Jumat, 19 Februari 2021

Adab Bergaul

 g. Bermuka Manis

            Mata adalah pancaran jiwa. Wajah adalah cerminan hati. Rasa suka dan gembira dapat terbaca dari sana, sebagaimana perasaan sedih dan benci juga bisa terurai dari keduanya.

            Bermuka manis bukan berarti harus tampan, bukan pula harus cantik. Wajah tampan dan juga cantik bila selalu cemberut dan 'sengit' juka malah akan membuat orang yang melihatnya merasa bosan. Bermuka manis adalah bahasa tubuh yang bisa dibaca oleh orang sedang bergaul dengan kita, bahwasanya kita senang bergaul dengannya, kita menghormatinya, kita menghargainya, sehingga menjadikan orang tersebut merasa nyaman setiap kali berada di dekat kita.

            Muka manis tak ubahnya seperti jembatan cinta yang menghubungkan antara hati kita dengan saudara, teman maupun tetangga kita. Ketika muka yang manis itu selalu terkembang dari dua orang yang bersaudara, bersahabat, bertetangga di saat keduanya saling bertemu, maka seolah pertemuan itu bukan sekedar pertemuan fisik semata, melainkan juga pertemuan antara hati dengan hati. Jiwa dengan jiwa. Penuh kesan. Penuh makna. Penuh arti. Subhanallah, dan inilah bumbu pelezat utama dalam sebuah pergaulan, yang akan menjadikan hubungan kita lebih akrab dan lebih indah. Tanpanya pergaulan akan terasa hambar. Kaku. Membosankan.

            Sungguh, muka yang manis saat bertemu dengan saudara dan teman, dengan bingkai guratan-guratan senyuman ramah, ditambah dengan pancaran mata yang bersahabat yang indah, akan memberikan kedalaman makna bagi hati serta pengaruh yang luar biasa bagi jiwa. Bahkan kedalaman makna dan pengaruhnya itu lebih dahsyat dari sekedar kata yang teruntai atau bingkisan parsel yang kita beri.

            Ath-Thabrani meriwayatkan hadits marfu' dari Abu Hurairah ra.: "Sesungguhnya dua orang muslim yang bertemu, lantas saling berjabat tangan dan saling bertanya, maka Allah akan menurunkan kepada keduanya seratus rahmat, sembilan puluh sembilannya untuk orang yang paling berseri wajahnya, paling ceria mukanya, dan yang paling baik serta paling puji masalahnya (permintaannya) dari keduanya kepada saudaranya." (Kitab Gidzāul Albāb Fi Syarhi Mandlumatil Adab)

            Ada riwayat lain yang masih ada kaitannya dengan urgensi bermuka manis.

عَنْ أبِيْ أمَامَةَ الْبَاهِلِيِّ رَضِيَ الله عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: (أَناَ زَعِيْمٌ بِبَيْتٍ فِي رَبَضِ الْجَنَّةَ لِمَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ، وَإِنْ كَانَ مُحِقاً، وَبِبَيْتٍ فِيْ وَسَطِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْكَذِبَ، وَإِنْ كَانَ مَازِحاً، وَبِبَيْتٍ فِيْ أَعْلَى الْجَنَّةِ لِمَنْ حَسُنَ خُلُقُهُ) حَدِيْثٌ صَحِيْحٌ، رَوَاهُ أبُوْ دَاُوْدَ بِإِسْناَدٍ صَحِيْحٍ.

            Dari Abu Umamah al-Bahili radhiyallahu anhu berkata, Rasulullah Saw bersabda: "Aku menjamin sebuah rumah di pinggir surga bagi orang yang meninggalkan perselisihan meskipun ia benar, dan rumah di tengah surga bagi orang yang meningalkan dusta sekalipun dalam canda, serta rumah di tempat tertinggi di surga bagi orang yang baik akhlaknya." (Hadits Shahih, diriwayatkan oleh Abu Daud dengan sanad shahih)

            Menanggapi makna 'akhlak yang baik' (husnul khuluk) dalam hadits di atas, at-Tirmidzi meriwayatkan dari Abdullah bin Mubarok tentang tafsirnya, yaitu: "Berwajah manis, berbuat kebaikan dan meninggalkan hal-hal yang menyakiti (orang lain)" (Kitab Riyādhus Shālihin, oleh Imam an-Nawai)

            Bermuka manis dan ceria, kesannya begitu sederhana sekali. Bahkan setiap kita pun bisa melakukannya, tanpa perlu harus bermake-up ria atau mengobral kata sampai mulut berbusa. Cukup dengan wajah yang manis, bersahabat dan ramah ketika bertemu dengan saudara, teman atau tetangga. Hal itu sudah cukup untuk mengungkapkan, "Saya bahagia bertemu Anda. Saya senang bersama Anda. Saya menghormati Anda. Saya menghargai Anda. Saya mau mendengar Anda", serta ungkapan-ungkapan lainnya yang semakna. Itu semua terangkum dalam sebuah sikap, 'bermuka manis'.

            Bermuka manis dan ceria, kesannya begitu sepele sekali. Tapi ternyata memiliki pengaruh yang luar biasa bagi psikologi orang lain maupun diri kita. Lantaran itu adalah sapaan cinta. Sapaan hati. Sapaan jiwa, yang mulut terlalu dhoif untuk membahasakannya. Dari sinilah kita baru bisa merasakan keagungan pesan dari Rasulullah Saw kepada ummatnya berikut ini.

عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ, قَالَ لِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: (لَا تَحْقِرَنَّ مِنْ الْمَعْرُوفِ شَيْئًا وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلْقٍ) رواه البخاري

            Dari Abu Dzar ra. berkata, Rasulullah Saw berkata kepadaku: "Janganlah sekali-kali kamu menyepelekan satupun perbuatan yang ma'ruf (baik), meskipun itu hanyalah kamu bertemu saudaramu dengan wajah yang manis." (HR. Bukhari)


            Luar biasa, sekalipun sederhana. Tapi sekalipun sederhana, kenapa sebagian dari kita hari ini masih sulit untuk melakukannya. 'Hanya' bermuka manis saat bertemu teman atau saudara. Itu saja. Terkadang ada perasaan enggan, atau mungkin marah, atau tak enak yang menghalanginya. Sehingga yang keluar bukan raut muka yang manis, melainkan sinis. Bukan wajah yang ramah, tapi muka yang marah. Bukan rona yang berseri, namun benci. Bukan pula raut wajah yang adem dan damai, melainkan cuek dan tak mau peduli. Kalau sudah begitu adanya, maka jangan salahkan orang lain jika saudara, teman, tetangga serta orang-orang pada menjauh dari kita. Mungkin karena kita saja yang kurang pandai menyapa jiwa mereka dengan senyuman yang tulus dari lubuk hati.

            Apapun profesi yang kita geluti, maka sikap tersebut perlu kita amalkan dalam diri kita. Seorang da'i yang selalu cemberut akan ditinggalkan oleh para jama'ahnya. Seorang pemimpin yang terus-terusan bersikap masam tidak dihormati oleh timnya. Orang tua yang setiap saat selalu cemberut juga akan berdampak tidak baik bagi anaknya, bisa-bisa sikap tersebut akan terwariskan kepada anaknya, karena mereka terbiasa melihat orang tuanya seperti itu.

            Akhirnya, kita tidak bisa menyepelekan sikap yang sederhana ini. Bermuka manis. Ada banyak hal besar yang terlahir darinya. Di tengah hingar-bingar kota besar, dimana setiap orang disibukkan oleh urusannya sendiri-sendiri, sehingga terkadang yang hadir adalah sikap egois. Inginnya dihormati, baru mau menghormati. Inginnya disapa, baru mau menyapa. Bahkan ada juga yang sudah disapa dengan senyuman tulus tapi tidak mau membalas sapaan itu. Hal seperti ini seringkali terjadi. Tapi itulah yang namanya manusia. Semua tak sama. Semua berbeda. Tugas kita bukanlah menilai setiap orang, ini baik dan itu buruk. Bukan. Tapi tugas kita hanyalah berbuat baik semampu kita, semaksimal mungkin, termasuk juga bermuka manis. Bila orang tidak menghargai perbuatan baik kita, bukan berarti amal baik kita sia-sia, tidak mendapat pahala. Standar pahala bukan menurut kaca mata manusia, tapi menurut pandangan Allah Yang Maha Kuasa.

            "Setiap perbuatan baik itu adalah sedekah. Dan termasuk perbuatan baik adalah engkau menemui saudaramu dengan wajah yang manis, dan engkau mengisi tempat airnya dengan timbamu." (HR. Hakim, dalam kitab al-Mustadrok)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar