Selasa, 29 Oktober 2019

Kekuatan Kewibawaan, Kecantikan dan Pengasihan Dalam Satu Jimat


Hafsari:

Persaingan dunia kerja di kota besar seperti Jakarta demikian besar, sehingga untuk meningkatkan rasa percaya diri dan agar mudah diterima di berbagai kalangan terkadang membuat orang lupa diri. Ia dengan sengaja atau tidak mencari pegangan dengan meminta bantuan jin. Ya, jimat kewibawaan adalah solusi dari sekian masalah itu, katanya. Padahal ketidaktenangan dan kehilangan kepribadian justru menjadi tumbal sang jimat. Itulah sepenggal pengalaman Hafsari, mantan pegawai di sebuah event organizer di Jakarta. Gadis berusia 26 tahun yang segera mengahiri masa lajangnya itu menceritakan kisahnya kepada Majalah Ghoib. Berikut petikan kisahnya.

Sebagai seorang gadis yang masih memiliki garis keturunan dengan penguasa Mataram, sangatlah wajar bila dalam kehidupan saya tidak terlepas dari dunia paranormal. Walau saya bukan seperti mereka, tapi setidaknya cukup sering eyang yang menganut Islam kejawen mengajak saya ke paranormal.
Kebetulan pada tahun 1999, saya bermain ke tempat bulek Rina yang tinggal di daerah Bogor. Saya terbiasa memanggilnya dengan bulek karena ia masih kerabat dekat saya yang berprofesi sebagai paranormal. Setelah ngobrol kesana kemari, bulek Rina menawari saya sebuah jimat yang katanya untuk jaga diri. Entahlah, apa alasannya, kenapa saya yang dikasih jimat itu dan bukan saudara saya yang lain.


Bulek Rina menyodorkan sebuah bungkusan kain putih seperti kain blacu yang berbentuk segi empat seukuran jari terlunjuk. Menurut bulek Rina jimat itu berisi kulit macan dan sejumlah jarum emas yang disusun sedemikian rupa. Ow …, harum sekali baunya. Di bagian depan bungkusan jimat itu terdapat tulisan berbahasa Arab yang ditulis dengan tinta emas. Saya akui, saya memang tidak tahu apa artinya dan waktu itu saya juga tidak mempertanyakannya kepada bulek. Sementara di bagian belakangnya diberi peniti. Rupanya jimat ini harus saya pakai kemanapun saya pergi dan yang lebih penting lagi harus menempel di kulit. Tidak boleh hanya dikantongi di dompet atau disimpan dalam tas.
Waktu memberikan jimat itu bulek sempat berpesan. “Dua bulan sekali, jimat ini harus dibawa kemari untuk di perbarui kekuatannya,” ujar bulek dengan serius. Entahlah, bagaimana susunan sejumlah jarum dan kulit macan itu sehingga saya tidak diperbolehkan membuka atau mengutak-atiknya. “Kalau jimat ini rusak, jangan coba-coba untuk memasangnya sendiri. Dan bila terkena air atau tercuci, maka kamu harus segera membawanya kemari. Sebab kalau dibongkar khasiatnya akan berubah dan apa yang kamu rencanakan bisa berantakan,” kata bulek dengan panjang lebar.
Setelah menerima jimat kewibawaan itu, bulek menyuruh saya memakan sebutir asam manis yang dicampur dengan gula. Menurut bulek, setelah makan gula asam manis itu maka senyuman saya akan kelihatan manis dan berwibawa. Selain itu setiap malam Jum’at Kliwon saya harus datang ke rumah bulek untuk mandi kembang.
Selepas sekolah SMA saya diterima kerja di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang event organizer. Dengan tinggi badan 162 cm dan berat 48 kg, sangat membantu sekali dalam pelaksanaan tugas saya setiap hari. Terlebih bila saya dikaruniai kulit  yang putih bersih. Orang bilang klop lah dengan dunia kerja yang saya masuki.
Tidak jarang saya mendapat tugas menjadi pagar ayu di sebuah acara yang dihadiri oleh pajabat atau pengusaha besar. Nah, dalam kondisi seperti ini saya sering mendapat tugas sebagai pager ayu atau bahkan terkadang disuruh menari tarian Jawa. Entahlah, apakah itu karena jimat pemberian bulek yang selalu saya bawa ataukah memang karena aura dalam diri saya yang demikian kuat, saya saat itu masih belum tahu. Tapi yang jelas orang sangat terpesona dengan penampilan saya. “Eh, lihat. Dia cantik banget ya,” pujian yang hanya berupa bisikan sesama mereka bukan hal yang asing lagi.
Daya pesona saya semakin kuat apabila jimat itu baru saya bawa ke bulek. Istilahnya untuk dicharge lagi, dan saya habis mandi kembang pada hari Jum’at Kliwon. Lalu sebelum bertugas saya makan gula asam manis, maka bisa dijamin mata para lelaki akan melotot. Seakan mereka mau menelanjangi saya. Bahkan tidak sedikit dari pejabat atau pengusaha yang membujuk saya agar mau menjadi istri simpanannya.
Anehnya, meski begitu banyak yang terpesona tapi tidak satupun di antara mereka yang mampu berbuat senonoh terhadap saya. Bukan berarti semua orang itu baik perilakunya, tapi memang ada kekuatan lain yang tidak mereka ketahui yang menjaga saya. Saya sendiri tidak tahu kalau seandainya bukan mereka sendiri yang mengatakannya.
Seperti yang terjadi pada suatu malam, setelah menjadi pagar ayu di sebuah acara. Ada seorang pengusaha yang mengantar saya pulang. Di tengah jalan, dia berbicara terus terang, “Tadi saya sudah berniat untuk melakukan yang tidak-tidak dengan kamu. Tapi entah kenapa, badan saya menjadi lemah. Kaki dan badan saya lemas. Saya tidak bertenaga.” Ungkapan semacam ini sudah sering saya dengar dari banyak lelaki yang terpesona dengan kecantikan saya. 
Terus terang, ketidakberdayaan mereka itu semakin membuat saya percaya diri dan tidak meninggalkan dunia yang saya geluti beberapa tahun itu. Saya semakin menikmati dunia kerja. Klien saya pun terus meluas. Dan dengan mudahnya saya mencari uang. Hanya dengan kenalan dan makan bersama, uang satu juta setengah dengan mudahnya masuk kantong. Namun, saya bukan seperti perempuan murahan yang bisa diajak apa saja. Saya masih punya prinsip yang tidak boleh dilanggar.
Keberuntungan yang saya miliki ini tidak berhenti sampai di sini. Perusahaan tempat saya bekerja pun memperoleh imbasnya. Karena semahal apapun harga yang saya tawarkan kepada klien, mereka pasti mengambilnya. Ya, mereka seperti kerbau yang dicocok hidungnya. Bayangkan harga untuk sebuah acara kecil-kecilan yang ditetapkan oleh  kantor senilai 15 juta itu saya tawarkan kepada klien 20-25 juta. Anehnya, klien saya itu menerimanya begitu saja. Terlebih bila klien yang datang itu seorang laki-laki, maka lebih mudah untuk dipengaruhi. Waktu itu, saya hanya memakan dua atau tiga permen pemberian bulek yang telah diberi mantra-mantra. Selanjutnya dengan gaya diplomasi saya tawarkan kerjasama. Dan selanjutnya mereka bahkan akhirnya mereka menjadi klien tetap dan harganya juga tetap tinggi.
Dalam suatu kesempatan, saya lupa jadwal acara ramah tamah sebuah perkantoran. Acara yang seharusnya dilaksanakan jam 11 siang itu akhirnya molor hingga jam 3 sore. Padahal itu adalah acara makan siang. Terang saja atasan saya langsung mendapat komplein dari klien. Akhirnya saya mengaku bersalah, “Ya sorry pak, saya lupa,” saya sampaikan ucapan maaf itu sambil tersenyum. Mendengar pejelasan itu, atasan saya dengan mudah menerimanya, “Oke, ya sudah tapi lain kali jangan diulangi.” Saya sempat heran kok begitu mudahnya atasan saya itu menerima permintaan maaf, padahal saya yakin seandainya keteledoran itu dilakukan orang lain, pasti ia akan dapat surat peringatan.
Keberhasilan demi keberhasilan mempengaruhi klien itu akhirnya melahirkan ketergantungan baru dalam diri saya. Ya, saya sangat tergantung dengan jimat pemberian bulek. Bila saya lupa membawanya maka secara otomatis hati saya menjadi gundah. Perasaan takut akan kegagalan segera menjalar. Seperti yang terjadi saat menangani seorang klien. Pada awal pembicaraan semuanya berjalan lancar, “Punya anggaran berapa pak?” tanya saya dengan ramah. “Untuk acara ini kita menganggarkan seratus juta.” Jawabnya dengan tidak kalah ramahnya. “Oke. Seratus juta” saat itu kita sudah hampir mencapai kata sepakat. Hati saya juga sudah terlanjur senang. Boleh dibilang sudah sedikit menghayal karena akan dapat komisi 25 %.
Tapi saat pembicaraan berikutnya, yang mengarah pada penandatanganan kesepakatan saya lupa membawa jimat. Hati saya langsung ketar-ketir. “Aduh, nggak jadi deh, nggak jadi deh”. Akhirnya kekhawatiran itu menjadi nyata. Uang yang sudah di pelupuk mata itupun lenyap kembali, hanya karena hilangnya rasa percaya diri sehingga negosiasi pun terkesan kaku. Akibatnya, pihak klien membatalkan perjanjian. Wah, hari itu saya dimarahi atasan habis-habisan.

Saya Sering Meninggalkan Sholat Karena Jimat
Lama kelamaan saya capek sendiri ngurusi jimat kewibawaan itu. Ya, setiap hari saya harus terus memakainya sedemikian rupa sehingga jimat itu nempel di kulit. Belum lagi ia juga tidak boleh kena air atau jangan sampai susunan jarum emas dan kulit macan itu berubah. Otomatis saya harus super hati-hati. Belum lagi setiap malam Jum’at Kliwon harus mandi kembang serta memperbaharui jimat itu dua bulan sekali.
Saya terus merenung. Memikirkan perjalanan hidup saya selama memakai jimat itu. Tingkat ketergantungan saya kepada jimat dan bulek Rina, sudah di luar kewajaran. Apalagi saya juga sering meninggalkan shalat. Dengan mata berlinang saya mengakui kesalahan, “Ya ampun, kenapa saya sering meninggalkan shalat?”. Apakah mungkin ada kaitannya dengan jimat pemberian bulek? Saya mencoba mengingat kembali waktu-waktu yang telah berlalu.
Ya, setelah memakai jimat itu saya digiring perlahan untuk meninggalkan shalat. Awalnya saya masih tetap rajin, tapi hati saya sudah mulai tidak tenang bila diajak berdoa. Selepas salam saya lepas mukena lantas jalan. Biasanya langsung kumpul sama teman-teman. Beberapa minggu berikutnya gangguan itu semakin berat. Saya mulai tidak bisa konsentrasi. Selepas takbiratul ihram, pikiran saya langsung melayang entah kemana. Terkadang seperti orang yang bengong, hingga akhirnya saya lupa bilangan rakaatnya. Karena sudah saking seringnya kadang sampai terucap, “Eh, sudah berapa rakaat ya”.
Minggu-minggu berikutnya bahkan saya tidak lagi mempertanyakan berapa bilangan rakaatnya. Karena yang terjadi justru ketika sedang melaksanakan shalat Ashar, saya merasa sedang shalat Maghrib, atau sebaliknya saya shalat Maghrib empat rakaat, “Gile lu, shalat tiga rakaat, emang kamu shalat apa?” tanya teman saya terheran-heran. “Shalat maghrib,” jawab saya dengan tidak bersalah. “Sekarang belum maghrib,” terpaksa saya menambah satu rakaat lagi. Gangguan kelupaan shalat itu terus meningkat hingga terkadang saya langsung shalat tanpa berwudhu. Sedih rasanya hati ini bila membayangkan saat itu.
Keganjilan itu semakin menjadi-jadi ketika dalam alam tidur saya bermimpi shalat Shubuh. Akibatnya saya terus saja terbuai dengan mimpi tanpa ada keinginan untuk bangun saat adzan. Saya baru tersadar ketika matahari sudah meninggi dan oalah… itu tadi hanya mimpi. Saya benar-benar belum shalat. Peristiwa seperti ini terjadi berkali-kali.
Kian hari gangguan itu kian parah, hingga syetan memenangkan pertarungan. Saya dibuatnya rela meninggalkan shalat hingga dua hari. Anehnya, saat itu saya seakan tidak bersalah, dengan ringan keluar komentar dari mulut saya, “Ah,orang lain tidak shalat juga tidak apa-apa.” Sungguh menggelikan memang. Jimat itu telah menguasai saya secara perlahan.
Selain itu, telinga saya seakan kepanasan bila mendengar orang mengaji. Saat saya coba membaca Al-Qur’an beratnya bukan main. Baru dapat satu lembar saja, mata sudah sepet, ngantuk bahkan terkadang berair. Perut saya rasanya  nek, pusing dan ingin muntah. Sesudah shalat saya lantas jalan, tidak baca apa-apa. Langsung buka mukena dan keinginan bermain dengan teman-teman tidak tertahankan lagi, “Eh, ntar saya jemput disini ya,” saya langsung menghubungi teman-teman.
Selanjutnya meluncur ke night club menikmati hingar-bingarnya dunia malam. Setelah memakai jimat itu, saya memang lebih suka keluyuran. Saya berpikir, “Uang ada, badan juga oke, lalu buat apa hanya berdiam diri di rumah.” Saya masih bersyukur ketika terlibat di dunia malam itu saya tidak terpengaruh untuk minum minuman keras ataupun extacy. Meski tidak saya pungkiri bahwa saya juga suka berdisko.
Berbekal dari renungan-renungan itu akhirnya mulai bulan Juli 2002, saya tidak lagi memakai jimat pemberian bulek. Ini adalah awal tahapan baru dalam kehidupan saya, karena setelah itu saya memang tidak lagi bekerja di event organizer. Saya keluar dan bekerja di sebuah penerbangan. Di tempat ini saya tidak bisa lagi seperti dulu, dengan hanya mengandalkan kemampuan bicara dapat menghasilkan uang. Di tempat ini saya harus banting tulang, terkadang saya harus kerja lembur untuk menyelesaikan tugas kantor.
Di balik kecapekan itu saya merasakan kenikmatan lainnya. Ya, kenikmatan yang sempat hilang sejak tiga tahun yang lalu. Sejak saat itu saya bisa berdoa dengan khusyu’. Di keheningan malam saya bermunajat, “Ya Allah, saya telah melakukan kesalahan dengan memakai jimat kewibawaaan. Ya Allah, ampunilah dosa hamba-Mu.”
Ketergantungan kepada jimat memang tidak menyelesaikan masalah. Toh sebenarnya tanpa jimat itupun saya mendapat pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan saya. Apalagi atasan saya sekarang sangat menghargai kinerja bawahannya. Yang terpenting saya telah melakukan kerja sebaik-baiknya.
Juli 2002 menjadi catatan tersendiri dalam diri saya, karena sejak itulah saya bisa meninggalkan jimat dan hanya bergantung kepada Allah yang disertai dengan usaha keras dalam bekerja. Kebetulan eyang saya juga sudah mulai udzur. “Hafsari, Aku itu sudah tidak bisa ngikuti kamu. Jadi kamu itu shalatnya harus mulai rajin. Karena iman itu tidak bisa diwariskan, kalau ilmu sih mungkin bisa diwariskan.” Pesan eyang yang terus membekas dalam hati.
Juli 2002 semakin membekas, karena pada bulan itu pula cinta jarak jauh yang terjalin dengan seorang WNI yang bekerja di luar negeri putus. Perpisahan itu tidak layak untuk disesali, karena saya sadar bahwa jalinan yang ada selama ini tidak terlepas dari jimat yang selama ini saya kemana-mana. Jimat itu kata bulek memiliki tiga kekuatan, kewibawaan, mempercantik diri dan pengasihan. Terlebih bila mengingat saya juga pernah kirim garam yang telah dibacakan mantra oleh bulek Rina kepada kekasih jarak jauh tadi. Saya tidak perlu sebut namanya, karena lembaran itu telah benar-benar terkubur. Saya sadar bahwa rumah tangga tidak akan bisa dibangun di atas pondasi jimat pengasihan.
Eyang yang telah merawat saya sejak kecil juga sudah mulai sakit-sakitan. Hingga akhirnya pada pertengahan 2003 beliau menghembuskan nafasnya yang terakhir, Setelah melaksanakan shalat shubuh sambil berbaring di atas tempat tidur. “Jaga diri baik-baiklah. Jadilah wanitayang terhormat dan jangan lupa shalat,” sebaris pesan eyang kepada saya.
Menjelang meninggal, mulut eyang berbusa. Menurut cerita yang saya dengar sebenarnya kalau saya mewarisi ilmu eyang, maka saya tinggal mengambil busa dengan tangan. Tapi karena saya merasa tidak akan mampu merawatnya maka saya tidak berani mengambilnya. Busa itu hanya saya ambil dengan saputangan kemudian saya simpan dan tidak saya apa-apakan.
Sepeniggal nenek saya mulai sakit-sakitan. Mulai dari radang ginjal sampai dua bulanan. Mungkin saya sedikit shok ditinggal eyang yang dengan penuh kasih sayang merawat saya sejak kecil. Sedemikian sayangnya sehingga eyang tidak pernah marah. Selain itu saya juga saya sering migraine. Usus dalam lambung saya juga luka.
Derita demi derita itu kembali membuka cakrawala baru dalam kehidupan saya. tepatnya tanggal 1 februari 2004. Ini adalah hari bersejarah bagi saya karena di hari raya Idul Adha inilah saya mulai mengenakan jilbab. Sangat kontras dengan kehidupan saya sebelumnya yang suka mengenakan pakaian mini.
Saat pelaksanaan shalat di lapangan saya sempat menangis, karena saya mengingat apa yang terjadi pada masa lalu. “Ya Allah, kok sia-sia sekali hidup saya. Cantik, pintar ataupun kaya itu tidak ada artinya, bila saya tidak bertakwa. Bila tubuh ini penuh dengan dosa.” Akhirnya saya bertekad. “Oke, hari ini saya harus pakai jilbab”
Pertama kali memakai jilbab itu bukannya tanpa rintangan. Justru tantangan terberat datang dari orang-orang yang selama ini mengisi kehidupan saya. Teman yang sering jalan-jalan malam protes. “Lho kok berbeda sih. Nanti gimana kalau kita kumpul-kumpul. Gimana kalau kita merayakan ulang tahun salah satu teman kita?” namun saya pantang mundur. Saya jelaskan kepada mereka bahwa persahabatan tidak terhenti hanya karena jilbab.
Namun seiring dengan semakin dekatnya saya kepada ajaran agama, saya mengalami beberapa keanehan. Saya sering mimpi  dikejar makhluk-makhluk yang menyeramkan. Kadang berbentuk ular atau srigala dan di lain kesempatan makhluk itu berbentuk macan. Dalam mimpi itu saya mencoba berlari dan berlari hingga akhirnya saya terbangun setelah terjatuh dari tempat tidur.
Mimpi-mimpi itulah yang mengantarkan saya untuk datang ke kantor Majalah Ghoib, karena menurut seorang ustadzah ada kemungkinan saya terkena gangguan jin. Saat mendengar ayat-ayat ruqyah telinga saya langsung kepanasan. Bahkan saat diruqyah ustadz Mulyadi jin yang telah merasuki saya mengejek, “Suaramu jelek.” Menurut seorang teman yang menemani saya ruqyah, jin yang merasuk ke dalam tubuh saya itu genit. Mata saya dibuatnya melirik kesana kemari, seperti seorang wanita yang mencoba memikat lawan jenisnya. Bahkan saat itu saya sempat menagis.
Setelah ruqyah yang pertama itu, tiga hari kemudian saya ruqyah untuk kedua kalinya. Dan Alhamdulillah kali ini tidak ada jin yang bereaksi. Saya berharap bahwa saya telah terbebas dari gangguan buruknya. Terlebih bila mimpi buruk yang sering menghantui saya, sejak ruqyah yang pertama tidak lagi saya alami.
Sekarang, saya juga sudah senang mendengar orang mengaji. Dulu kalau mengikuti kajian keislaman saya biasanya terlambat karena menghindar dari bacaan Al-Qur'an. Belum lama ini saya bisa datang lebih awal.
Semoga sepenggal kisah ini menjadi renungan bagi teman-teman saya yang masih suka menikmati indahnya hidup dengan menggunakan jimat, apapun nama dan jenisnya. Karena yakinlah bahwa itu semua tidak ada untungnya. Hanyalah derita batin yang akan terus menghantui.
kisah nyata sumber majalah ghoib edisi 17 th 2004


Tidak ada komentar:

Posting Komentar