Kamis, 13 September 2018

Jin yang Mengikuti Saya dari Laos


Fiet, begitulah biasanya saya dipanggil.  Saya, seorang mahasiswi FISIP semester enam sebuah Perguruan Tinggi di Lampung.  Alhamdulillah, salah satu organisasi yang saya ikuti di kampus mempercayakan saya sebagai satu dari lima delegasi Indonesia pada ASEAN Youth Camp di Laos awal Januari lalu. Dua orang lainnya dari Jakarta, satu orang dari Surabaya dan seorang lagi dari Yogyakarta.
Sebelum keberangkatan, kami mengikuti masa karantina selama seminggu di Jakarta   untuk memperdalam pengetahuan tentang budaya Indonesia, memilah dan memilih benda-benda unik dan cocok untuk dibazarkan serta mencari cindera mata. Kebetulan ibu asrama yang sekaligus pelatih tari untuk dua orang delegasi penari beragama Nasrani. Demikian pula dengan delegasi yang dari Jakarta dan Yogyakarta, tapi saya coba untuk tidak menjadikan perbedaan agama sebagai suatu kesulitan, demi misi Indonesia tercinta.
Kesibukan mempersiapkan diri selama karantina membuat saya lupa kalau seminggu telah berlalu. Tibalah saatnya menuju negara seberang. Tepat pukul 13.00 pesawat meninggalkan bandara Soekarno-Hatta menuju Thailand untuk transit di sana. Pesawat tujuan Laos berangkat pukul 21.00 waktu Indonesia. Dan tiba di Vientiene, ibukota Laos pukul 22.15 waktu Indonesia. Kami disambut hangat oleh para pejabat negara, dan langsung diantar ke Lane Xang Hotel tempat kami tinggal selama kegiatan. Tidak terlihat hal yang aneh dan asing di ibukota Laos ini, mungkin karena banyak turis asing. Jadi kesan etnik dan tradisional sudah mulai pudar terpendam oleh hal-hal modern dari luar. Di sinipun masih bisa ditemui restoran muslim. Jadi tidak begitu sulit bagi muslim mencari masakan yang terjamin kehalalannya.
Waktu–waktu senggang saya gunakan untuk hunting photo tempat-tempat yang unik. Pernah suatu kali saya dilarang oleh guide agar tidak memotret museum Sheethatirath dan isinya. Katanya, roh seekor naga yang menunggu museum itu bisa marah. Menurut legenda, museum itu pernah didatangi seekor naga dan bersemayam di satu kuil yang terletak di dalam museum. Untuk mengunjungi museum itu saja, seseorang harus benar-benar dalam keadaan suci (untuk wanita).  Tapi saya tidak peduli. Itu kepercayaan mereka, bukan kepercayaan saya. Pernah saya nekad mengambil beberapa gambar museum dan isinya termasuk gambar naga yang menempel di dinding, tentu saja tanpa sepengetahuan mereka.  Ketika dicetak, hasilnya sungguh diluar dugaan. Tak satupun hasilnya yang jadi. Benarkah ini ada kaitannya dengan cerita guide itu? Tapi saya tidak mempercayainya. Justru saya berpikir bahwa ini semua disebabkan kesalahan pada waktu mengambil gambar.


Luang Phrabang… Tiada Pernah Kuduga

Luang Phrabang, satu daerah di Negara Laos yang terkenal akan kekayaan dan keunikan budaya, adat istiadat, dan peninggalan sejarahnya. Di daerah inilah kami banyak melakukan kunjungan wisata dan kunjungan studi setelah beberapa hari di Vientiene (Ibu kota Laos).  Subhanallah, sungguh indah. Suasana alam yang menyejukkan hati, senyum ramah tamah menyapa kami terlebih pada saya. Mungkin karena saya terlihat lain dari yang lainnya. Dari sekian delegasi ASEAN sayalah satu-satunya yang bejilbab. Namun saya bangga mengenakannya, bangga menjadi beda di tengah-tengah begitu banyaknya perbedaan. Ada juga yang memakai jilbab, delegasi dari Brunei Darussalam, tapi lebih sering dilepas. Penduduk Luang Phrabang yang mayoritasnya beragama Hindu dan kental pemujaan roh nenek moyang. Nuansa tradisional begitu kental di sini.
Ada satu tradisi yang mereka lakukan untuk menyambut tamu asing yang disebut Sa bai dee semacam upacara adat Selamat Datang. Upacara dilakukan malam pertama kami di sana. Upacara yang aneh dan asing. Awalnya saya tidak ingin mengikutinya, karena upacara ini berbau mistik. Tapi inilah adat mereka dan ketua rombongan kami mengatakan bahwa ini hanya upacara ucapan selamat datang dan penghormatan saja. Akhirnya saya ikuti juga upacara itu dengan terpaksa. Ada banyak keanehan dalam upacara ini. Ada pertunjukan dan atraksi yang melibatkan kekuatan jin. Seorang penari yang seolah terbang ke udara bak seorang dewi, seorang wanita yang seperti diberi kekuatan ghaib sanggup mengangkat guci besar yang penuh diisi air, dan seorang yang kebal senjata tajam. Cukup menarik perhatian kami memang. Setelah upacara usai, semua tamu dipakaikan gelang di kedua pergelangan tangan kami sambil mengucapkan kalimat-kalimat yang sama sekali tak saya pahami. Kepala adat meminta agar kami tidak melepaskan gelang-gelang tersebut sebelum meninggalkan Luang Phrabang. Beberapa saat kemudian, seorang penari mendekat dan mengalungkan serangkai bunga ke leher saya seraya berkata “ Sa bai dee… chan rak khun” (Selamat datang. Saya suka gaunmu). Pasti karena jilbab terlihat aneh dan asing di mata mereka. 
Tanpa sadar, kepala saya terasa berat dan pusing sekali karena aroma bunga yang begitu menusuk. Saya baru tersadar ketika tepukan penonton menggema di sekeliling saya. Saya hanya tersenyum dibuatnya. Setelah upacara selesai, kami diantar ke wisma masing-masing.  Kebetulan saya di tempatkan satu kamar dengan salah satu delegasi dari Malaysia. Mulanya saya kira ia seorang muslim, tapi ternyata seorang Chinese. Ketika masuk ke dalam kamar, saya merasakan sepertinya diri saya menolak memasuki ruangan. Aroma dan suasananya begitu asing dan terkesan seram. Di sudut kamar tergeletak patung Budha, di dinding kamar tergantung lukisan yang entahlah saya tidak bisa memaknainya, di atas televisi ada patung seorang dewi, dan  lagi-lagi aroma dupa begitu menyengat. Sepertinya teman sekamar saya paham kalau saya merasa tidak nyaman dengan benda-benda itu. Iapun membantu menyingkirkannya, meskipun ia juga penganut Hindu China.
Tanpa terasa, hari demi hari berlalu. Keramahtamahan mereka membuat saya seperti bagian dari mereka, sepertinya hati saya telah tertambat di Luang Phrabang. Padatnya kegiatan demi kegiatan membuat saya sibuk. Country presentation, visiting, workshop, rehealsals, dan lain-lain. Sayangnya waktu ibadah tidak terjadwalkan oleh pihak penyelenggara. Maklum mayoritas penduduk Laos beragama Hindu. Jadi saya harus bisa menyiasati dan mencari sela untuk tetap bisa shalat tepat pada waktunya.
Seorang guide Miss Thui namanya, banyak membantu kami mengunjungi tempat-tempat unik dan bersejarah. Ada banyak larangan dan kewajiban yang harus kami ikuti sebelum memasuki suatu daerah tertentu. Seperti kami diharuskan minum air yang mengalir dari mata air Sungai Nam Khan sebelum menginjakkan kaki di Kuil Announchar. Kalau tidak, kami bisa kena kutukan. Banyak sekali tempat aneh di sana. Museum yang usianya ratusan tahun, kuil yang katanya pernah disinggahi seorang peri dari kayangan yang dapat memberikan berkah untuk mereka. Namun hanya orang-orang yang suci jiwanya saja yang boleh masuk kuil itu, dan lukisan-lukisan yang usianya ribuan tahun lamanya dan sebuah lukisan seorang raja yang bisa dikatakan memiliki kekuatan aneh. Keanehannya terletak pada ketika seseorang melihat mata lukisan itu dan terus melihatnya meskipun sambil berpindah tempat, ia akan terus mengikuti kita dengan matanya. Kemanapun kita pergi, seolah-olah ia mengikuti kita dan ketika kita mengalihkan pandangan dan kembali melihat ke arah matanya barulah ia melepaskan pandangannya. Sebuah trik pelukiskah itu….. ?
Tanpa terasa seminggu kegiatan di Luang Phrabang ASEAN Youth kami lalui. Dan tibalah saatnya kembali ke Vientiene untuk kegiatan yang lain.  Kami dilepas langsung oleh walikota setempat, tanpa upacara adat. Tangis haru melepas kepergian kami. Seorang guide yang telah menjadi teman saya nampak enggan melepas kepergian saya. Ia yang menemani kami kemanapun pergi dan mengajari saya memainkan alat musik Khaen yang suaranya sangat khas dan indah, hingga saya bisa memainkannya. Anehnya sayalah satu-satunya orang yang begitu histeris ketika hendak meninggalkan Luang Phrabang. Derai airmata tidak dapat dibendung, sampai di pesawatpun, air mata itu masih terus mengalir. Saya perhatikan gelang yang melingkar di kedua pergelangan tangan, saya teringat saat-saat indah bersama mereka, tanpa terbersit sedikitpun gelang-gelang itu akan membawa suatu kejadian pada diri saya. Sementara teman-teman yang lain ada yang sudah membuang gelang tersebut, tapi sepertinya saya enggan melepasnya
Pernah suatu sore kami berjalan-jalan di Pinggiran Sungai Mekong (sungai terbesar dan terindah di Laos) yang terletak tidak jauh dari hotel tempat kami menginap. Saya memilih berjalan di belakang karena ingin menikmati sunset di Mekong. Saya merasa di depan saya berjalan enam orang, empat orang tim delegasi, satu orang leader kami dan satu lagi orang lain. Saya perhatikan baik-baik, mereka memang berenam. Saya lafadzkan istighfar, tapi saya merasa ini hanya penglihatan saya saja, karena suasana sore dan kebiasaan waktu di Luang Phrabang berjalan bertujuh. Tapi ..…ah,  saya tidak berani berpikir macam-macam. Malam-malam saya di Vientiene saya lalui dengan perasaan tidak menentu. Saya sering mendengar alunan Khaen dimainkan, tapi semuanya saya tepis dan saya hilangkan rasa takut itu dengan sering membaca Al-Ma’tsurat, di sela-sela waktu senggang.
Padatnya kegiatan di Vientiene membuat saya sedikit lupa pada Luang Phrabang.  Workshop budaya, rehearsals untuk pementasan, dan bazar. Banyak benda-benda unik dari Laos yang saya beli. Termasuk miniatur Khaen, sebagai kenangan. Sayangnya miniatur itu tertinggal di kamar hotel berikut benda-benda unik Laos yang lain. Di malam perpisahan dan pentas seni, masing-masing delegasi diberi kepercayaan dan kesempatan untuk memainkan alat musik Khaen. Dari Indonesia, saya sendiri yang memainkannya. Saya lihat senyum kagum disertai tepuk tangan mereka atas penampilan saya. Menurut mereka, sangat sulit untuk mempelajarinya, dan seorang ahli musik terkemuka di Laos berkata bahwa ketika saya memainkannya di pentas, dia seperti melihat seorang gadis Laos yang memainkannya, bukan seorang Fiet. Hatiku bertanya-tanya. Benarkah ada makhluk aneh yang menuntun saya memainkannya? Saya tidak mau berburuk sangka dalam hal ini.  Namun ketika tiba saatnya untuk kembali ke tanah air, saya kembali histeris. Saya seperti tidak mengenali diri saya sendiri secara psikis. Sungguh tidak pernah sebelumnya saya begini. Namun semua itu bisa kutepis dan memaklumi, memang begitulah perpisahan.
Dalam perjalanan pulang ke Indonesia, antara tidur dan terjaga saya mendengar iring-iringan musik upacara adat Luang Phrabang. Jelas, sangat jelas sekali. Saya lepas headset pesawat. Astagfirullah… Apa yang terjadi? Setelah agak tenang, saya pakai headset kembali. Ternyata yang saya dengar adalah lagu dari operator pesawat. Kembali  saya menghibur diri bahwa saya terlalu terbawa oleh perasaan yang selalu teringat akan Luang Phrabang. 
Saya baru sadar kalau gelang itu masih saya pakai meski telah sampai di Indonesia. Mungkin karena saya selalu mengenakan baju yang berlengan panjang. Makanya tidak terlihat oleh orang lain. Itupun saya ketahui ketika teman asal Jogja yang juga tim delegasi bertanya “Lho… kok gelangnya masih dipakai ?” “Iya.. ya. Biarin aja nanti aja kalau sudah di Lampung, baru dilepas. Lagian saya suka sama gelangnya.”  Jelas saja dia heran tapi saya seolah tidak peduli. 
Lagi-lagi suara iring-iringan musik itu terdengar dalam perjalanan pulang ke Lampung.  Kali ini, kepala saya sampai sakit dan berat sekali dan aroma bunga itu… Sungguh menyengat.  Teman seperjalanan saya ke Lampung sempat bertanya sedang memikirkan apa. “Sedang berusaha untuk memejamkan mata,” jawab saya berbohong.  Begitu kuatnya ingatan akan Luang Phrabang sampai saya mengalami hal seperti ini.
Seiring berjalannya waktu, akhirnya saya bisa menepis ingatan yang kurasa berlebih tentang Luang Phrabang. Terlebih saya disibukkan oleh Ujian Akhir Semester susulan yang harus saya lalui. Saya mencoba untuk konsentrasi ke ujian, fokus pada buku-buku kuliah untuk mempersiapkan diri dan memperbaiki ibadah yang selama di Laos hanya sebatas ibadah yang wajib saja.
Namun pernah suatu kali saya bermimpi, saya seperti berada di tengah-tengah mereka dan memakai pakaian adat mereka. Waktu itu saya memang sangat ingin mengenakannya, namun padatnya kegiatan membuat tidak ada waktu terluang untuk mencoba memakainya.  Dalam mimpi saya sendiri merasa paling cantik dalam pakaian adat itu. Ketika terjaga, saya beristighfar dan berdoa semoga saja suatu saat nanti Allah mengizinkan saya untuk kembali menikmati Luang Phrabang. Sekali lagi terbersit pikiran, mungkinkah hati saya telah tertambat pada Luang Phrabang ?
Iring-iringan musik itu sering terdengar jelas ketika saya sedang sendiri, membaca buku, konsentrasi terhadap sesuatu, bahkan ketika saya sedang shalat. Ibadah seakan hampa. Shalat saya rasakan hanya sekedar gerakan-gerakan tubuh belaka. Bahkan terkadang terasa berat tubuh ini untuk mengerjakannya. Kepala terasa berat. Dada terasa sesak. Tapi sungguh…tiada pernah terpikirkan sedikitpun kalau itu semua berhubungan dengan “sesuatu” yang mengikuti saya sampai saya kembali pada rutinitas sehari-hari. Selama ini saya berpikir semuanya baik-baik saja.

Ruqyah itu ….
Semuanya seolah terjawab ketika dengan tidak sengaja saya ikut ruqyah di Ma’had Darul Fattah, Gedung Meneng, Bandar Lampung yang pada awalnya diajak Inna, seorang sahabat. Pada saat mendengar kaset ruqyah, kepala saya terasa sangat berat sekali. Saya coba bertahan. Saya pikir karena terlalu lama rebahan di lantai. Tiba-tiba ada yang mendorong saya untuk menangis. Masya Allah, air mata saya mengalir deras dan ingin berteriak, namun bisa saya tahan.  Ada apa ini? … saya sama sekali tidak mengerti. 
Ketika Ustadz Hafi menangani seseorang dengan membaca ayat-ayat suci Al-Qur’an, saya terus menangis namun tidak mengerti apa yang membuat saya menangis padahal saya tidak memahami sepenuhnya arti ayat-ayat yang diucapkan oleh Ustadz.  Saya semakin penasaran dan tidak sabar mengetahui apa yang terjadi. Belum sampai pada giliran saya, tiba-tiba saja seorang teman mengirimkan pesan via SMS bahwa siang itu praktek masuk Lab. Wajib bagi semua mahasiswa untuk datang seratus persen. Setelah saya merasa benar-benar tenang dan berpamitan pada Ustadz, saya ke kampus. Dalam perjalanan ke kampus, dalam angkutan umum, saya kembali mendengar iringan dan arak-arakan upacara itu.  Saya coba menenangkan diri dan beristighfar.
Setelah hari itu, menurut teman-teman kost, saya agak lain. Selalu ingin menyendiri, tidak banyak bicara dan kembali memakai gelang itu lagi, padahal sebelumnya gelang itu telah saya simpan agar tidak rusak dan tetap menjadi kenangan. Malamnya ketika akan saya tidur, saya mendengar kembali musik itu. Kali ini seperti ada yang memainkan alat musik Khaen. Saya dengar lagi, ternyata memang seperti ada yang memainkannya. Dan saya tidak lagi berpikir, karena saya sedang memikirkan Luang Phrabang, dan muncullah kecurigaan kalau ada sesuatu dalam diri saya, terlebih setelah mengikuti ruqyah. Semuanya saya tumpahkan dalam shalat malam, mencoba mencari tahu sendiri dan benar-benar memohon perlindungan-Nya.

Teka-Teki itu Terjawab Sudah

Rasa penasaran dan keingintahuan terjawab seminggu kemudian, ketika saya meminta Inna menemani ke Darul Fattah. Setelah rebahan di lantai dan mendengarkan Murattal beberapa saat, air mata saya mengalir, kepala saya berat sekali. Ketika ustadz Hafi memijat bagian kepala, saya hanya merasa berat. Namun, ketika beliau mendeteksi di bagian leher, tiba-tiba saja tubuh saya terasa terbakar, leher saya seperti ditusuk jarum panas, dan seketika itu juga terdengar teriakan yang sangat keras. Saya dalam keadaan masih setengah sadar. Saya dengar ustadz mencoba bertanya siapa yang ada dalam diri saya. Sejenak saya terdiam, dan beliau kembali membacakan ayat-ayat, dengan memegang pergelangan tangan saya. Kembali saya berteriak dan kali ini dengan mengucapkan kata-kata yang tidak dimengerti dan terdengar kata-kata kotor yang diucapkan dalam bahasa Inggris.  Terjadilah dialog singkat, semuanya dengan bahasa Inggris.
“Siapa kamu ?”
Kembali saya terdiam dan ustadz mencoba menekan leher saya, sakit…terasa sakit sekali.  Kembali beliau bertanya “Siapa kamu? Kamu laki-laki apa perempuan?”
“Saya seorang gadis.”
“Darimana asalmu ?”
“Suatu tempat …. Yang sangat jauh”
“Kenapa kamu masuk tubuh ini ?”
“Dia adalah teman saya. saya suka sama dia … dia teman saya”
“Tidak kamu adalah syetan…keluar dari tubuh ini …!” Gertak ustadz sambil membaca ayat-ayat tertentu. jin yang merasuki saya semakin kesakitan.
“Jangan sakiti saya ! Hentikan …! Ini menyakiti saya…. saya benci kamu”
Kalimat itu terucap berulang-ulang dengan keras. ustadz mencoba menahannya dan terjadi lagi dialog. Bahkan ia memaki-maki ustadz. “Bangsat kamu …...” Kalimat kotor itu diulang-ulang sambil meronta. Tapi ustadz tidak menanggapinya.
“Siapa namamu?”
“Sakhna”
“Agamamu?”
Ia kembali terdiam…”.
“Keluar atau saya bakar kamu dalam tubuh ini !” ustadz mengancam.
“Tidak, jangan … saya hanya ingin dia menjadi teman saya, kemana saya harus pergi ?”
“Alam kamu berbeda dengan dunia kita. Dan dia adalah seorang muslim. Pergilah ke mana pun kamu suka. Kamu tidak boleh di tubuh ini”.
“Kasihanilah saya. saya tidak bisa pulang. Saya tidak tahu kemana harus pergi. Dia adalah teman saya. Jangan ganggu saya”
Kembali ustadz memberi peringatan dengan menghitung sampai lima kali. Kembali terdengar teriakan yang begitu keras. Akhirnya ustadz menuntun jin tersebut untuk mengucapkan kalimat syahadat. Cukup lama karena ia tidak bisa mengikuti dengan lancar. Ketika Ustadz menterjemahkannya, dia bertanya siapa itu Muhammad, dan ustadz menjawab, “Muhammad adalah utusan Allah. Dan saya ingin kamu pergi sekarang.”
Kembali terdengar teriakan, “Baik… baik tuan. Saya keluar sekarang. Tapi hentikan bacaan itu … itu menyakiti saya”
Seketika itu pula saya tidak sadarkan diri dan tidak merasakan apa-apa. Ketika saya tersadar, tubuh saya terasa sakit sekali, mata saya panas dan tenggorokan kering.  Inna memberi saya minum dan kami berpelukan. Saya hempaskan semua tangis di bahunya.  Ya Allah…. Apa yang terjadi?  Setelah saya merasa baikan, kami berpamitan untuk pulang dan ustadz mengijinkan kami pulang setelah memastikan saya baik-baik saja.  
Ketika berada di luar ruangan, baru beberapa langkah, tiba-tiba ada sesuatu yang menabrak saya dari belakang dan seketika itu pula saya jatuh pingsan.  Inna meminta pertolongan dan saya dibawa kembali ke dalam ruangan.  Tubuh saya terasa terbakar ketika mereka kembali membawa saya masuk, langsung saya memberontak dan berteriak “Biarkan saya pergi … biarkan saya pergi. Kamu bodoh …saya benci kamu!” Entah memperoleh kekuatan dari mana, saya sanggup melepaskan pegangan orang-orang di sekeliling saya, padahal saya tipe orang kurus dan lemah.  Dan tiba-tiba saja punggung saya dipukul cukup keras dan saya sempat mendengar ustadz mengucapkan “Keluarlah engkau musuh Allah!”
Kembali saya direbahkan di lantai.  Saya kembali meronta tetapi masih bisa ditahan oleh Ustadz. Menurut Inna, saya hampir saja memukul Ustadz Hafi. Terjadilah dialog kembali “Mengapa kamu bandel?”
“Dia adalah teman saya … jangan ganggu saya”
“Kamu … pergi sekarang atau akan saya bunuh”
Sepertinya kali ini dia tidak main-main. Namun begitu juga ustadz tidak mau kalah.  Akhirnya ayat-ayat itu diucapkan oleh Ustad Hafi dekat telinga kanan saya. Ayat tentang adzab neraka dan awal surat As-Shoffaat. Kembali terdengar teriakan dan jerit kesakitan.
“Baik….. saya akan keluar sekarang, tapi biarkan kami berteman…saya suka dia dan saya janji tidak akan menyakitinya.”
“Tidak.. alam kita berbeda. Keluar sekarang … satu…dua …”
“Baik. Saya pergi. Dengar Fiet! aku suka kamu. Assalamu ‘alaikum… (dengan terbata dan tidak jelas. Ia bisa salam setelah diajari ustadz) dan semua yang hadir spontan menjawab “Wa’alaikum salam.”  Rasa haru menyelimuti seisi ruangan.  Kembali saya tidak merasakan apa-apa. Tapi saya masih bisa mendengar orang-orang melafadzkan istighfar dan tasbih. Tubuh saya terasa lemah sekali tapi begitu ringan.  Setelah saya agak pulih, seorang ibu yang hadir dalam acara ruqyah itu memeluk saya. Nasehat demi nasehat beliau tuturkan pada saya. 
Menurut Ustadz Hafi, jin dalam tubuh saya sudah diislamkan dan untuk memastikan apakah ia masih ada atau tidak, beliau meruqyah saya lagi dengan membaca Surat Al-Munafiqun dekat telinga saya. Setelah saya benar-benar merasa kuat dan ternyata ia memang tidak ada lagi, kami berpamitan. ustadz menasehati saya untuk tidak lalai dan harus terus berdzikir.
Sejak peristiwa ruqyah itu, saya selalu berpikir. Mungkinkah lewat upacara itu ia mengikuti saya, atau melalui perantara gelang yang dipakaikan pada saat upacara? Atau di tempat-tempat kuno yang mungkin waktu itu saya lalai dan terlalu menyombongkan diri? Sehari setelah ruqyah, saya putuskan untuk membuang semua benda-benda unik oleh-oleh dari Laos termasuk yang ada di rumah saya, walaupun terlalu berat hati ini. Merasa sayang membuangnya.

 

Setelah terapi, banyak pelajaran yang saya dapatkan. Ternyata kita harus waspada di mana saja dan kapan saja. Kita tidak boleh toleransi dengan agama lain terutama yang menyangkut masalah aqidah. Semoga saja ini menjadi satu wasilah agar saya semakin dekat dengan-Nya dan Dia dekat denganku. Kesabaran saya bertambah ketika saya dengar saudari saya mengalami hal yang sama ketika diruqyah, bahkan lebih berat.  Pasukan jin Kristen mengganggunya dan berusaha memurtadkannya.  Alhamdulillah, ada perasaan lega dalam hati ini. Kepala sudah tidak lagi berat. Konsentrasi belajar bisa normal. Iring-iringan musik sudah tidak terdengar lagi. Dan lebih dari itu, saya bisa merasakan manisnya shalat dan tilawah Al-Qur’an, walaupun belum sempurna.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar