Minggu, 11 Agustus 2019

SAKIT KULIT SETELAH 7 TAHUN PACARAN


Meilawati: … tahun (seorang perawat)

Pacaran, di zaman sekarang dianggap sesuatu yang lumrah dan wajar saja. Seorang anak yang tumbuh remaja dan belum mempunyai pacar dianggap sebagai anak yang kurang bergaul dan tidak laku. Padahal keburukan yang tersembunyi di balik racun asmara tersebut lebih mengerikan daripada manisnya. Di samping balasan atas pelanggaran norma agama, kesengsaraan dan penderitaan akibat pacaran juga tidak terhitung banyaknya. Seperti yang dialami Meilawati, seorang perawat yang mengalami gangguan alergi kulit akibat putus pacaran di tengah jalan. Orang yang selama ini diharapkan menjadi pendamping hidupnya justru telah mengirimnya guna-guna. Meilawati menuturkan kisahnya kepada Majalah Ghoib di Cibubur, Jakarta Timur. Berikut kisahnya.

Saya tumbuh dewasa menjadi seorang gadis tomboy. Dengan gaya yang berbeda dengan anak gadis lainnya. Sedikit berangasan dan ceplas-seplos. Lantaran penampilan saya yang demikian itu, saya menjadi sandaran bagi teman-teman saya yang lemah. Bila ada di antara mereka yang diganggu oleh anak laki-laki, mereka mengadu kepada saya. Saya tidak terima melihat teman saya diperlakukan semena-mena. Saya pun tidak tinggal diam. Saya labrak anak laki-laki yang kurang ajar itu. Tidaklah mengherankan bila tidak ada anak laki-laki yang berani mendekati saya.
Hingga suatu hari, saat saya masih duduk di bangku SMP kelas dua, Ana, teman akrab saya menantang saya. “Ti, ada cowok cakep di kelas tiga. Namanya Alex. Kamu bisa nggak dapatkan dia?” Saya penasaran, seperti apa sih orang yang dipanggil Alex itu. “Mana sih anaknya?” “Tuh lagi main bola,” seloroh Ana.
“Lumayan juga tuh cowok,” gumam saya. Merasa mendapat tantangan dari Ana, rasa iseng saya muncul. “Jangan panggil Wati, kalau tidak bisa dapatkan dia.” “Ayo kita buktikan,” timpal Ana sambil cengar-cengir. Melalui Ana, saya mencoba memancing perhatian Alex dengan cara memberinya salam.
Beberapa hari berikutnya saya mendapat kabar dari Ana bila salam saya sudah disampaikan. “Ti, salam kamu sudah saya sampaikan.” “Terus dia ngomong apa? tanya saya penasaran. “Alaaa Wati, kayak cowok saja kok. Gue tidak suka sama dia,” tutur Ana menirukan jawaban cowok itu. Saya tidak terima karena ini adalah penghinaan. Akhirnya saya mencari Alex dan mendampratnya habis-habisan. “Loe jangan menghina gue ya. Jangan sok ganteng. Yang lebih dari loe tuh, gue bisa dapet.”
Jadilah pertemuan pertama itu menjadi ajang pertengkaran, hingga akhirnya berujung kepada suatu pertanyaan menggantung yang keluar begitu saja dari bibir saya. “Jadi kamu maunya apa?” “Ya, aku mau sama kamu. Kamunya gimana?” tanya Alex.
Karena saya sudah taruhan dan tidak mau dilecehkan, akhirnya saya menyambut uluran tangan Alex. Kisah cinta gaya anak SMP yang selama ini hanya menjadi tontonan saja bagi saya, sudah mulai saya rasakan. Satu hal yang terus berlanjut hingga saya lulus SMP, sementara Alex tidak melanjutkan sekolah ke SMA.


Setamat SMP, saya melanjutkan sekolah di Bandar Lampung. Jauh dari rumah orangtua dan Alex yang tinggal di Lampung Selatan. Hari-hari saya jalani seperti biasa. Bertemu dengan teman-teman baru dan kegiatan yang sedikit berbeda dengan dulu saat di SMP. Surat dari Alex, sesekali mampir ke tempat kos-kosan. Menghangatkan kembali kenangan masa lalu.
Benih cinta yang belum layu semakin mekar saat Alex menyempatkan diri untuk sesekali berkunjung ke Bandar Lampung. Kisah cinta yang tidak selalu berjalan mulus. Rasa cemburu sering menghantui diri Alex. Ia merasa bahwa ada beberapa teman SMA yang juga tertarik kepada saya, sementara ia sendiri tidak setiap saat mengetahui apa yang saya lakukan. Sehingga perubahan potongan rambut saja, Alex sudah blingsatan. Ia takut bila saya berpaling kepada lelaki lain.
Pertengkaran pun tidak bisa dihindari. “Terserah, kalau masih tidak percaya,” ujar saya emosional. Pertengkaran yang berujung pada ketidakmunculan Alex di Bandar Lampung hingga setahun. Ia sama sekali tidak menampakkan batang hidungnya. Surat yang biasanya sebulan sekali datang juga tidak pernah lagi mampir.
Hingga suatu hari ada seorang teman yang menyampaikan kabar bahwa ada surat untuk saya di kantor. Ketika saya mau mengambilnya, ternyata surat itu sudah tidak ada. Ia bahkan sudah ada dalam genggaman Andi, kakak kelas yang selama ini menunjukkan rasa simpatinya kepada saya. Saya langsung merebutnya dari belakang. Dari sini akhirnya Andi mengakui bahwa ia sudah lima kali mengambil surat saya.
Tanpa terasa waktu tiga tahun telah berlalu. Masa-masa SMA telah berakhir, dan berganti dengan dunia baru. Di sini, saya masih ingin meraih cita-cita yang lebih tinggi. Saya tidak ingin sekadar menjadi ibu rumah tangga tanpa membawa bekal yang cukup berarti untuk masa depan saya dan keluarga.
Saya diterima di Akper Padang angkatan 99. Satu hal yang harus disyukuri, karena sebelumnya gagal ketika mendaftar di Yogya. Waktu yang tidak terlalu lama di Yogya telah merubah perilaku saya. Dari anak tomboy bercelana jeans dan berkaos ketat berganti dengan kaos lengan panjang dan berjilbab. Perubahan drastis yang sempat menjadi gunjingan teman-teman SMA dulu. Tapi saya tidak peduli. Saya tetap tegar melangkah dengan perubahan yang terjadi.
Kuliah di Padang dan jilbab yang menghiasi kepala masih belum bisa menghentikan kisah cinta dengan Alex. Surat maupun obrolan singkat via telpon menjadi alternatif lain. Meski sebenarnya sebelum berangkat ke Padang, ibu telah berpesan agar saya tidak berpacaran. “Kamu mau kuliah atau mau pacaran. Kalau mau pacaran tidak boleh kuliah.”
Untuk itu, saya tidak pernah mengajak Alex berkenalan dengan orangtua saya. Selama ini semuanya masih menjadi rahasia kami berdua, hingga pertemuan pun harus dilakukan di luar sepengetahuan keluarga. Kesempatan pulang ke Lampung yang hanya setahun sekali, praktis saya habiskan bersama keluarga. Tidak ada kesempatan untuk bertemu Alex. Di samping memang saya belum ingin hubungan ini diketahui orangtua.
Untuk itu, pada tahun kedua Alex mengalah. Ia yang datang ke Padang, meski pertemuan itu pun tidak terlalu lama. Di sela-sela jadwal kuliah saya. Terakhir, setelah saya selesai kuliah, Alex menjemput saya. Dia ingin membantu saya mengangkut barang-barang saya. Waktu itu, Alex menginap di rumah sepupu saya.
Awalnya saudara sepupu saya bertanya siapa dia. Saya ceritakan saja apa adanya, bahwa Alex hanya lulus SMP dan masih belum kerja. Dia hanya membantu orangtuanya berkebun di Lampung. “Pikir-pikirlah dulu, sebelum terlanjur,” hanya itulah komentar saudara sepupu saya.

Derita sakit kulit membawa saya berhubungan dengan paranormal
Juni 2003, saya merantau ke Jakarta dan ikut menumpang di rumah paman di Tangerang. Untunglah saya tidak harus menganggur terlalu lama. Surat lamaran yang saya kirim ke berbagai instansi mendapat jawaban dari sebuah klinik di Tangerang. Dari sini, saya mulai bersentuhan dengan dunia kerja dan teman-teman yang berkarakter macam-macam.
Perbedaan pulau bukan halangan bagi hubungan saya dengan Alex. Alex di Lampung dan saya di Tangerang, tapi hubungan kami masih lancar-lancar saja. Surat serta telpon yang menjadi penyambung kesetiaan kami.
Sejujurnya, saya sendiri merasa aneh dengan perasaan cinta yang seakan berlebihan. Siang malam wajah Alex selalu terbayang, terlebih bila sedang tidak ada kerja. Kerinduan yang mencapai ubun-ubun hingga terkadang saya menangis. Tangisan yang berganti dengan canda ria begitu telpon berdering atau ada surat yang datang.
Bahkan perintah Alex yang menyuruh saya keluar dari klinik pun saya turuti begitu saja. Hanya karena ada seorang karyawan yang tertarik kepada saya. Sebut saja namanya Lesmana. Tapi entahlah bagaimana Alex bisa tahu bila ada yang suka sama saya. Padahal saya tidak bercerita apa-apa tentang Lesmana dan saya pun tidak jatuh cinta kepadanya. Dulu, sewaktu masih di Padang Alex memang sempat mengancam bila saya berpaling darinya, “Siapapun tidak akan bisa menikahi kamu. Mudah bagiku untuk membunuhmu. Dari jauh juga bisa. Misalnya kamu di Jakarta atau di Padang. Ah, gampang bunuh orang saja. Darimana saja juga bisa. Foto kamu kan ada padaku. Adil kan. Aku nggak dapat. Ibu kamu nggak dapat. Suami kamu juga nggak dapat. Kamu mati masuk neraka.”
Lepas dari klinik di Tangerang, saya diterima bekerja sebagai perawat di rumah sakit swasta di Jakarta Timur. Dan hubungan kami kembali lancar seperti biasa. Hingga pada suatu hari di bulan Januari abang saya datang ke Jakarta. Abang menginap di rumah paman. Mungkin abang merasa saya sudah dewasa, sehingga ia bertanya kepada paman siapa sebenarnya pacar saya. Dan tanpa ditutup-tutupi paman bercerita siapa sebenarnya pacar saya.
Mendengar kabar bahwa saya sudah menjalin cinta dengan Alex bertahun-tahun, abang naik pitam. Ia merasa telah dibohongi oleh adik yang telah dibesarkannya dengan keringat. Saya dianggap telah mencoreng arang di wajah, terlebih bila yang menjadi pacar saya adalah Alex, orang yang dalam pandangan abang kurang baik dan layak menjadi suami saya.
Abang langsung menelpon Alex dan memintanya untuk menjauhi saya. Hal ini saya ketahui setelah Alex menelpon saya. “Ti, abangmu di Jakarta ya?. Dia nelpon saya agar menjauhimu.” Saya panik. Rahasia yang selama ini terbungkus rapi, akhirnya terbongkar juga.
Terus terang, saya takut bertemu abang. Tapi jam 9 malam, abang menelpon dan mengatakan bahwa ia langsung balik ke Lampung. “Ti, abang mau ke Lampung.” Melalui telepon, abang kembali mengingatkan saya untuk segera mengakhiri pacaran dengan Alex.
Bimbang, ragu, gundah bercampur aduk menjadi satu. Cukup lama saya terdiam kaku memilih langkah yang harus diambil. Terus terang, ini bukan keputusan mudah. Saya seperti memakan buah simalakama. Tapi salah satu harus dikalahkan. Setelah menimbang cukup lama akhirnya saya memutuskan untuk menuruti saran abang. Dengan kata lain, saya harus segera mengakhiri petualangan cinta bersama Alex.
Saya menelpon temannya Alex dan menitip pesan agar Alex segera ke Jakarta. Setelah hilang rasa penat, barulah saya menceritakan semua yang terjadi. Saya mengajaknya mengakhiri pacaran. “Saya tidak bisa menentang abang saya. Semenjak ibu meninggal, abang yang membiayai kuliah saya. Dan saya juga berencana untuk kuliah lagi.”
Alex nampak tidak terima dan tidak mau putus di jalan. Saya sadar memang tidak mudah melupakan orang yang kita kenal selama ini. Untuk itu saya berusaha memutus hubungan dengan Alex secara perlahan. Keinginan Alex untuk datang pada hari ulang tahun saya di bulan April 2004, juga saya biarkan. Terlebih memang pada saat itu juga ada teman-teman yang datang. Kebetulan pada saat yang sama Yanto, teman kerja yang tertarik dengan saya juga hadir. Alex semakin cemburu. Ia benar-benar merasa kisah cintanya segera berakhir. Dan akhirnya pulang dengan membawa kepedihan.
Bulan Mei 2004, tidak seperti biasanya saya merasakan ada keanehan pada kulit di sekujur tubuh saya. Bentol-bentol berwarna merah menghiasi kulit kuning langsat yang selama ini saya banggakan. Gatal. Dan semakin gatal bila digaruk. Awalnya saya kira ini adalah sakit biasa. Teman-teman juga menganggap saya alergi ikan laut.
Beberapa hari kemudian, perut saya sakit. Rasanya mual. Semakin lama semakin parah. Awalnya sehari ke kamar kecil sekali, esoknya sehari tiga kali. Hari berikutnya empat kali ke kamar kecil. Rasa sakit di perut kian hari tambah parah.
Hari-hari berikutnya setiap hari saya harus disuntik oleh teman sesama perawat. Benjolan merah di sekujur badan sempat mengempis dan hilang. Dua jam kemudian benjolan merah yang gatal itu datang lagi. Begitu seterusnya sampai mulut saya jontor karenanya. Dokter yang sempat merawat saya hanya mengatakan bahwa saya alergi dingin. Dan untuk mengetahui penyakit yang sebenarnya dokter merekomendasikan saya untuk check up di RSCM. Setelah check up di RSCM hasilnya juga tidak banyak berubah. Gatal-gatal di kulit tetap saja tidak mau hilang. Bahkan lebih parah hingga saya sampai berteriak-teriak.
Melihat berbagai kejanggalan itu, salah seorang teman menyarankan saya untuk berobat ke Chandra (nama samaran) seorang paranormal di Ciledug, Tangerang. Malam Jum’at di bulan Juli, saya nekat ke Ciledug dengan ditemani seorang teman. Sebenarnya saya hanya ingin tahu, apakah penyakit saya ini medis atau tidak. Tapi justru menjadi awal keterikatan saya dengan paranormal. Dengan memegang telapak tangan saya, Chandra menerawang. “Benar Ti, kamu sudah lama kena guna-guna.” “Sudah lama kamu dijerat ajian putar giling,” lanjut Chandra. Saya langsung down dibilang begitu, meski tidak percaya sepenuhnya.
Untuk itu saya harus dimandikan dengan kembang. Memang, setelah mandi kembang badan saya menjadi lemas. Bayangan tentang Alex mendadak hilang. Padahal biasanya saya selalu memikirkan tentang dia, sedetik pun hati saya seakan tidak bisa terlepas dari bayangannya.
Tiga hari kemudian saya kambuh lagi. Akhirnya saya datang lagi ke Ciledug. Begitu seterusnya setelah sembuh beberapa hari, lalu kambuh lagi. Lantaran itu saya tidak punya pilihan lain, saya harus menceritakan semuanya kepada paman yang tinggal di Tangerang. Dari cerita itu mereka membawa saya ke seorang paranormal perempuan di Tangerang. Sebut saja namanya Widuri.
Entah apa yang dibaca oleh Bu Widuri sehingga tiba-tiba saja suaranya berubah seperti suara nenek-nenek. “Oh… ini memang tidak benar.” Sejurus kemudian ia menaruh daun sirih di lengan saya. Dan … terjadilah apa yang harus terjadi. Dari balik daun sirih keluar tujuh buah silet yang sudah karatan. Saya merasakan memang ada sesuatu yang mengalir di lengan saya. Pedih rasanya.
Bibi yang menemani saya, hanya bisa menangis. Ia tidak tega melihat keponakannya diperlakukan sedemikian rupa. Kemudian saya di bawah ke dalam kamar. Menurut Bu Widuri untuk menangkal guna-guna itu di dalam kulit saya harus ditanam emas.
Saya bilang saya tidak punya emas selain yang menempel di badan. Akhirnya saya korbankan dua buah anting-anting saya untuk ditanam. Meski saya ragu apakah memang anting-anting itu benar-benar dimasukkan ke dalam kulit saya. Pasalnya waktu itu tidak boleh ada yang melihat. Saya hanya berdua dengan Bu Widuri di dalam kamar. Selain itu saya masih harus menyerahkan uang 250 ribu untuk beli kambing yang katanya dipakai untuk penjagaan rumah saya. Saya tidak peduli apakah uang itu untuk beli kambing atau tidak.
Terus terang saya seperti kerbau dicocok hidungnya. Apapun permintaan Bu Widuri selalu saya turuti. Bila memang membawa kesembuhan pada diri saya. Bila memang gatal-gatal di kulit akhirnya hilang dan tidak kumat lagi. Tapi hasilnya jauh di luar harapan. Sakit kulit tetap mendera bahkan semakin parah.
Sakit kulit yang menurut beberapa orang akibat guna-guna itu masih belum bisa memalingkan saya dari bayangan Alex. Ketakutan akan kehilangan dia membuat saya semakin tertekan luar dalam. Padahal kalau dipikir-pikir apa sih yang dibanggakan dari dirinya? Dia hanya lulusan SMP dan belum kerja. Sehari-hari dia hanya membantu orangtuanya mengurus kebon.
Seperti yang terjadi pada bulan Agustus, saya nekat menemui Alex yang jauh-jauh datang dari Lampung ke Jakarta. Meski saya menangkap kesan dia tidak lagi seperti dulu. Dingin dan kurang perhatian. “Mas, aku alergi mas. Bengkak semua. Kulit bentol-bentol semua. Merah. Mulutku juga jontor. Terus gimana mas?” saya mencoba meminta jalan keluar.  “Itu salah cowok kamu.” Seperti disambar halilintar, saya mendengarnya. Belum hilang keheranan saya, saya kembali dibuatnya ternganga. “Diguna-guna kali kamu sama cowok kamu,” ujarnya acuh tak acuh.
“Kamu sadar nggak sih ngomong kayak gitu. Cowok saya itu kan kamu?” “Ya cowok kamu yang lain,” sergahnya. Pertemuan yang berbuntut pada pertengkaran sehingga saya memilih untuk pulang duluan.
Pertengkaran kembali berlanjut keesokan harinya, ketika dia mengajak bertemu lagi. Juga karena keluhan yang saya sampaikan. “Mas aku pusing.” “Minum saja inex, biar mati sekalian.” Saya heran dengan perubahan yang terjadi. Alex benar-benar telah berubah. Ia tidak lagi seperti dulu.
Saat itu, saya kembali menegaskan bahwa hubungan antara kita tidak bisa berlanjut. Saya tidak mau menjadi anak yang durhaka dengan melawan orangtua. Terlebih bila Alex memang tidak bertanggungjawab. Dia hanya mau menang sendiri walau harus menyakiti orang lain.
Keputusan besar sudah dibuat dan tidak ada lagi alasan untuk surut ke belakang, meski sebenarnya hati kecil saya masih belum rela. Tapi semuanya harus diputuskan. Walau kulit terus gatal setiap hari.
Hingga pada suatu hari dokter Farid memberi saya kaset ruqyah. Saat saya memutarnya di rumah, saya muntah-muntah. Karena itulah maka saya mendaftarkan diri untuk mengikuti terapi ruqyah di kantor Majalah Ghoib hingga tiga kali. Saat terapi yang pertama saya sampai muntah darah. Saya juga sempat teriak-teriak. Setelah ruqyah yang pertama saya merasakan kepala menjadi ringan.
Sepulang dari ruqyah saya berusaha untuk selalu mengaji dan membaca surat al-Baqarah. Beberapa minggu kemudian saya mengikuti terapi ruqyah yang kedua. Dan alhamdulillah setelah mengikuti terapi yang kedua, saya tidak lagi teringat bayangan Alex. Sakit kulit yang telah berbulan-bulan itu pun hilang dengan sendirinya seiring dengan ketekunan saya untuk shalat malam dan membaca al-Qur’an, selalu membaca basmalah sebelum makan serta membaca al-Ma’tsurat.
Selain itu, perasaan saya menjadi tenang ketika berada di rumah. Padahal dulu, baru membuka pintu saja saya sudah merinding. Teman-teman yang sering main ke rumah juga merasakan hal yang sama. Bahkan antara sadar dan tidak ada seorang teman yang merasa seperti dicekik saat tidur di ruang tamu. “Uni, Uni bangun Uni,” saya membangunkannya. Sebelumnya memang terdengar suara berdebum di atas genteng. Seperti ada benda yang jatuh, tapi entahlah. Kita tidak berani mencarinya.
Saya bersyukur setelah mengikuti terapi ruqyah, gangguan yang saya alami selama ini telah hilang. Bayang-bayang Alex juga tidak lagi menghantui saya. Meski saya akui bahwa ada saat-saat tertentu kenangan lama itu muncul kembali.
Namun satu hal yang saya syukuri bahwa saya bisa keluar dari masalah yang menyesakkan ini dengan lapang dada. Saya kembali menemukan keceriaan dan ketenangan setelah sekian lama hidup di bawah bayang-bayang dan ketakutan akan kehilangan seseorang. Padahal dia bukanlah siapa-siapa. Dia hanya masa lalu yang mengisi lembaran kelabu masa remaja saya. Semoga Allah mempertemukan saya dengan seorang laki-laki yang bertanggung jawab. Dan tentunya dengan proses yang sesuai dengan ajaran Islam. Saya ingin jilbab yang melekat di badan menjadi jembatan kebersihan hati dari debu-debu dosa.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar