Fiet, begitulah biasanya saya dipanggil. Saya, seorang mahasiswi FISIP semester enam
sebuah Perguruan Tinggi di Lampung.
Alhamdulillah, salah satu organisasi yang saya ikuti di kampus
mempercayakan saya sebagai satu dari lima delegasi Indonesia pada ASEAN Youth
Camp di Laos awal Januari lalu. Dua orang lainnya dari Jakarta, satu orang dari
Surabaya dan seorang lagi dari Yogyakarta.
Sebelum
keberangkatan, kami mengikuti masa karantina selama seminggu di Jakarta untuk memperdalam pengetahuan tentang budaya
Indonesia, memilah dan memilih benda-benda unik dan cocok untuk dibazarkan
serta mencari cindera mata. Kebetulan ibu asrama yang sekaligus pelatih tari
untuk dua orang delegasi penari beragama Nasrani. Demikian pula dengan delegasi
yang dari Jakarta dan Yogyakarta, tapi saya coba untuk tidak menjadikan
perbedaan agama sebagai suatu kesulitan, demi misi Indonesia tercinta.
Kesibukan
mempersiapkan diri selama karantina membuat saya lupa kalau seminggu telah
berlalu. Tibalah saatnya menuju negara seberang. Tepat pukul 13.00 pesawat
meninggalkan bandara Soekarno-Hatta menuju Thailand untuk transit di sana.
Pesawat tujuan Laos berangkat pukul 21.00 waktu Indonesia. Dan tiba di
Vientiene, ibukota Laos pukul 22.15 waktu Indonesia. Kami disambut hangat oleh
para pejabat negara, dan langsung diantar ke Lane Xang Hotel tempat kami
tinggal selama kegiatan. Tidak terlihat hal yang aneh dan asing di ibukota Laos
ini, mungkin karena banyak turis asing. Jadi kesan etnik dan tradisional sudah
mulai pudar terpendam oleh hal-hal modern dari luar. Di sinipun masih bisa
ditemui restoran muslim. Jadi tidak begitu sulit bagi muslim mencari masakan
yang terjamin kehalalannya.
Waktu–waktu senggang saya gunakan untuk hunting photo
tempat-tempat yang unik. Pernah suatu kali saya dilarang oleh guide agar tidak
memotret museum Sheethatirath dan
isinya. Katanya, roh seekor naga yang menunggu museum itu bisa marah. Menurut
legenda, museum itu pernah didatangi seekor naga dan bersemayam di satu kuil
yang terletak di dalam museum. Untuk mengunjungi museum itu saja, seseorang
harus benar-benar dalam keadaan suci (untuk wanita). Tapi saya tidak peduli. Itu kepercayaan
mereka, bukan kepercayaan saya. Pernah saya nekad mengambil beberapa gambar
museum dan isinya termasuk gambar naga yang menempel di dinding, tentu saja
tanpa sepengetahuan mereka. Ketika
dicetak, hasilnya sungguh diluar dugaan. Tak satupun hasilnya yang jadi.
Benarkah ini ada kaitannya dengan cerita guide itu? Tapi saya tidak mempercayainya.
Justru saya berpikir bahwa ini semua disebabkan kesalahan pada waktu mengambil
gambar.
Luang Phrabang… Tiada Pernah Kuduga
Luang
Phrabang, satu daerah di Negara Laos yang terkenal akan kekayaan dan keunikan
budaya, adat istiadat, dan peninggalan sejarahnya. Di daerah inilah kami banyak
melakukan kunjungan wisata dan kunjungan studi setelah beberapa hari di
Vientiene (Ibu kota Laos). Subhanallah,
sungguh indah. Suasana alam yang menyejukkan hati, senyum ramah tamah
menyapa kami terlebih pada saya. Mungkin karena saya terlihat lain dari yang
lainnya. Dari sekian delegasi ASEAN sayalah satu-satunya yang bejilbab. Namun
saya bangga mengenakannya, bangga menjadi beda di tengah-tengah begitu
banyaknya perbedaan. Ada juga yang memakai jilbab, delegasi dari Brunei
Darussalam, tapi lebih sering dilepas. Penduduk Luang Phrabang yang
mayoritasnya beragama Hindu dan kental pemujaan roh nenek moyang. Nuansa
tradisional begitu kental di sini.
Ada satu
tradisi yang mereka lakukan untuk menyambut tamu asing yang disebut Sa bai dee semacam upacara adat Selamat
Datang. Upacara dilakukan malam pertama kami di sana. Upacara yang aneh dan
asing. Awalnya saya tidak ingin mengikutinya, karena upacara ini berbau mistik.
Tapi inilah adat mereka dan ketua rombongan kami mengatakan bahwa ini hanya
upacara ucapan selamat datang dan penghormatan saja. Akhirnya saya ikuti juga
upacara itu dengan terpaksa. Ada banyak keanehan dalam upacara ini. Ada
pertunjukan dan atraksi yang melibatkan kekuatan jin. Seorang penari yang
seolah terbang ke udara bak seorang dewi, seorang wanita yang seperti
diberi kekuatan ghaib sanggup mengangkat guci besar yang penuh diisi air, dan
seorang yang kebal senjata tajam. Cukup menarik perhatian kami memang. Setelah
upacara usai, semua tamu dipakaikan gelang di kedua pergelangan tangan kami
sambil mengucapkan kalimat-kalimat yang sama sekali tak saya pahami. Kepala
adat meminta agar kami tidak melepaskan gelang-gelang tersebut sebelum
meninggalkan Luang Phrabang. Beberapa saat kemudian, seorang penari mendekat
dan mengalungkan serangkai bunga ke leher saya seraya berkata “ Sa bai dee… chan rak khun” (Selamat
datang. Saya suka gaunmu). Pasti karena jilbab terlihat aneh dan asing di mata
mereka.
Tanpa sadar,
kepala saya terasa berat dan pusing sekali karena aroma bunga yang begitu
menusuk. Saya baru tersadar ketika tepukan penonton menggema di sekeliling
saya. Saya hanya tersenyum dibuatnya. Setelah upacara selesai, kami diantar ke
wisma masing-masing. Kebetulan saya di
tempatkan satu kamar dengan salah satu delegasi dari Malaysia. Mulanya saya
kira ia seorang muslim, tapi ternyata seorang Chinese. Ketika masuk ke
dalam kamar, saya merasakan sepertinya diri saya menolak memasuki ruangan.
Aroma dan suasananya begitu asing dan terkesan seram. Di sudut kamar tergeletak
patung Budha, di dinding kamar tergantung lukisan yang entahlah saya tidak bisa
memaknainya, di atas televisi ada patung seorang dewi, dan lagi-lagi aroma dupa begitu menyengat.
Sepertinya teman sekamar saya paham kalau saya merasa tidak nyaman dengan
benda-benda itu. Iapun membantu menyingkirkannya, meskipun ia juga penganut
Hindu China.
Tanpa terasa, hari demi hari berlalu. Keramahtamahan mereka membuat
saya seperti bagian dari mereka, sepertinya hati saya telah tertambat di Luang
Phrabang. Padatnya kegiatan demi kegiatan membuat saya sibuk. Country
presentation, visiting, workshop, rehealsals, dan lain-lain. Sayangnya waktu
ibadah tidak terjadwalkan oleh pihak penyelenggara. Maklum mayoritas penduduk
Laos beragama Hindu. Jadi saya harus bisa menyiasati dan mencari sela untuk
tetap bisa shalat tepat pada waktunya.
Seorang guide Miss Thui namanya, banyak membantu kami
mengunjungi tempat-tempat unik dan bersejarah. Ada banyak larangan dan
kewajiban yang harus kami ikuti sebelum memasuki suatu daerah tertentu. Seperti
kami diharuskan minum air yang mengalir dari mata air Sungai Nam Khan sebelum menginjakkan kaki di
Kuil Announchar. Kalau tidak, kami bisa kena kutukan. Banyak sekali tempat aneh di sana.
Museum yang usianya ratusan tahun, kuil yang katanya pernah disinggahi seorang
peri dari kayangan yang dapat memberikan berkah untuk mereka. Namun hanya
orang-orang yang suci jiwanya saja yang boleh masuk kuil itu, dan
lukisan-lukisan yang usianya ribuan tahun lamanya dan sebuah lukisan seorang
raja yang bisa dikatakan memiliki kekuatan aneh. Keanehannya terletak pada
ketika seseorang melihat mata lukisan itu dan terus melihatnya meskipun sambil
berpindah tempat, ia akan terus mengikuti kita dengan matanya. Kemanapun kita
pergi, seolah-olah ia mengikuti kita dan ketika kita mengalihkan pandangan dan
kembali melihat ke arah matanya barulah ia melepaskan pandangannya. Sebuah trik
pelukiskah itu….. ?
Tanpa terasa
seminggu kegiatan di Luang Phrabang ASEAN Youth kami lalui. Dan tibalah saatnya
kembali ke Vientiene untuk kegiatan yang lain.
Kami dilepas langsung oleh walikota setempat, tanpa upacara adat. Tangis
haru melepas kepergian kami. Seorang guide yang telah menjadi teman saya nampak
enggan melepas kepergian saya. Ia yang menemani kami kemanapun pergi dan
mengajari saya memainkan alat musik Khaen yang suaranya sangat khas dan
indah, hingga saya bisa memainkannya. Anehnya sayalah satu-satunya orang yang
begitu histeris ketika hendak meninggalkan Luang Phrabang. Derai airmata tidak
dapat dibendung, sampai di pesawatpun, air mata itu masih terus mengalir. Saya
perhatikan gelang yang melingkar di kedua pergelangan tangan, saya teringat
saat-saat indah bersama mereka, tanpa terbersit sedikitpun gelang-gelang itu
akan membawa suatu kejadian pada diri saya. Sementara teman-teman yang lain ada
yang sudah membuang gelang tersebut, tapi sepertinya saya enggan melepasnya
Pernah suatu
sore kami berjalan-jalan di Pinggiran Sungai Mekong (sungai terbesar dan terindah di Laos) yang terletak tidak
jauh dari hotel tempat kami menginap. Saya memilih berjalan di belakang karena
ingin menikmati sunset di Mekong.
Saya merasa di depan saya berjalan enam orang, empat orang tim delegasi, satu
orang leader kami dan satu lagi orang lain. Saya perhatikan baik-baik, mereka
memang berenam. Saya lafadzkan istighfar, tapi saya merasa ini hanya
penglihatan saya saja, karena suasana sore dan kebiasaan waktu di Luang
Phrabang berjalan bertujuh. Tapi ..…ah,
saya tidak berani berpikir macam-macam. Malam-malam saya di Vientiene
saya lalui dengan perasaan tidak menentu. Saya sering mendengar alunan Khaen dimainkan, tapi semuanya saya
tepis dan saya hilangkan rasa takut itu dengan sering membaca Al-Ma’tsurat,
di sela-sela waktu senggang.
Padatnya
kegiatan di Vientiene membuat saya sedikit lupa pada Luang Phrabang. Workshop budaya, rehearsals untuk pementasan,
dan bazar. Banyak benda-benda unik dari Laos yang saya beli. Termasuk miniatur Khaen, sebagai kenangan. Sayangnya
miniatur itu tertinggal di kamar hotel berikut benda-benda unik Laos yang lain.
Di malam perpisahan dan pentas seni, masing-masing delegasi diberi kepercayaan
dan kesempatan untuk memainkan alat musik Khaen. Dari Indonesia, saya
sendiri yang memainkannya. Saya lihat senyum kagum disertai tepuk tangan mereka
atas penampilan saya. Menurut mereka, sangat sulit untuk mempelajarinya, dan
seorang ahli musik terkemuka di Laos berkata bahwa ketika saya memainkannya di
pentas, dia seperti melihat seorang gadis Laos yang memainkannya, bukan seorang
Fiet. Hatiku bertanya-tanya. Benarkah ada makhluk aneh yang menuntun saya
memainkannya? Saya tidak mau berburuk sangka dalam hal ini. Namun ketika tiba saatnya untuk kembali ke
tanah air, saya kembali histeris. Saya seperti tidak mengenali diri saya
sendiri secara psikis. Sungguh tidak pernah sebelumnya saya begini. Namun semua
itu bisa kutepis dan memaklumi, memang begitulah perpisahan.
Dalam
perjalanan pulang ke Indonesia, antara tidur dan terjaga saya mendengar
iring-iringan musik upacara adat Luang Phrabang. Jelas, sangat jelas sekali.
Saya lepas headset pesawat. Astagfirullah… Apa yang terjadi? Setelah agak
tenang, saya pakai headset kembali. Ternyata yang saya dengar adalah lagu dari
operator pesawat. Kembali saya menghibur
diri bahwa saya terlalu terbawa oleh perasaan yang selalu teringat akan Luang
Phrabang.
Saya baru
sadar kalau gelang itu masih saya pakai meski telah sampai di Indonesia.
Mungkin karena saya selalu mengenakan baju yang berlengan panjang. Makanya
tidak terlihat oleh orang lain. Itupun saya ketahui ketika teman asal Jogja
yang juga tim delegasi bertanya “Lho… kok gelangnya masih dipakai ?” “Iya.. ya.
Biarin aja nanti aja kalau sudah di Lampung, baru dilepas. Lagian saya suka
sama gelangnya.” Jelas saja dia heran
tapi saya seolah tidak peduli.
Lagi-lagi suara iring-iringan musik itu terdengar dalam perjalanan
pulang ke Lampung. Kali ini, kepala saya
sampai sakit dan berat sekali dan aroma bunga itu… Sungguh menyengat. Teman seperjalanan saya ke Lampung sempat
bertanya sedang memikirkan apa. “Sedang berusaha untuk memejamkan mata,” jawab
saya berbohong. Begitu kuatnya ingatan
akan Luang Phrabang sampai saya mengalami hal seperti ini.
Seiring
berjalannya waktu, akhirnya saya bisa menepis ingatan yang kurasa berlebih
tentang Luang Phrabang. Terlebih saya disibukkan oleh Ujian Akhir Semester
susulan yang harus saya lalui. Saya mencoba untuk konsentrasi ke ujian, fokus
pada buku-buku kuliah untuk mempersiapkan diri dan memperbaiki ibadah yang
selama di Laos hanya sebatas ibadah yang wajib saja.
Namun pernah
suatu kali saya bermimpi, saya seperti berada di tengah-tengah mereka dan
memakai pakaian adat mereka. Waktu itu saya memang sangat ingin mengenakannya,
namun padatnya kegiatan membuat tidak ada waktu terluang untuk mencoba
memakainya. Dalam mimpi saya sendiri
merasa paling cantik dalam pakaian adat itu. Ketika terjaga, saya beristighfar
dan berdoa semoga saja suatu saat nanti Allah mengizinkan saya untuk kembali
menikmati Luang Phrabang. Sekali lagi terbersit pikiran, mungkinkah hati saya
telah tertambat pada Luang Phrabang ?
Iring-iringan
musik itu sering terdengar jelas ketika saya sedang sendiri, membaca buku,
konsentrasi terhadap sesuatu, bahkan ketika saya sedang shalat. Ibadah seakan
hampa. Shalat saya rasakan hanya sekedar gerakan-gerakan tubuh belaka. Bahkan
terkadang terasa berat tubuh ini untuk mengerjakannya. Kepala terasa berat.
Dada terasa sesak. Tapi sungguh…tiada pernah terpikirkan sedikitpun kalau itu
semua berhubungan dengan “sesuatu” yang mengikuti saya sampai saya kembali pada
rutinitas sehari-hari. Selama ini saya berpikir semuanya baik-baik saja.
Ruqyah itu
….
Semuanya
seolah terjawab ketika dengan tidak sengaja saya ikut ruqyah di Ma’had Darul
Fattah, Gedung Meneng, Bandar Lampung yang pada awalnya diajak Inna, seorang
sahabat. Pada saat mendengar kaset ruqyah, kepala saya terasa sangat berat
sekali. Saya coba bertahan. Saya pikir karena terlalu lama rebahan di lantai.
Tiba-tiba ada yang mendorong saya untuk menangis. Masya Allah, air mata saya
mengalir deras dan ingin berteriak, namun bisa saya tahan. Ada apa ini? … saya sama sekali tidak
mengerti.
Ketika Ustadz
Hafi menangani seseorang dengan membaca ayat-ayat suci Al-Qur’an, saya terus
menangis namun tidak mengerti apa yang membuat saya menangis padahal saya tidak
memahami sepenuhnya arti ayat-ayat yang diucapkan oleh Ustadz. Saya semakin penasaran dan tidak sabar
mengetahui apa yang terjadi. Belum sampai pada giliran saya, tiba-tiba saja
seorang teman mengirimkan pesan via SMS bahwa siang itu praktek masuk Lab.
Wajib bagi semua mahasiswa untuk datang seratus persen. Setelah saya merasa
benar-benar tenang dan berpamitan pada Ustadz, saya ke kampus. Dalam perjalanan
ke kampus, dalam angkutan umum, saya kembali mendengar iringan dan arak-arakan
upacara itu. Saya coba menenangkan diri
dan beristighfar.
Setelah hari
itu, menurut teman-teman kost, saya agak lain. Selalu ingin menyendiri, tidak
banyak bicara dan kembali memakai gelang itu lagi, padahal sebelumnya gelang
itu telah saya simpan agar tidak rusak dan tetap menjadi kenangan. Malamnya
ketika akan saya tidur, saya mendengar kembali musik itu. Kali ini seperti ada
yang memainkan alat musik Khaen. Saya dengar lagi, ternyata memang
seperti ada yang memainkannya. Dan saya tidak lagi berpikir, karena saya sedang
memikirkan Luang Phrabang, dan muncullah kecurigaan kalau ada sesuatu dalam
diri saya, terlebih setelah mengikuti ruqyah. Semuanya saya tumpahkan dalam
shalat malam, mencoba mencari tahu sendiri dan benar-benar memohon
perlindungan-Nya.
Teka-Teki itu Terjawab Sudah
Rasa penasaran
dan keingintahuan terjawab seminggu kemudian, ketika saya meminta Inna menemani
ke Darul Fattah. Setelah rebahan di lantai dan mendengarkan Murattal beberapa saat, air mata saya
mengalir, kepala saya berat sekali. Ketika ustadz Hafi memijat bagian kepala,
saya hanya merasa berat. Namun, ketika beliau mendeteksi di bagian leher,
tiba-tiba saja tubuh saya terasa terbakar, leher saya seperti ditusuk jarum
panas, dan seketika itu juga terdengar teriakan yang sangat keras. Saya dalam
keadaan masih setengah sadar. Saya dengar ustadz mencoba bertanya siapa yang
ada dalam diri saya. Sejenak saya terdiam, dan beliau kembali membacakan
ayat-ayat, dengan memegang pergelangan tangan saya. Kembali saya berteriak dan
kali ini dengan mengucapkan kata-kata yang tidak dimengerti dan terdengar
kata-kata kotor yang diucapkan dalam bahasa Inggris. Terjadilah dialog singkat, semuanya dengan
bahasa Inggris.
“Siapa kamu ?”
Kembali saya
terdiam dan ustadz mencoba menekan leher saya, sakit…terasa sakit sekali. Kembali beliau bertanya “Siapa kamu? Kamu
laki-laki apa perempuan?”
“Saya seorang
gadis.”
“Darimana
asalmu ?”
“Suatu tempat
…. Yang sangat jauh”
“Kenapa kamu
masuk tubuh ini ?”
“Dia adalah
teman saya. saya suka sama dia … dia teman saya”
“Tidak kamu
adalah syetan…keluar dari tubuh ini …!” Gertak ustadz sambil membaca ayat-ayat
tertentu. jin yang merasuki saya semakin kesakitan.
“Jangan sakiti
saya ! Hentikan …! Ini menyakiti saya…. saya benci kamu”
Kalimat itu
terucap berulang-ulang dengan keras. ustadz mencoba menahannya dan terjadi lagi
dialog. Bahkan ia memaki-maki ustadz. “Bangsat kamu …...” Kalimat kotor itu
diulang-ulang sambil meronta. Tapi ustadz tidak menanggapinya.
“Siapa
namamu?”
“Sakhna”
“Agamamu?”
Ia kembali
terdiam…”.
“Keluar atau
saya bakar kamu dalam tubuh ini !” ustadz mengancam.
“Tidak, jangan
… saya hanya ingin dia menjadi teman saya, kemana saya harus pergi ?”
“Alam kamu
berbeda dengan dunia kita. Dan dia adalah seorang muslim. Pergilah ke mana pun
kamu suka. Kamu tidak boleh di tubuh ini”.
“Kasihanilah
saya. saya tidak bisa pulang. Saya tidak tahu kemana harus pergi. Dia adalah
teman saya. Jangan ganggu saya”
Kembali ustadz
memberi peringatan dengan menghitung sampai lima kali. Kembali terdengar
teriakan yang begitu keras. Akhirnya ustadz menuntun jin tersebut untuk mengucapkan
kalimat syahadat. Cukup lama karena ia tidak bisa mengikuti dengan lancar.
Ketika Ustadz menterjemahkannya, dia bertanya siapa itu Muhammad, dan ustadz
menjawab, “Muhammad adalah utusan Allah. Dan saya ingin kamu pergi sekarang.”
Kembali
terdengar teriakan, “Baik… baik tuan. Saya keluar sekarang. Tapi hentikan
bacaan itu … itu menyakiti saya”
Seketika itu
pula saya tidak sadarkan diri dan tidak merasakan apa-apa. Ketika saya
tersadar, tubuh saya terasa sakit sekali, mata saya panas dan tenggorokan kering. Inna memberi saya minum dan kami berpelukan.
Saya hempaskan semua tangis di bahunya.
Ya Allah…. Apa yang terjadi?
Setelah saya merasa baikan, kami berpamitan untuk pulang dan
ustadz mengijinkan kami pulang setelah memastikan saya baik-baik saja.
Ketika berada
di luar ruangan, baru beberapa langkah, tiba-tiba ada sesuatu yang menabrak
saya dari belakang dan seketika itu pula saya jatuh pingsan. Inna meminta pertolongan dan saya dibawa
kembali ke dalam ruangan. Tubuh saya
terasa terbakar ketika mereka kembali membawa saya masuk, langsung saya
memberontak dan berteriak “Biarkan saya pergi … biarkan saya pergi. Kamu bodoh
…saya benci kamu!” Entah memperoleh kekuatan dari mana, saya sanggup melepaskan
pegangan orang-orang di sekeliling saya, padahal saya tipe orang kurus dan
lemah. Dan tiba-tiba saja punggung saya
dipukul cukup keras dan saya sempat mendengar ustadz mengucapkan “Keluarlah
engkau musuh Allah!”
Kembali saya
direbahkan di lantai. Saya kembali
meronta tetapi masih bisa ditahan oleh Ustadz. Menurut Inna, saya hampir saja
memukul Ustadz Hafi. Terjadilah dialog kembali “Mengapa kamu bandel?”
“Dia adalah
teman saya … jangan ganggu saya”
“Kamu … pergi
sekarang atau akan saya bunuh”
Sepertinya
kali ini dia tidak main-main. Namun begitu juga ustadz tidak mau kalah. Akhirnya ayat-ayat itu diucapkan oleh Ustad
Hafi dekat telinga kanan saya. Ayat tentang adzab neraka dan awal surat
As-Shoffaat. Kembali terdengar teriakan dan jerit kesakitan.
“Baik….. saya
akan keluar sekarang, tapi biarkan kami berteman…saya suka dia dan saya janji
tidak akan menyakitinya.”
“Tidak.. alam
kita berbeda. Keluar sekarang … satu…dua …”
“Baik. Saya
pergi. Dengar Fiet! aku suka kamu. Assalamu ‘alaikum… (dengan terbata dan tidak
jelas. Ia bisa salam setelah diajari ustadz) dan semua yang hadir spontan
menjawab “Wa’alaikum salam.” Rasa haru
menyelimuti seisi ruangan. Kembali saya
tidak merasakan apa-apa. Tapi saya masih bisa mendengar orang-orang melafadzkan
istighfar dan tasbih. Tubuh saya terasa lemah sekali tapi begitu ringan. Setelah saya agak pulih, seorang ibu yang
hadir dalam acara ruqyah itu memeluk saya. Nasehat demi nasehat beliau tuturkan
pada saya.
Menurut Ustadz
Hafi, jin dalam tubuh saya sudah diislamkan dan untuk memastikan apakah ia
masih ada atau tidak, beliau meruqyah saya lagi dengan membaca Surat
Al-Munafiqun dekat telinga saya. Setelah saya benar-benar merasa kuat dan
ternyata ia memang tidak ada lagi, kami berpamitan. ustadz menasehati saya
untuk tidak lalai dan harus terus berdzikir.
Sejak peristiwa
ruqyah itu, saya selalu berpikir. Mungkinkah lewat upacara itu ia mengikuti
saya, atau melalui perantara gelang yang dipakaikan pada saat upacara? Atau di
tempat-tempat kuno yang mungkin waktu itu saya lalai dan terlalu menyombongkan
diri? Sehari setelah ruqyah, saya putuskan untuk membuang semua benda-benda
unik oleh-oleh dari Laos termasuk yang ada di rumah saya, walaupun terlalu
berat hati ini. Merasa sayang membuangnya.
Setelah
terapi, banyak pelajaran yang saya dapatkan. Ternyata kita harus waspada di
mana saja dan kapan saja. Kita tidak boleh toleransi dengan agama lain terutama
yang menyangkut masalah aqidah. Semoga saja ini menjadi satu wasilah agar saya
semakin dekat dengan-Nya dan Dia dekat denganku. Kesabaran saya bertambah
ketika saya dengar saudari saya mengalami hal yang sama ketika diruqyah, bahkan
lebih berat. Pasukan jin Kristen
mengganggunya dan berusaha memurtadkannya.
Alhamdulillah, ada perasaan lega dalam hati ini. Kepala sudah
tidak lagi berat. Konsentrasi belajar bisa normal. Iring-iringan musik sudah
tidak terdengar lagi. Dan lebih dari itu, saya bisa merasakan manisnya shalat
dan tilawah Al-Qur’an, walaupun belum sempurna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar