang terjadi pada suatu
malam, setelah menjadi pagar ayu di sebuah acara. Ada seorang pengusaha yang
mengantar saya pulang. Di tengah jalan, dia berbicara terus terang, “Tadi saya
sudah berniat untuk melakukan yang tidak-tidak dengan kamu. Tapi entah kenapa,
badan saya menjadi lemah. Kaki dan badan saya lemas. Saya tidak bertenaga.”
Ungkapan semacam ini sudah sering saya dengar dari banyak lelaki yang terpesona
dengan kecantikan saya.
Terus terang, ketidakberdayaan
mereka itu semakin membuat saya percaya diri dan tidak meninggalkan dunia yang
saya geluti beberapa tahun itu. Saya semakin menikmati dunia kerja. Klien saya
pun terus meluas. Dan dengan mudahnya saya mencari uang. Hanya dengan kenalan
dan makan bersama, uang satu juta setengah dengan mudahnya masuk kantong.
Namun, saya bukan seperti perempuan murahan yang bisa diajak apa saja. Saya
masih punya prinsip yang tidak boleh dilanggar.
Keberuntungan yang saya miliki
ini tidak berhenti sampai di sini. Perusahaan tempat saya bekerja pun
memperoleh imbasnya. Karena semahal apapun harga yang saya tawarkan kepada
klien, mereka pasti mengambilnya. Ya, mereka seperti kerbau yang dicocok
hidungnya. Bayangkan harga untuk sebuah acara kecil-kecilan yang ditetapkan
oleh kantor senilai 15 juta itu saya
tawarkan kepada klien 20-25 juta. Anehnya, klien saya itu menerimanya begitu
saja. Terlebih bila klien yang datang itu seorang laki-laki, maka lebih mudah
untuk dipengaruhi. Waktu itu, saya hanya memakan dua atau tiga permen pemberian
bulek yang telah diberi mantra-mantra. Selanjutnya dengan gaya diplomasi saya
tawarkan kerjasama. Dan selanjutnya mereka bahkan akhirnya mereka menjadi klien
tetap dan harganya juga tetap tinggi.
Dalam suatu kesempatan, saya lupa
jadwal acara ramah tamah sebuah perkantoran. Acara yang seharusnya dilaksanakan
jam 11 siang itu akhirnya molor hingga jam 3 sore. Padahal itu adalah acara
makan siang. Terang saja atasan saya langsung mendapat komplein dari klien.
Akhirnya saya mengaku bersalah, “Ya sorry pak, saya lupa,” saya sampaikan
ucapan maaf itu sambil tersenyum. Mendengar pejelasan itu, atasan saya dengan
mudah menerimanya, “Oke, ya sudah tapi lain kali jangan diulangi.” Saya sempat
heran kok begitu mudahnya atasan saya itu menerima permintaan maaf, padahal
saya yakin seandainya keteledoran itu dilakukan orang lain, pasti ia akan dapat
surat peringatan.
Keberhasilan demi keberhasilan
mempengaruhi klien itu akhirnya melahirkan ketergantungan baru dalam diri saya.
Ya, saya sangat tergantung dengan jimat pemberian bulek. Bila saya lupa
membawanya maka secara otomatis hati saya menjadi gundah. Perasaan takut akan
kegagalan segera menjalar. Seperti yang terjadi saat menangani seorang klien.
Pada awal pembicaraan semuanya berjalan lancar, “Punya anggaran berapa pak?”
tanya saya dengan ramah. “Untuk acara ini kita menganggarkan seratus juta.”
Jawabnya dengan tidak kalah ramahnya. “Oke. Seratus juta” saat itu kita sudah
hampir mencapai kata sepakat. Hati saya juga sudah terlanjur senang. Boleh
dibilang sudah sedikit menghayal karena akan dapat komisi 25 %.
Tapi saat pembicaraan berikutnya,
yang mengarah pada penandatanganan kesepakatan saya lupa membawa jimat. Hati
saya langsung ketar-ketir. “Aduh, nggak jadi deh, nggak jadi deh”. Akhirnya
kekhawatiran itu menjadi nyata. Uang yang sudah di pelupuk mata itupun lenyap
kembali, hanya karena hilangnya rasa percaya diri sehingga negosiasi pun
terkesan kaku. Akibatnya, pihak klien membatalkan perjanjian. Wah, hari itu
saya dimarahi atasan habis-habisan.
Saya Sering Meninggalkan
Sholat Karena Jimat
Lama kelamaan saya capek sendiri ngurusi jimat
kewibawaan itu. Ya, setiap hari saya harus terus memakainya sedemikian rupa
sehingga jimat itu nempel di kulit. Belum lagi ia juga tidak boleh kena air
atau jangan sampai susunan jarum emas dan kulit macan itu berubah. Otomatis
saya harus super hati-hati. Belum lagi setiap malam Jum’at Kliwon harus mandi
kembang serta memperbaharui jimat itu dua bulan sekali.
Saya terus merenung. Memikirkan
perjalanan hidup saya selama memakai jimat itu. Tingkat ketergantungan saya
kepada jimat dan bulek Rina, sudah di luar kewajaran. Apalagi saya juga sering
meninggalkan shalat. Dengan mata berlinang saya mengakui kesalahan, “Ya ampun,
kenapa saya sering meninggalkan shalat?”. Apakah mungkin ada kaitannya dengan
jimat pemberian bulek? Saya mencoba mengingat kembali waktu-waktu yang telah
berlalu.
Ya, setelah memakai jimat itu
saya digiring perlahan untuk meninggalkan shalat. Awalnya saya masih tetap
rajin, tapi hati saya sudah mulai tidak tenang bila diajak berdoa. Selepas
salam saya lepas mukena lantas jalan. Biasanya langsung kumpul sama
teman-teman. Beberapa minggu berikutnya gangguan itu semakin berat. Saya mulai
tidak bisa konsentrasi. Selepas takbiratul ihram, pikiran saya langsung
melayang entah kemana. Terkadang seperti orang yang bengong, hingga akhirnya
saya lupa bilangan rakaatnya. Karena sudah saking seringnya kadang sampai
terucap, “Eh, sudah berapa rakaat ya”.
Minggu-minggu berikutnya bahkan
saya tidak lagi mempertanyakan berapa bilangan rakaatnya. Karena yang terjadi
justru ketika sedang melaksanakan shalat Ashar, saya merasa sedang shalat
Maghrib, atau sebaliknya saya shalat Maghrib empat rakaat, “Gile lu,
shalat tiga rakaat, emang kamu shalat apa?” tanya teman saya
terheran-heran. “Shalat maghrib,” jawab saya dengan tidak bersalah. “Sekarang
belum maghrib,” terpaksa saya menambah satu rakaat lagi. Gangguan kelupaan
shalat itu terus meningkat hingga terkadang saya langsung shalat tanpa
berwudhu. Sedih rasanya hati ini bila membayangkan saat itu.
Keganjilan itu semakin menjadi-jadi
ketika dalam alam tidur saya bermimpi shalat Shubuh. Akibatnya saya terus saja
terbuai dengan mimpi tanpa ada keinginan untuk bangun saat adzan. Saya baru
tersadar ketika matahari sudah meninggi dan oalah… itu tadi hanya mimpi. Saya
benar-benar belum shalat. Peristiwa seperti ini terjadi berkali-kali.
Kian hari gangguan itu kian
parah, hingga syetan memenangkan pertarungan. Saya dibuatnya rela meninggalkan
shalat hingga dua hari. Anehnya, saat itu saya seakan tidak bersalah, dengan
ringan keluar komentar dari mulut saya, “Ah,orang lain tidak shalat juga tidak
apa-apa.” Sungguh menggelikan memang. Jimat itu telah menguasai saya secara
perlahan.
Selain itu, telinga saya seakan
kepanasan bila mendengar orang mengaji. Saat saya coba membaca Al-Qur’an beratnya
bukan main. Baru dapat satu lembar saja, mata sudah sepet, ngantuk
bahkan terkadang berair. Perut saya rasanya
nek, pusing dan ingin muntah. Sesudah shalat saya lantas jalan,
tidak baca apa-apa. Langsung buka mukena dan keinginan bermain dengan teman-teman
tidak tertahankan lagi, “Eh, ntar saya jemput disini ya,” saya langsung
menghubungi teman-teman.
Selanjutnya meluncur ke night
club menikmati hingar-bingarnya dunia malam. Setelah memakai jimat itu,
saya memang lebih suka keluyuran. Saya berpikir, “Uang ada, badan juga oke,
lalu buat apa hanya berdiam diri di rumah.” Saya masih bersyukur ketika
terlibat di dunia malam itu saya tidak terpengaruh untuk minum minuman keras
ataupun extacy. Meski tidak saya pungkiri bahwa saya juga suka berdisko.
Berbekal dari renungan-renungan
itu akhirnya mulai bulan Juli 2002, saya tidak lagi memakai jimat pemberian
bulek. Ini adalah awal tahapan baru dalam kehidupan saya, karena setelah itu
saya memang tidak lagi bekerja di event organizer. Saya keluar dan
bekerja di sebuah penerbangan. Di tempat ini saya tidak bisa lagi seperti dulu,
dengan hanya mengandalkan kemampuan bicara dapat menghasilkan uang. Di tempat
ini saya harus banting tulang, terkadang saya harus kerja lembur untuk
menyelesaikan tugas kantor.
Di balik kecapekan itu saya
merasakan kenikmatan lainnya. Ya, kenikmatan yang sempat hilang sejak tiga
tahun yang lalu. Sejak saat itu saya bisa berdoa dengan khusyu’. Di keheningan
malam saya bermunajat, “Ya Allah, saya telah melakukan kesalahan dengan memakai
jimat kewibawaaan. Ya Allah, ampunilah dosa hamba-Mu.”
Ketergantungan kepada jimat
memang tidak menyelesaikan masalah. Toh sebenarnya tanpa jimat itupun saya
mendapat pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan saya. Apalagi atasan saya
sekarang sangat menghargai kinerja bawahannya. Yang terpenting saya telah
melakukan kerja sebaik-baiknya.
Juli 2002 menjadi catatan
tersendiri dalam diri saya, karena sejak itulah saya bisa meninggalkan jimat
dan hanya bergantung kepada Allah yang disertai dengan usaha keras dalam bekerja.
Kebetulan eyang saya juga sudah mulai udzur. “Hafsari, Aku itu sudah tidak bisa
ngikuti kamu. Jadi kamu itu shalatnya harus mulai rajin. Karena iman itu tidak
bisa diwariskan, kalau ilmu sih mungkin bisa diwariskan.” Pesan eyang yang
terus membekas dalam hati.
Juli 2002 semakin membekas,
karena pada bulan itu pula cinta jarak jauh yang terjalin dengan seorang WNI
yang bekerja di luar negeri putus. Perpisahan itu tidak layak untuk disesali,
karena saya sadar bahwa jalinan yang ada selama ini tidak terlepas dari jimat
yang selama ini saya kemana-mana. Jimat itu kata bulek memiliki tiga kekuatan,
kewibawaan, mempercantik diri dan pengasihan. Terlebih bila mengingat saya juga
pernah kirim garam yang telah dibacakan mantra oleh bulek Rina kepada kekasih jarak
jauh tadi. Saya tidak perlu sebut namanya, karena lembaran itu telah
benar-benar terkubur. Saya sadar bahwa rumah tangga tidak akan bisa dibangun di
atas pondasi jimat pengasihan.
Eyang yang telah merawat saya
sejak kecil juga sudah mulai sakit-sakitan. Hingga akhirnya pada pertengahan
2003 beliau menghembuskan nafasnya yang terakhir, Setelah melaksanakan shalat
shubuh sambil berbaring di atas tempat tidur. “Jaga diri baik-baiklah. Jadilah
wanitayang terhormat dan jangan lupa shalat,” sebaris pesan eyang kepada saya.
Menjelang meninggal, mulut eyang
berbusa. Menurut cerita yang saya dengar sebenarnya kalau saya mewarisi ilmu
eyang, maka saya tinggal mengambil busa dengan tangan. Tapi karena saya merasa
tidak akan mampu merawatnya maka saya tidak berani mengambilnya. Busa itu hanya
saya ambil dengan saputangan kemudian saya simpan dan tidak saya apa-apakan.
Sepeniggal nenek saya mulai
sakit-sakitan. Mulai dari radang ginjal sampai dua bulanan. Mungkin saya
sedikit shok ditinggal eyang yang dengan penuh kasih sayang merawat saya sejak
kecil. Sedemikian sayangnya sehingga eyang tidak pernah marah. Selain itu saya
juga saya sering migraine. Usus dalam lambung saya juga luka.
Derita demi derita itu kembali membuka cakrawala
baru dalam kehidupan saya. tepatnya tanggal 1 februari 2004. Ini adalah hari
bersejarah bagi saya karena di hari raya Idul Adha inilah saya mulai mengenakan
jilbab. Sangat kontras dengan kehidupan saya sebelumnya yang suka mengenakan
pakaian mini.
Saat pelaksanaan shalat di
lapangan saya sempat menangis, karena saya mengingat apa yang terjadi pada masa
lalu. “Ya Allah, kok sia-sia sekali hidup saya. Cantik, pintar ataupun kaya itu
tidak ada artinya, bila saya tidak bertakwa. Bila tubuh ini penuh dengan dosa.”
Akhirnya saya bertekad. “Oke, hari ini saya harus pakai jilbab”
Pertama kali memakai jilbab itu
bukannya tanpa rintangan. Justru tantangan terberat datang dari orang-orang
yang selama ini mengisi kehidupan saya. Teman yang sering jalan-jalan malam
protes. “Lho kok berbeda sih. Nanti gimana kalau kita kumpul-kumpul. Gimana
kalau kita merayakan ulang tahun salah satu teman kita?” namun saya pantang
mundur. Saya jelaskan kepada mereka bahwa persahabatan tidak terhenti hanya
karena jilbab.
Namun seiring dengan semakin
dekatnya saya kepada ajaran agama, saya mengalami beberapa keanehan. Saya
sering mimpi dikejar makhluk-makhluk
yang menyeramkan. Kadang berbentuk ular atau srigala dan di lain kesempatan
makhluk itu berbentuk macan. Dalam mimpi itu saya mencoba berlari dan berlari
hingga akhirnya saya terbangun setelah terjatuh dari tempat tidur.
Mimpi-mimpi itulah yang
mengantarkan saya untuk datang ke kantor Majalah Ghoib, karena
menurut seorang ustadzah ada kemungkinan saya terkena gangguan jin. Saat
mendengar ayat-ayat ruqyah telinga saya langsung kepanasan. Bahkan saat
diruqyah ustadz Mulyadi jin yang telah merasuki saya mengejek, “Suaramu jelek.”
Menurut seorang teman yang menemani saya ruqyah, jin yang merasuk ke dalam
tubuh saya itu genit. Mata saya dibuatnya melirik kesana kemari, seperti
seorang wanita yang mencoba memikat lawan jenisnya. Bahkan saat itu saya sempat
menagis.
Setelah ruqyah yang pertama itu,
tiga hari kemudian saya ruqyah untuk kedua kalinya. Dan Alhamdulillah kali ini
tidak ada jin yang bereaksi. Saya berharap bahwa saya telah terbebas dari
gangguan buruknya. Terlebih bila mimpi buruk yang sering menghantui saya, sejak
ruqyah yang pertama tidak lagi saya alami.
Sekarang, saya juga sudah senang
mendengar orang mengaji. Dulu kalau mengikuti kajian keislaman saya biasanya terlambat
karena menghindar dari bacaan Al-Qur'an. Belum lama ini saya bisa datang lebih
awal.
Semoga sepenggal kisah ini
menjadi renungan bagi teman-teman saya yang masih suka menikmati indahnya hidup
dengan menggunakan jimat, apapun nama dan jenisnya. Karena yakinlah bahwa itu
semua tidak ada untungnya. Hanyalah derita batin yang akan terus menghantui.
kisah nyata sumber majalah ghoib edisi 17 th 2004
Tidak ada komentar:
Posting Komentar