Kisah Nyata 16
Prihatno (Jefri), Marbot Masjid Dakwah Islam, Utan Kayu.
Dengan harapan saya bisa memperbaiki
nasib hidup, saya menginjakkan kaki pertama kali di Jakarta tahun 1974.
Sebelumnya saya tinggal di Cilacap yang juga sebagai kampung halaman dan tempat
kelahiran saya. Kehidupan kami di kampung yang pas-pasan sejak di tinggal mati
bapak membuat saya bertekad untuk merantau. Waktu itu usia saya sekitar 16
tahun karena saya lahir 15 Agustus 1968. Kesempatan untuk merantau itu datang
ketika salah seorang teman saya yang lebih dulu ke Jakarta mengajak saya untuk
ikut ke kota metropolitan. Selain untuk mencari nafkah saya juga berniat
melanjutkan sekolah yang waktu itu hanya sampai SD.
Tiba di Jakarta saya tinggal di daerah Utan Kayu.
Waktu itu saya bekaerja di salah satu perusahaan ekspedisi kapal laut sebagai
pembantu. Setahun kemudian saya beralih profesi menjadi tukang minyak keliling.
Hanya berlangsung beberapa bulan saya ganti mpekerjaan lagi dengan jualan bubur
ayam keliling dengan dipikul. Waktu itu bos (juragan) saya seorang Chinese saya
hanya menjual saja. Cuma tiga bulan ikut bos, saya memisahkan diri dan jualan
sendiri. Ketika bos saya tahu saya jualan sendiri dia marah, dan ketika ketemu
di jalan pikulan saya ditendang dan akhirnya dagangan saya berantakan dan
banyak mangkok saya pecah. Sebetulnya ada perbedaan bubur ayam bos saya dengan
bubur ayam yang saya buat. Sebagai penyedap rasa bos memakai minyak babi
sedangkan bubur saya hanya pakai kaldu ayam. Saat itu saya belum paham kalau
minyak babi itu haram, saya sangat awam. Modal saya ke Jakarta hanya bacaan
shalat, bacaan qulhu dan innna a’thoina juga ngaji alif-alifan.
Saya dagang bubur beberapa bulan
sampai akhirnya suatu ketika saya kena musibah. Sebelumnya saya kata orang
sedang jatuh cinta, namun cinta saya kepada seorang gadis ternyata bertepuk
sebelah tangan. Saya pun patah hati. Efeknya ketika dagang saya banayk melamun
dan akhirnya tiba-tiba ada mobil yang menabrak pikulan saya. Saya pun terputar
dan terhuyung. Tak ayal dagangan saya yang belum laku satu pun akhirnya hancur
berantakan. Habislah modal saya.
Awal kehancuran hidup
Dalam kegalauan hati, saya bertemu seorang perwira
polisi yang cukup kaya dan tinggal seorang diri di rumah yang cukup besar.
Ternyata dia bernasib sama dengan saya, baru saja patah hati. Diapun mengajak
saya tinggal di rumahnya sambil menemani dia. Klopnya lagi dia senang main
gitar sedangkan saya waktu itu senang nyanyi. Diapun sering meminta saya
menyanyi, sambil saya bantu-bantu di rumahnya. Suatu hari keluarga polisi itu
ada yang datang ke rumah. Mungkin karena simpati, saya pun diajak untuk kerja
di rumahnya. Saya pun setuju dan pindah.
Melihat hasil kerja saya bagus
dan bisa kerja apa saja, tahun 1977majikan saya menawarkan kerja di Hotel
Marcopolo di daerah Cikini. Di sana saya bekerja sebagai time keeper
(pengawas absensi). Tahun 1978 saya dipindahkan ke bagian cleaning service.
Selain itu di tahun ini pula saya mulai melanjutkan sekolah pada malam hari di
SMP Taruna Jaya. Setahun kemudian saya dipindahkan lagi dari hotel ke night
club Marcopolo tetap sebagai CS. Di night club ini saya dikenal badung dan
sering melanggar. Saya sering ikut nyanyi bersama pengunjung padahal hal itu
dilarang bagi karyawan. Ujung-ujungnya saya dipindahkan ke bar bagian
bartender. Di sinilah saya semakin rusak. Secara karir memang tampaknya
meningkat tetapi secara moral semakin hancur. Betapa tidak di tempat ini saya
mesti banyak bergaul denagn pengunjung yang kebanyakan wanita. Saya juga mulai
mengenal minuman keras. Shalat sudah mulai jarang. Pulang pagi sudah biasa. Dan
masih banyak lagi.
Pelajaran yang amat berharga
Dengan sekian banyak dosa yang
saya lakukan tampaknya Allah ingin mengingatkan saya. Suatu ketika akibat
banyak bergaul dengan wanita-wanita bar, ada seorang bar girl yang terus
mengejar-ngejar saya dan minta dikawini. Saya pun menolak. Saya berpikir dalam hati
walaupun hidup saya rusak, saya tetap tidak ingin punya istri yang doyan ke
bar. Saya akhirnya berhenti bekerja. Teguran Allah tidak hanya sampai di situ
saya juga kena tipu seseorang yang sebelumnya saya sangat percayai uang saya
hasil jerih payah selama ini dibawa kabur. Semakin lengkaplah penderitaan ini.
Sestelah kejadian itu saya
merenung. Ada apa dengan semua kejadian ini. Akhirnya saya berkesimpulan bahwa
ini adalah teguran dari Allah atas segala kelakuan saya selama ini. Saya
mencoba menghibur diri dengan bekerja sebagai pramuniaga di restoran Hotel
Juseni di daerah Kebayoran. Tidak lama kemudian datang panggilan dari ibu saya
di kampung. Katanya saya sudah dijodohkan dengan seorang wanita di sana. Saya
pun pulang dan mencoba melihat calon saya. Namun alhamdulillah, mungkin karena
bukan jodoh, saya dan dia sama-sama tidak mau. Saya merasa tidak cocok dengan
dia dan dia juga menganggap saya bukan seperti apa yang dia bayangkan dan
dambakan.
Akhirnya saya datang lagi ke
Jakarta dan bekerja kembali di tempat awal saya kerja di perusahaan Ekspedisi
laut. Di sana saya kembali merasakan tekanan batin karena adanya keharusan
untuk berbohong. Jika kita jujur malah dianggap bodoh dan tidak kooperatif.
Saya tidak tahan dengan lingkungan seperti ini dan akhirnya keluar.
Selanjutnya tahun 1986 saya
bersama teman membuka biro jasa pengurusan surat-surat. Setelah itu kerja di
salah satu universitas swasta, di sana alhamdulillah bos saya baik dan saya
dibolehkan sambil kerja ikut kuliah di situ. Di universitas ini juga tidak lama
karena banyak yang iri kepada fasilitas yang diberikan kepada saya. Kemudian
tahun 1987 saya kerja lagi di perusahaan
ekspedisi udara. Di tahun ini juga saya mengenal seorang gadis bernama Marni
asal Kuningan yang kemudian berlanjut ke jenjang pernikahan.
Hidayah Kembali Kudapatkan
Suatu ketika saya mendengar
ceramah seorang ustadz di salah satu masjid yang betul-betul membuat saya
banyak merenung dan selalu terngiang-ngiang di telinga saya. Ustadz itu
berpesan, “Didiklah anakmu sejak ada dalam dirimu, sejak ada di rahim istrimu.
Berilah dia dengan makanan halal dan cucilah rezekimu dengan dua setengah
persen”. Saat itulah saya mulai berpikir bahwa hidup ini ternyata berat, tidak
boleh main-main, dan mesti hati-hati. Teringat kembali pekerjaan-pekerjaan yang
pernah saya lakukan yang hampir semua tidak terlepas dari uang-uang haram. Saya
membatin jadi apa kelak anak saya kalau saya terus-terusan begini.
Akhirnya saya putuskan untuk
mulai mencari pekerjaan yang yang hasilnya bisa diyakini halal. Saya meminta
istri yang ketika itu sedang hamil 4 bulan untuk kembali ke kampung sambil saya
mencari pekerjaan baru.
Di tahun 1987 di tengah kegalauan
hati, saya mencoba menenangkan diri dengan mendekaatkan diri kepada Allah dan
rajin ke masjid Dakwah Islam yang kebetulan paling dekat dengan tempat tinggal
saya. Di masjid ini saya sering adzan membantu marbot yang biasanya
berhalangan. Lama kelamaan jamaah masjid mulai banyak yang mengenal saya dan
mulai nanya-nanya tentang saya. Pernah salah seorang jamaah namanya Pak Idris
menanyakan nama saya. Saya bilang nama saya Prihatno. Diapun memanggil nama
saya dengan Pri. Karena keseringan memanggil dengan Pri..Pri… akhirnya banyak
orang yang mengira nama saya Jefri. Akhirnya
sampai sekarang orang memanggil saya dengan Jefri.
Beberapa bulan saya menganggur
dan lebih banyak di masjid. Suatu ketika Pak Idris bertanya kepada saya, “Pri
kamu bisa macul nggak?” saya jawab, “Sebetulnya
sudah 25 tahun saya tidak megang pacul, tapi mudah-mudahan saya bisa.”.
Akhirnya saat itu saya dapat pekerjaan mengubur puing-puing bangunan yang
banyak berserakan di halaman masjid sekaligus menanaminya dengan rumput. Ketika
pertama kali saya pegang pacul saya berdoa “Ya Allah, Ya Tuhanku dimanakah
tempatku yang terbaik menurut-Mu. Tunjukilah aku. Saya bertaubat dan bertawakal
kepada-Mu.” Kemudian saya mulai macul.
Ketika saya menggali lubang di
sana saya menemukan pelajaran yang amat berharga. Ketika saya melihat makhluk
Allah yaitu rayap saya berpikir aka kebesaran Allah. Betapa makhluk kecil itu
tampak senang dengan kehidupannya di
bawah tanah menikmati rezki dari Allah. Bagaimana lagi dengan manusia yang
berjalan di atas bumi. Di sinilah keyakinan saya kepada Allah semakin tinggi.
Dalam pekerjaan sehari saya
digaji 2500 rupiah. Uang inilah yang saya kumpulkan dan saya serahkan ke istri
saya di kampung sebulan sekali. Suatu ketika marbot masjid tempat saya kerja
mengundurkan diri. Saya pun ditawari oleh pengurus masjid untuk menjadi marbot.
Awalnya saya keberatan dengan tawaran ini karena meraesa kurang cocok. Tapi
saya didesak teru bahkan Imam masjid yang selama ini saya dengar
nasehat-nashatnya juga meminta saya untuk menerimanya. Akhirnya saya luluh juga
dan menyerahkan sepenuhnya kepada Allah. Sebagai marbot saya digaji 20 ribu
seminggu. Tidak lama setelah anak saya yang pertama M. Adam Aulia lahir, saya
boyong anak dan istri kembali ke Jakarta. Saya sekeluarga pun tinggal di
samping masjid ini dalam keadaan bersahaja dan penuh kesederhanaan. Tidak lama
anak ke dua Hawariah Marlinda lahir sampai anak ke tiga dan keempat lahir
disini.
Pernah suatu ketika istri saya
mengandung anak ke-3 dan saat tiba waktu persalinan istri saya bertanya tentang
kesiapan biaya persalinan. Saya bilang yang ada di dompet hanya 10 ribu rupiah.
Istri saya kaget dan sedih, namun saya ingatkan bahwa kita tidak perlu kuatir.
Anak itu titipan Allah dan Dia sendiri yang akan mencukupi kebutuhannya.
Ternyata benar, sehari setelah persalinan tanpa saya minta banyak yang
memberikan amplop sehingga terkumpul sekitar 250 ribu. Sedangkan istri saya
butuh biaya 400 ribu karena ada pendarahan. Saya pinjam 150 ribu dari teman.
Namun setelah keluar dari RS kami mendapat rezki lagi sekitar 200 ribu sehingga
utang saya langsung saya bayar bahkan ada lebihnya, Allahu Akbar.
Bukan itu saja. Sudah berungkali
saya rasakan betul pertolongan Allah di saat–saat saya butuh. Inilah sehingga
saya benar-benar yakin akan janji Allah bagi
mereka yang menolong agamanya.
Saya selalu berusaha untuk
senantiasa tersenyum dalam hidup ini sehingga banyak orang yang menyangka saya
banyak uang. Padahal kalau dipikir penghasilan saya yang tetap sampai sekarang
ini hanya 200 ribu padalah saya harus menanggung istri dan 4 orang anak yang
masih sekolah. Saya biasanya menyiasati penghasilan saya dengan meminjam uang
untuk modal dari kas masjid dengan perjanjian potong gaji. Dari sinilah tahun
1993 saya membuka warung nasi kecil-kecilan karena kebetulan di masjid ini ada
kampus ST Thawalib dan Perguruan Al-Manar. Alhamdulillah bisa untuk nambah-nambah.
Saya hanya yakin akan janji Allah bagi mereka yang menolong agama Allah.
Kuncinya adalah saya harus senantiasa bersyukur dengan apa pun yang Allah
berikan, menikmatu setiap persoalan yang ada dengan hati lapang serta
menghadapi kegetiran hidup dengan tersenyum. Yang jelas inilah jalan hidup saya
dan mudah-mudahan saya bisa tetap istiqamah dan tidak mengulang masa lalu yang
kelam.
Majalah Ghoib Edisi 16
Tidak ada komentar:
Posting Komentar