Selasa, 08 Maret 2022

Saya kelabuhi pasien dengan Energi baterai

 

Perdukunan penuh dengan kebohongan? Itulah pengalaman hidup yang dijalani Ipon, seorang dukun yang kini telah bertaubat. Dengan berbagai trik, ia mengelabui pasien dan murid-muridnya. Apa yang dilakukan Ipon bisa jadi dilakukan oleh dukun-dukun yang lain. Karena itu, waspadalah dan jangan hiraukan mereka. Bila tidak ingin dikelabuhi. Ipon menuturkan kisah masa lalunya kepada Majalah Ghaib di Cirebon.

Saya terlahir sebagai manusia biasa dengan bakat melukis. Satu hal yang telah saya geluti sejak remaja. Aktifitas ini menuntut sebuah kemampuan lebih karena mobilitas saya yang terbilang tinggi, berpindah dari satu tempat ke tempat lain untuk menggelar pameran atau sekadar menggali ide. Dari sini, mulai terbetik sebuah ide untuk belajar ilmu kesaktian.

Saya ingin memiliki kemampuan lebih, memiliki sesuatu yang bisa saya banggakan di depan teman-teman. Cita-cita itulah yang mengantarkan saya untuk belajar ilmu kebal. Kebetulan, ada orang pintar yang cukup terkenal di tempat saya. Sebut saja namanya Ki Lintar. Kepadanyalah saya menggantungkan harapan.

Untuk menguasai ilmu kebal saya menjalankan puasa mutih 40 hari. Di hari yang keempat puluh, saya hanya minum seteguk air putih. Keesokan harinya saya diuji langsung oleh Ki Lintar. Pagi itu, hanya kami berdua di ruangan perguruannya. Saya melakukan sedikit pemanasan, sementara Ki Lintar telah siap dengan sebongkah batu bata di tangan. Setelah dirasa cukup Ki Lintar melangkah mendekat. Batu bata itu pun hancur terbentur kepala saya. Tidak ada luka. Tidak ada darah.

Untuk sementara, saya berhasil menjadi orang sakti seperti yang saya inginkan. Apapun permintaan Ki Lintar selalu saya kabulkan. Memang, sejak itu Ki Lintar sering meminta uang kepada saya dengan berbagai alasan. Sejatinya uang itu tidak terkait dengan iuran perguruan. Namun, saya tidak bisa berkutik, meski saya sendiri bukanlah dari golongan orang berada yang memiliki banyak uang. Kedudukan saya sebagai murid membuat saya tidak kuasa menolak.

 

Suatu sore, saya ingin menguji kembali kekebalan yang saya peroleh. Sebongkah batu bata saya adu dengan kepala saya. “Aduuuh….” Saya menjerit. Kepala saya berdarah dengan luka-luka memar. Sementara batu bata itu tetap utuh. Tidak hancur atau terbelah.

Saya terkejut. Kemana gerangan ilmu itu, pikir saya. Saya semakin penasaran, dengan gemetar saya ambil sebuah silet dari dalam laci. Saya ingin membuktikan kembali kekebalan saya. Namun, sayatan silet itu meninggalkan luka di lengan. Goresan merah darah memanjang di lengan. Perih rasanya, saya masih beruntung, saat itu saya tidak menggoreskan silet dengan keras. Padahal wirid basmalah 3.000 kali tanpa putus selalu saya kerjakan di rumah. Sesajen kopi pahit, kopi manis, bubur merah bubur putih juga telah saya penuhi, tapi hasilnya di luar harapan.

Saya merasa tertipu. Kekebalan yang sempat saya banggakan ternyata hanya isapan jempol belaka. Dongkol, sedih dan kecewa bercampur menjadi satu. Hati saya panas. Saya merasa telah menjadi sapi perahan. Saya telah dibohongi. Akhirnya saya mengundurkan diri dari perguruan.

Saya mencari orang sakti lainnya. Kali ini saya berguru ke Indramayu. Di tangan seorang guru sakti, Ki Bagol, saya diberi amalan doa Nurbuwat. Setiap jam dua belas malam sampai Shubuh, saya harus merapal doa Nurbuwat sebanyak seribu kali.

Lelaki paruh baya itu menyuruh saya merapal doa Nurbuwat selama tiga tahun. Sebuah rentang waktu yang panjang. Bayangkan tiap malam, saya harus begadang. Mulai jam dua belas malam hingga Shubuh, saya tidak boleh tidur.  Doa Nurbuwat itu harus terus dirapal, tanpa putus. Sebenarnya saya disuruh mengamalkannya di teras rumah, tapi saya tidak mau. Karena saya tidak ingin menarik perhatian orang sekitar. Saya juga ingin merahasiakannya dari orangtua. Karena itu saya merapalnya di kamar.

Selama merapal doa Nurbuwat, katanya, khadam yang diberinama Lukmanul Hakim sewaktu-waktu bisa datang. Bila ia datang, saya tidak boleh takut. Katanya, khadam itu justru harus diajak bicara. Memang, selama merapal doa Nurbuwat beberapa kali saya melihat bayangan berkelebat. Apakah itu yang dimaksud dengan khadam Lukmanul Hakim? Saya sendiri tidak tahu. Di lain kesempatan, angin berputar masuk ke dalam kamar. Padahal tidak ada celah untuk masuknya angin. Jendela kamar masih tertutup rapat. Pintu juga tidak bergeser, walau satu inchi. 

Setahun lamanya saya merapal Nurbuwat setiap malam, sebelum akhirnya menyerah.  Saya pergi ke Indramayu menemui Ki Bagol. “Ya sudah, tidak apa-apa. Satu tahunpun kamu sudah dapat,” katanya. Meski tidak memiliki kemampuan seratus persen, tapi intuisi saya mulai berkembang. Saya mulai peka terhadap makhluk ghaib. Saya kemudian dilatih mempertajam intuisi dengan memusatkan perhatian pada suatu titik.

Setelah sekian lama latihan intuisi, tidak banyak perkembangan berarti, akhirnya saya putuskan untuk mengundurkan diri. Saya tidak puas. Untuk sementara waktu, saya kembali fokus pada pekerjaan. Selain itu saya juga mencoba keberuntungan dengan belajar fotografi. Siapa tahu suatu saat akan berguna. Kesibukan dunia seni, sedikit melupakan ketertarikan pada ilmu kesaktian. Meski hal itu tidak bertahan terlalu lama. Dalam suatu kesempatan saya berkenalan dengan sebuah perguruan yang mengajarkan aliran energi. Katanya itu adalah energi yang diserap tubuh dan dialirkan kembali.

Saya tertarik. Berbekal uang 250.000 saya mengikuti latihan tahap pertama. Saya mulai tersadar ternyata energi alam seperti ini yang sedang digemari. Mudah diterima masyarakat dan tidak kental mistiknya. Meski tidak melanjutkan pada tingkat kedua, tapi latihan pertama itu memberikan secercah harapan baru bagi saya.

 

Terinspirasi oleh alat setrum listrik nyamuk

Saya mulai berpikir, kenapa tidak memanfaatkan energi listrik saja. Ide itu terinspirasi oleh alat setrum listrik nyamuk. Fantastis, pikir saya. Orang yang memegang saya akan tersengat listrik. Ia langsung merasakan kekuatan itu tanpa butuh waktu yang lama.

Saya mulai mengotak-atik setrum listrik nyamuk. Berulangkali, saya merasakan kekuatan aliran energi listrik yang diserapnya. Serta sejauh mana badan saya mampu menahan kekuatan aliran listrik itu. Setelah dirasa aman, saya merancang berbagai bentuk. Dan lahirlah ide untuk memasang alat setrum listrik nyamuk itu di sandal.

Ide ini mudah. Dengan trik rahasia, saya bisa mengelabuhi orang. Saya memilih sebuah sandal kulit. Di bagian tumit, saya sayat dengan rapi. Saya masukkan alat itu ke dalam lalu saya rapatkan kembali kulit bagian atas. Sementara itu tombol pengatur on-off, saya letakkan di bagian depan. Tepat di bawah jempol kaki. Dengan demikian, saya bisa menghidupkan dan mematikannya dengan mudah. Untuk dapat mengalirkan energi listrik ke orang lain, saya hubungkan alat setrum listrik itu dengan tanah melalui sebuah baut yang saya taruh di bawah sandal. Langsung menyentuh tanah. (Hingga tulisan ini ditulis, baru Majalah Ghaib yang mengetahui trik ini. Meski Ipon telah menyerahkannya sejak ruqyah yang kedua di kantor Majalah Ghaib sebagai bukti pertaubatannya)

Percaya diri saya mulai tumbuh. Ketika Dodi, teman kerja, sedang stress karena masalah keluarga, saya menemukan kesempatan untuk membuktikan ilmu saya. Dengan bijak, saya menenangkan Dodi. Saya yakinkan bahwa saya bisa membantunya. Saya menyuruhnya duduk di atas kursi dengan alas kaki di lepas. Selanjutnya saya bimbing Dodi melantunkan basmalah. Perlahan saya suruh dia membuka tangannya dengan tetap menjaga konsentrasi.

Sedetik kemudian, saya melangkah dengan hati berdebar. Ini adalah kelinci percobaan yang pertama. Saya berusaha menguasai diri. Perlahan saya gerakkan tangan. Tombol on di jempol kaki sudah saya tekan. Aliran listrik menjalar ke tubuh saya. dan ‘Byaarrr’ Dodi terperangah. Kepalanya terdongak ke belakang ketika telunjuk saya menyentuh keningnya.

“Astaghfirullah …,” pekik Dodi. Ia merasakan aliran listrik menjalar ke keningnya. Dan membuatnya terasa lebih ringan. “Entheng mas,” katanya. Dodi merasa kondisinya lebih baik setelah mendapat setruman listrik. Dalam pandangannya itu adalah energi listrik yang murni mengalir dari tenaga saya. Tidak ada trik tipuan.

Pengalaman pertama yang menggembirakan. Saya berhasil meyakinkan orang dalam sentuhan pertama. Sejak itu Dodi sering ke rumah. Ia sekaligus menjadi promosi yang pertama. Perlahan berita seputar keampuan ilmu saya mulai tersebar. Awalnya terbatas di antara teman-teman Dodi, namun semakin lama semakin meluas.

Ada saja pasien yang datang ke rumah. dengan berbagai kepentingan. Ada yang berobat, minta jimat kenaikan pangkat, atau keperluan lainnya. Ratih, Wanita yang saya nikahi tahun 97 kurang setuju dengan apa yang saya lakukan ini. Tapi dia tidak berani melarang saya. Semua itu karena sifat temperamental saya yang meledak-ledak. Sejujurnya itu bukanlah watak saya yang sesungguhnya, hanya setelah merapal doa Nurbuwat sifat mudah marah itu mulai muncul.

Terlebih bila masalah ekonomi juga berperan. Praktik perdukunan memberikan tambahan pemasukan yang boleh dibilang lumayan. Setidaknya sekali datang orang memberi saya lima puluh ribu rupiah. Tapi saya tidak mau bergantung sepenuhnya dengan praktik perdukunan ini. Saya masih menggeluti profesi yang dulu sebagai pelukis dan sesekali mendapat order pemotretan.

Saya bukanlah seperti dukun kebanyakan. Belum saya sentuh saja pasien sudah merasakan getaran energi listrik saya. Banyak yang menganggap saya sebagai orang sakti. Meski usia masih muda, kemana-mana saya selalu dihormati. Akhirnya saya berpikir, apa yang saya pelajari dulu tidak dibutuhkan lagi. Saya tidak perlu mengamalkan ini dan itu. Cukup berbekal dua baterai sudah bisa menangani beberapa pasien. Memang, tidak setiap hari pasien boleh datang. Mereka saya suruh merasakan pengaruhnya dulu. Tiga hari kemudian, mereka boleh datang kembali. Waktu itu saya beralasan bahwa energi saya belum pulih. Padahal kesempatan itu saya manfaatkan untuk mengisi ulang baterai itu.

Suatu ketika saya kedatangan pasien dari Subang, Jawa Barat. Dua remaja kakak beradik yang sering kejang seperti kesurupan. Mereka diantar oleh ibunya. Siska namanya. Setelah menjalani terapi, menurut ibunya yang menghubungi saya via HP, anaknya sudah jauh lebih baik. Dulu, hampir tiap jam selalu kejang-kejang, sekarang mulai berkurang. Kadang tiga hari sekali baru kambuh. Dalam hati saya heran, kok bisa sembuh? Terus terang, selama mengobati pasien, saya belum yakin energi listrik bisa menyembuhkan penyakitnya. Apakah itu karena kepercayaan pasien yang demikian tinggi? Keraguan-keraguan itu saya tepis sendiri, meski bertambahnya jumlah pasien menjadi bukti tersendiri.

Pergolakan batin saya, tidak mengurangi kebanggaan saya. Bahwa saya bisa membantu orang, meski dengan sedikit tipuan. Berulangkali Siska menghubungi saya. "Sekarang sudah tidak seperti dulu lagi, tapi kalau malam kadang suka kejang sebentar," kata Siska dari balik HP. "Ya udah, insya Allah setelah terapi yang ketiga saya akan melakukan ritual di rumah ibu," jawab saya dengan sedikit cemas. Kekhawatiran itu muncul karena saya belum percaya seratus persen.

Pada hari yang telah disepakati, suami Ibu Siska menjemput saya. Rupanya, di rumah Ibu Siska juga telah berkumpul seorang dukun. Saya lakukan ritual di sana, sementara dukun itu memperhatikan saya. Wajahnya suram, nampak sekali bila tidak senang dengan kehadiran saya.

Malam itu, semua lampu saya matikan. Hanya tujuh lilin yang saya nyalakan di meja. Tujuh lilin itu mengelilingi hio yang mengepulkan asap. Angka ganjil itu untuk menambah nuansa mistis. Tidak ada maksud yang lain. Bau asap hio menyebar di dalam ruangan.

Dengan pakaian serba hitam saya membaca doa Nurbuwat, sementara dukun itu hanya mengikuti apa yang saya lakukan. Ia tidak berani berulah macam-macam. Setelah setengah jam ritual pun selesai. Kedua anak Ibu Siska tidak mengalami kejang-kejang. Malam itu pun berlalu dengan tenang.

Keesokan harinya, sang dukun penasaran dengan kekuatan energi yang saya miliki. Gerak-geriknya menunjukkan bila ia ingin merasakannya sendiri. Saya pun meladeni tantangannya. Saya ajak dukun itu ke halaman rumah, di tempat yang lembab, di dekat sebuah pohon yang masih basah. Saya berdiri dengan tenang, melihat dan memperhatikan ulah dukun itu yang nampak mulai ragu.

Saya gerakkan tangan sedemikian rupa, seolah sedang merapal mantra dan menyalurkan energi. Dengan sedikit bergetar saya pegang pohon di samping saya dengan tangan kiri. "Pegang pohon dengan tangan kanan!" perintah saya agak keras. Dukun itu menurut. Nyalinya mulai menciut. Ia memegang pohon dengan tangan kanannya. "Sekarang buka telapak tangan kirimu!" perintah saya lagi. Ia tidak punya pilihan lain. Dengan ragu ia sodorkan tangan kirinya.

Tangan kanan saya bergerak pelan mendekati tangan kiri dukun. Bersamaan dengan sentuhan kedua tangan kami, jempol kaki saya menginjak tombol on di sandal. 'Duas' terlihat percikan api dari sentuhan tangan kami. Dukun itu pun terjengkang ke belakang. Ia tidak menduga reaksinya begitu keras. Karena memang voltase setrum listrik nyamuk itu saya perbesar. Orang seperti ini memang perlu diberi pelajaran, kata saya dalam hati.

Dari Subang, Ibu Siska membawa saya ke Bandung, menyusuri tempat yang biasa dilalui kedua anaknya. Pasalnya, dulu, mereka sering kejang-kejang saat dalam perjalanan ke sekolah. Saya persiapkan air dan garam, lalu saya ciprat-cipratkan di kamar dan tempat yang dilaluinya.

Beberapa minggu kemudian, Ibu Siska menghubungi lagi. Ia mengatakan, anaknya sudah semakin membaik. Ia pun meminta untuk datang sekali lagi ke rumahnya. Berita gembira itu memang saya syukuri, tapi untuk datang lagi ke rumahnya saya mulai ragu. Saya tidak yakin bila energi listrik bisa menyembuhkan anaknya seratus persen. Karena itu saya tidak bersedia datang dengan alasan yang klise. "Saya sedang sibuk," jawab saya.

Mengelabuhi mantan guru dengan trik tipuan

Selain menerima pasien, saya juga mendatangi mantan guru saya, Ki Lintar di rumahnya. Ada dendam yang belum terlunaskan. Saya ingin menunjukkan bahwa saya lebih sakti darinya. Saya ceritakan bila saya semakin sakti dengan energi alam saya. Dari tatapannya, saya sadar bahwa Ki Lintar tidak percaya. Akhirnya saya putuskan untuk menguji kekebalannya.

Saya pamit pulang, Ki Lintar mengikuti saya dari belakang, tanpa mengenakan sandal. Di halaman yang sedikit basah saya berhenti. Saya pun menyalaminya. Saya pegang tangannya dengan erat disertai pijakan pada tombol on di sandal. Ki Lintar tersengat listrik. Matanya melotot mau marah, tapi tidak berani. Ia pun mengajak saya masuk ke dalam.

Ia bertanya bagaimana cara mempelajarinya. "Ilmu ini tidak perlu waktu bertahun-tahun. Satu hari juga bisa," kata saya. Saya menang. Ki Lintar mau belajar dari saya. "Bagaimana caranya?" katanya penasaran. "Saya kasih inisiasi dulu, Ki. Tapi maharnya lebih mahal. 500 ribu," kata saya. Ki Lintar berpikir sejenak. "Ah, uang sebanyak itu mana punya," katanya mengelak. Akhirnya saya beri amalan dan lelakon yang harus dijalaninya.

Sepulang dari rumah Ki Lintar, saya mendatangi teman-teman yang dulu satu profesi, sebagai pelukis dan fotografer. Mereka sebelumnya tidak percaya dengan apa yang saya miliki. Waktu itu, saya ingin mereka mempercayai ucapan saya.

Saya pergi ke rumahnya Nana yang biasa menjadi tempat mangkal teman-teman. Saya peragakan ilmu setrum di sana. Saya jabat tangan Nana, dan ia pun terperanjat. "Pon, Pon, apaan nih," katanya. Saya katakan itu adalah energi alam yang menyatu ke dalam tubuh saya. Nana tidak percaya. Dia memeriksa saku celana, baju dan tempat yang diperkirakan dipakai untuk menyimpan baterai. Waktu itu Nana sudah curiga bahwa energi listrik itu adalah bohongan. Itu pasti dari baterai yang saya sembunyikan. Tapi Nana gagal menemukannya.

Dari sini, ada di antara teman-teman yang tertarik dan ingin menguasai ilmu energi listrik yang belum. Ketertarikan mereka tidak kalah sengitnya dengan seorang dukun di Subang dan Ki Lintar.

Tahap perrtama adalah pengisihan tenaga dalam. Saya membuat tujuh kolom dan tiga lajur di kertas. Di lajur pertama saya tulis lafadz Allah, lajur kedua saya tulis lafadz ar-Rahman, dan lajur ketiga lafadz ar-Rahim. Masing-masing saya tulis di tujuh kolom. Saya tulis pakai tinta merah yang berbau minyak wangi.  Di atas tulisan itu saya beri garam lalu dibungkus yang rapi, lalu dimasukkan ke dalam bak mandi. Selain itu mereka juga menjalani ritual berendam di laut tiga bulan, pada malam terakhir, mereka dikubur dalam pasir sebatas leher.

Memasuki tahapan kedua, saya membuat diktat sebagai panduan belajar bagi mereka. Latihan tahap kedua ini mereka sudah diperbolehkan untuk berendam sendiri tanpa bimbingan saya. Sama seperti tahapan pertama, tahapan kedua juga diakhiri dengan dikubur dalam pasir. Untuk tahap ketiga, saya membekali mereka dengan latihan mempertajam intuisi batin. Sejujurnya semua tahapan itu hasil rekayasa saya sendiri. Sebagai hasil dari ilmu yang pernah saya pelajari serta membaca berbagai buku tenaga dalam.

Empat tahun setelah malang melintang di dunia perdukunan, saya melihat sinetron Astaghfirullah di sebuah stasiun TV. Sinetron yang mengangkat kisah nyata dari Majalah Ghaib itu berkisah tentang perjalanan seorang satpam yang mencari kesembuhan. Kisahnya tidak jauh berbeda dengan nasib saya.

Setelah dua kali melihat sinetron, saya yakin ini adalah solusi yang terbaik. Bukan pergi ke dukun seperti yang saya praktikkan selama ini. Saya menangis. Ternyata apa yang saya jalani selama ini sudah jauh menyimpang. Dalam hati kecil saya ada dorongan untuk bertaubat. Saya coba mencari Majalah Ghaib di toko buku. Ternyata ia berbeda dengan majalah mistis lainnya. Semenjak itu saya mulai berlangganan. Saya juga ingin mengikuti ruqah di kantor Majalah Ghaib di Jakarta.

Namun, sebelum ke Jakarta, saya ingin menulis kisah saya yang sesungguhnya. Saya ceritakan apa adanya, tentang praktik perdukunan yang saya bingkai dengan kebohongan. Saya ingin bertaubat yang sebenar-benarnya. Saya juga ingin mendapatkan penanganan yang serius. Pada hari yang telah dijadwalkan Majalah Ghaib, saya berangkat ke Jakarta. Berbekal tekad ingin membersihkan diri dari noda-noda kemusyrikan.

Meski untuk itu diperlukan perjuangan yang tidak ringan. Bisikan-bisikan ghoib melarang saya ke Jakarta. Selain itu saya takut bila nantinya orang-orang yang pernah berguru atau berobat akhirnya marah. Karena merasa dibohongi. Selain itu ada juga kekhawatiran dari sisi keakuan. Dari sisi kebanggaan. Bahwa kalau saya berhenti dari praktik perdukunan saya tidak punya lagi kebanggaan. Tapi alhamdulillah, saya berhasil menepis semuanya. Saya pasrahkan semuanya kepada Allah. Tidak ada kemuliaan bila melanggar syari'at-Nya.

Sepulang dari ruqyah di kantor Majalah Ghaib, saya datangi orang-orang yang pernah saya sesatkan. Baik pasien maupun murid saya. Saya katakan bahwa saya tidak mau berlama-lama lagi di dunia perdukunan. Saya bertaubat dan saya juga menjalani ruqyah. Saya sudah berhenti dari praktek-praktek seperti ini saya ingin bertaubat. Akhirnya mereka mengerti tetapi tetap meyakini bahwa apa yang sudah saya dapat adalah karunia dari Allah.

Saya katakan itu hanya tipuan, tapi mereka tetap tidak percaya. Waktu itu saya belum cerita mengenai sandal listrik tersebut, karena saya khawatir akan disalahgunakan. Saya takut bila ada yang meneruskan langkah yang telah saya tinggalkan. Semoga kisah ini menjadi pelajaran berharga bagi siapapun yang membacanya. Jangan mudah terkecoh oleh ulah dukun. Karena saya yakin di luar sana masih banyak orang yang berlindung di balik perdukunan. Saya hanya berharap orang-orang yang pernah saya sesatkan mau memaafkan saya. Saya tidak mungkin langsung bertemu dengan mereka. Anggaplah kisah ini sebagai bentuk pertaubatan saya. Sebagai bentuk permohonan maaf saya.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar