Rabu, 02 September 2020

Disihir Saudara Sendiri, Dua Bulan Tidak Bisa Tidur

 

Sulastri (Penderita Insomnia):

Harta warisan, terkadang menjadi biang keladi perselisihan antar saudara. Dalam situasi seperti ini tidak jarang dukun pun bertindak. Ironis memang, harta yang dikumpulkan orangtua dengan susah payah akhirnya menjadi awal bencana bagi anak-anaknya. Itulah sepenggal kisah Sulastri yang tidak bisa tidur dua bulan lamanya karena santet. Dengan mata yang sedikit berkaca-kaca, ibu beranak satu itu menuturkan kisahnya kepada Majalah Ghoib di Bogor. Berikut petikan kisahnya.

 

Awalnya saya tidak tahu bahwa penyakit yang saya derita selama ini disebabkan oleh sihir. Karena gejalanya itu seperti sakit medis biasa. Saya hanya merasakan demam yang cukup tinggi dan tenggorokan terasa gatal. Hal ini mulai saya alami pada pertengahan minggu kedua bulan Februari tahun 2004. Untuk itu saya berobat ke dokter di Bogor. Setelah menjalani  terapi, dokter bilang saya mengidap radang tenggorokan. Dan saya diberi resep obat yang harus dibeli di apotik. Namun, setelah obatnya habis, demam yang saya rasakan itu belum juga menurun. Yang lebih memperparah keadaan adalah saya juga selalu was-was.

Memang setahun yang lalu saya pernah menderita sakit demam berdarah, sementara berita di koran-koran mengatakan bahwa radang tenggorokan ada hubungannya dengan demam berdarah. Dari sinilah rasa takut itu semakin mencekam, “Aduh… saya sakit demam berdarah kali?.” Akibatnya saya tidak bisa tidur. Untuk itu saya mengikuti tes darah. Namun hasilnya negatif, saya dinyatakan tidak mengidap demam berdarah, tipes maupun lever. Diagnosa dokter tetap tidak berubah, saya dinyatakan sakit radang tenggorokan.

Entahlah, hari-hari berikutnya tidak ada perubahan. Karena itu dengan berbekal hasil tes laboratorium di Bogor, saya berangkat ke Jakarta bersama anak saya yang masih kelas 6 SD. Saya ingin mengetahui penyakit apa yang sebenarnya saya alami, untuk itu saya berobat ke RS Pertamina. Di sini saya mendesak dokter untuk mengulangi tes darah. Namun, hasilnya tetap nihil, sampai ada dokter yang mengatakan, “Coba ibu diperiksa malaria.” Saran dokter ini saya coba ikuti. Namun ketika bertemu dengan dokter yang lain dia melarang. “Tidak usah periksa ini. Karena ini cuma radang tenggorokan biasa.”

Saya mencoba bertahan di Jakarta, namun akhirnya saya harus mengambil keputusan untuk kembali ke Bogor dengan tidak membawa hasil yang cukup berarti. Hal ini tidak lain karena anak saya sudah seminggu lebih tidak masuk sekolah. Saya tidak ingin sekolahnya terganggu. Saat itu saya masih belum berpikir bahwa apa yang saya alami ini ada hubungannya dengan gangguan jin. Maka sesampai di Bogor saya tetap berobat secara medis.

Meski berbagai jenis antibiotik sudah saya coba dan dengan dosis yang semakin lama semakin tinggi, tapi tetap saja tidak ada perubahan. Siang maupun malam saya masih tetap tidak bisa memejamkan mata. Dalam keadaan demikian saya merasa seperti seorang diri. Suami yang biasanya memberi ketenangan itu sudah tiga tahun berada di negeri seberang. Sedih dan kesepian bercampur aduk menjadi satu. Apalagi bila teringat dalam sehari saya bisa mengeluarkan uang enampuluhan ribu untuk menebus obat. Padahal setelah obatnya habis dada saya langsung deg-degan, “Aduh, obatnya sudah habis.” Selanjutnya saya harus menebus kembali resep yang baru.

Sekian banyak obat-obatan itu tetap saja tidak mengurangi derita yang saya alami. Bahkan boleh dibilang semakin lama semakin berat. “Saya akan masuk rumah sakit. Saya akan masuk rumah sakit” kekhawatiran itulah yang pada akhirnya memaksa saya untuk bolak-balik berobat ke Jakarta hingga empat kali. Sudah berjuta-juta uang keluar tapi anehnya penyakit saya tetap tidak ditemukan.

 

Jin membuat mata saya sulit terpejam

Setelah tiga minggu tidak bisa tidur, saya mulai merasakan keanehan yang sedikit membuka ruang pertanyaan dalam hati. Mulai saat itu dada saya berdebar-debar bila berada di ruangan tertutup, nafas saya secara tiba-tiba menjadi sesak tanpa sebab yang jelas. Ketakutan-ketakutan itu memaksa saya untuk meminta bantuan kerabat dekat agar menginap di rumah. Di samping itu saya berharap ada yang membantu mengurus keperluan anak saya.

Dalam keheningan malam-malam itu, saudara sepupu saya sudah terlelap dalam mimpinya. Sementara saya tetap dalam kegalauan. Saya bolak-balikkan badan ke kiri dan kanan, tapi tetap saja mata tidak mau terpejam. Hingga tanpa terasa air mata mengalir perlahan di pipi. “Apa saya masih sempat mengurusi anak saya?” Kegetiran itu semakin menyesakkan dada, hingga sempat terbawa dalam mimpi. Dalam tidur sekitar lima menit, saya seakan dibawa ke kuburan. Dan di sana, di dalam lubang kuburan itu saya melihat badan saya sudah terbungkus kain kafan dan siap untuk dimakamkan. Saya tersentak hingga akhirnya terbangun.

Sedih rasanya hati ini. Bukan karena saya takut mati. Saya sadar bahwa semua orang pasti akan mati. Tapi kesedihan itu lebih dipacu oleh perasaan seorang ibu yang ingin membimbing dan mendampingi anaknya hingga ia mandiri. Kesedihan saya semakin bertambah, ketika teman-teman yang selama ini dekat dengan saya ternyata masih belum memahami apa yang saya rasakan. Ya, ketika saya bilang, “Kenapa ya, kok saya selalu ketakutan. Saya takut mati. Saya takut sendiri.” Tanggapan mereka bukannya memberikan solusi tapi terkesan menyalahkan saya, “Kok kamu jadi orang tidak ikhlas menerima sakit.” Mendengar komentar demikian saya semakin sedih. Dalam hati saya berpikir kok orang tidak tahu perasaan saya.

Barangkali karena mereka tidak merasakan bagaimana rasanya tidak tidur berminggu-minggu disertai dengan demam dan tenggorokan yang sakitnya bukan main. Bisa dibilang badan dan mental saya benar-benar diuji habis-habisan hingga saya sempat putus asa. “Aduh…. Apa saya harus menyerah saja.”

Memasuki minggu keempat, saya mulai sadar bahwa penderitaan saya selama ini tidak terlepas dari gangguan jin terlaknat. Kesadaran itu muncul ketika saya melihat Al-Qur'an dari jarak seratus meter, jantung saya langsung berdebar-debar. Saya masih tidak peduli. Tangan saya segera meraih Al-Qur'an yang tergeletak di meja. Tapi reaksi berikutnya jantung saya berdegup semakin kencang. Entahlah, mengapa bisa demikian saya tidak tahu. Yang bisa saya lakukan hanyalah meletakkan kembali Al-Qur'an. Dan saya lari ke luar kamar dengan muka pucat. Saya berpikir ini pasti ada yang tidak beres dalam diri saya.

 

Gangguan yang semakin menghebat semenjak diruqyah

Peristiwa inilah yang mengantarkan saya untuk mengikuti ruqyah di PPIB pada hari Senin tanggal 15 Maret 2004. Waktu itu fisik saya sudah lemah, muka pucat dan dengan sorot mata yang redup. Begitu memasuki ruang ruqyah, saya langsung terduduk lemas di lantai. Sementara orang-orang yang melihat saya berteriak, “Ustadz-ustadz, ini sudah parah.” Ketika ustadz Febri mendekati saya, dia sempat terkejut, “Kok, sekarang mukanya sudah pucat sekali.” Ustadz Febri berkata demikian karena seminggu sebelumnya kita sempat bertemu dan kondisi saya masih cukup bagus. “Saya sudah tiga puluh hari tidak tidur-tidur. Hanya satu menit dua menit, paling lama lima menit.” Jawab saya lirih.

Ketika diruqyah, kaki dan tangan saya bergerak-gerak sendiri. Saya panik, kenapa bisa demikian. Terus saya duduk lalu disuruh tiduran lagi. Pada saat ustadz Febri menarik leher saya, saya merasakan ada benda yang tajam dan lancip dengan ukuran yang cukup panjang seakan ikut tertarik juga. Saat itu saya pikir penyakit saya sudah bisa disembuhkan.

Ruqyah hari itu dilanjutkan kembali di rumah saya, karena ustadz Febri beranggapan bahwa media sihirnya ada di rumah saya. dan dari sinilah saya merasa kehidupan saya berubah seratus delapan puluh derajat. Karena sejak itu saya mulai bersinggungan langsung dengan dunia jin.

Ya, setelah ustadz Febri membaca ruqyah di air yang kemudian diciprat-cipratkan ke seluruh penjuru rumah terjadilah peristiwa yang tidak terbayangkan sebelumnya. Beberapa orang yang ikut membantu langsung merasakan kedinginan. Padahal sebelumnya biasa-biasa saja.

Malam harinya, kebetulan saudara sepupu tidak ada yang datang sehingga saya hanya tidur berdua dengan anak saya. Saya perhatikan tidurnya tidak tenang, hingga membolak-balikkan badan, sementara di ruang tamu terdengar derit suara kursi ditarik paksa. Deritan suara itu awalnya membuat kecut nyali saya, tapi ketika suara itu tidak juga berhenti akhirnya saya beranikan diri untuk keluar. Dengan langkah agak tertatih-tatih saya membuka pintu dan melongok ke ruang tamu. Dan …. Ternyata tidak terjadi apa-apa. Semua kursi masih tetap dalam posisi semula dan tidak bergeser sama sekali. Aneh, memang. Lalu saya kembali ke kamar dalam keadaan gelisah dan perasaan tidak enak. Dada saya terus berdebar-debar dan sesak nafas sampai akhirnya saya berpikir, “Jangan-jangan saya mau pingsan.”

Saya tidak mau menyerah. Dengan langkah berat saya segera berwudhu dan shalat untuk mengurangi beban yang kian menghimpit. “Ya Allah sembuhkanlah penyakit saya. Ya Allah, tolong saya. Saya ingin menjadi ibu yang baik, menjadi istri yang baik bisa menjadi hamba-Mu yang baik.” Saya berdoa dengan suara agak tersendat disela-sela isak tangis. Terus terang waktu itu saya masih belum mau cerita kepada ayah saya, karena beliau orangnya suka sakit-sakitan sementara ibu kandung saya sudah meninggal. Hanya keberadaan anak saya yang membuat saya tegar.

Kesedihan saya mencapai puncaknya ketika saya menelpon suami yang sedang kerja di luar negeri, dia ternyata sedang sibuk dan tidak bisa diganggu. Saya benar-benar merasa sendirian. Sampai akhirnya saya mengeluh kepada ustadz Febri. ”Ibu kan tidak sendirian. Masih ada teman-teman yang lain. Kita ini kan saudara.” Terus terang kata yang terdengar tulus itu sangat menyentuh hati dan membangkitkan semangat. Semenjak itu secara bergantian teman-teman menginap di rumah.

 

Hawa dingin menusuk tulang terus menyerang

Sejak ruqyah di rumah terjadilah suatu keanehan. Rumah saya menjadi tidak nyaman lagi. Kamar tidur saya sekarang rasanya dingin, hingga badan saya pun menggigil. Untuk mengurangi rasa dingin itu saya pakai jaket. Tetesan keringat segera keluar dari pori-pori membasahi jaket. Saya ganti dengan pakaian yang lain, tapi hasilnya sama, rasa dingin itu terus menyerang sampai baju itu menumpuk dan tidak sempat tercuci.

 Empat hari setelah ruqyah yang pertama, saya mengalami kedinginan yang tiada terkira. Gigi saya sampai terdengar menggeretak menahan hawa dingin. Waktu itu jam 8 malam, lalu saya berlari ke rumah tetangga. “Ibu …ibu tolong pelukin saya. Ibu baca surat-surat pendek deh. Tolong bantu saya,” kata saya kepada tetangga yang saat itu sedang asyik nonton TV dengan suami dan anaknya. Mereka nampak tercengang mendengar permintaan saya. “Sakit apaan kayak gini” ujarnya, namun tak urung dia pun segera memeluk saya erat-erat sambil terus membaca surat al-Ikhlas, al-Falaq dan an-Naas. Sungguh melelahkan, dia memeluk saya selama dua jam.

Ini adalah awal dari hawa dingin yang sulit saya tahan. Karena hari-hari berikutnya hawa dingin itu kembali menyerang. Bila demikian maka saya segera mengambil pakaian dan mengajak anak saya untuk mengungsi ke rumah tetangga. Sesampainya di rumah tetangga anak saya langsung asyik dengan dunianya, dia langsung nonton TV.

Saya lari ke rumah tetangga karena saya berpikir bahwa orang perang saja memakai taktik. Kalau saya sampai kedinginan sampai pagi, maka fisik saya akan hancur. Selain itu kalau di rumah tetangga saya bisa makan dan tidur walau hanya 1-2 jam, tapi itu sudah cukup. Sedangkan di rumah saya tidak pernah mau makan. Akibatnya berat badan saya turun 15 kg.

Keesokan harinya saya baru cerita ke ustadz Febri. “Ini tanda-tanda ibu terkena sihir. Berarti sihir itu ada di rumah.” Kata ustadz Febri. Tak lama kemudian ustadz Febri datang bersama teman-teman saya. Ruqyah kali ini saya juga dimandikan dengan daun bidara. Aneh, badan saya langsung menggigil kedinginan. Dan setelah mandi daun bidara, tangan saya langsung berputar-putar seperti terserang tremor, orang yang terserang sarafnya. Saya sampai teriak, “Kenapa tangan dan kaki saya bergerak-gerak sendiri.” Semakin lama mendengar kaset ruqyah, putaran tangan semakin kuat. Mulut saya juga mulai bergerak-gerak. Melihat itu ustadz Febri bilang , “Coba ibu bentak, ‘diam’”. Saya ikuti saran itu, “Diam kamu.” putaran tangan saya agak diam memang. Sejak itu saya sudah mulai berani dengarkan kaset meski tidak ada orang. Karena saya diajari bagaimana menanganinya.

Saya pernah ketiduran sekali di ruang tamu sewaktu menunggu anak saya pulang dari sekolah. Saat rebahan itu saya membaca doa. Tak lama kemudian saya terlelap. Namun, baru beberapa menit ada yang mengusik tidur saya, “Oh, dia bisa tidur rupanya,” suara itu menyerupai suara perempuan. Saya bergegas keluar membuka jendela, tapi tidak ada siapa-siapa. “Siapa tadi yang ngomong?” saya mencoba mencari tahu, tapi tidak ada yang menyahut. Akhirnya saya lanjutkan tidur lagi, tiba-tiba saya merasa seperti ada dua ular di belakang punggung saya. “Astaghfirullahal adhim. Tolong saya” dengan suara sedikit terpekik saya meraih bayangan dua ular itu dan kemudian saya lempar begitu saja. Saya terkesima karena bayangan ular itu hilang dengan sendirinya. Saya sempat menangis mengalami hal yang cukup mengerikan itu. Karena saya seperti orang gila. Bahkan saya pernah bertakbir dengan keras ketika di kamar.

 

Dukun bertindak untuk menguasai harta warisan

Beberapa hari kemudian saya diruqyah lagi. Saat itulah terjadi dialog dengan jin yang merasuk ke tubuh saya. “Kamu kenapa sampai di sini”. “Saya Cuma disuruh” “Disuruh apa” “Disuruh nyakitin ibu ini” “Supaya apa” “Supaya tidak menjadi penghalang orang yang menyuruh saya menguasai warisan orangtuanya.” Dengan panjang lebar jin itu cerita tentang masalah keluarga yang pada intinya tidak jauh dari masalah warisan. Jin itu mengatakan bahwa dia disuruh oleh seorang laki-laki dan perempuan untuk menyakiti saya. Karena semua keluarga yang lain sudah bisa dikuasai tinggal saya sendiri yang masih belum dikuasainya. Dan saya bisa menjadi penghalang rencana mereka.

Meski saya tidak boleh mempercayai perkataan jin, tapi tidak urung dialog itu mengingatkan saya akan perselisihan yang terjadi setahun lalu. Terlebih ruqyah berikutnya semakin menunjukkan keterlibatan adik ipar, karena jin yang merasuk ke tubuh saya mengatakan, “Tolong sampaikan pesan saya. Dia itu harus minta maaf sama adik iparnya. Kalau tidak dia akan mengirim pasukannya terus-menerus.”

Awalnya saya tidak mau, karena saya merasa tidak bersalah, sampai ustadz Febri mengatakan, “Kalau begitu ibu orang yang sombong. Bila sombong, maka pintu syetan akan terbuka lagi.” Saya tetap dalam pendirian saya dan tidak mau minta maaf. “Ibu mintalah maaf karena Allah, bukan karena dia. Ibu mau sakit seperti ini?” ustadz Febri mencoba meluruhkan kekerasan hati saya.

Akhirnya saya luluh juga. “Allah saja suka memaafkan hamba-Nya. Mengapa saya tidak?”  pikir saya. Pas ketika saya telpon kebetulan adik ipar sendiri yang mengangkatnya. Seperti layaknya saudara yang lama tidak bertemu kita saling menanyakan kabar keluarga masing-masing. Hingga tiba-tiba adik ipar bertanya, “Katanya sakit ya?” “Cuma terlalu capek saja,” jawab saya dengan menyisakan tanda tanya darimana dia tahu kalau saya sakit. Sebelum mengakhiri pembicaraan lewat telpon itu saya meminta maaf, “Oh ya, maafkan saya lahir batin ya.” Mendengar permintaan maaf saya itu, dia nangis. Saya tahu dari nada suaranya. “Oh ya sama-sama mbak,” jawabnya agak tersedu-sedu.

Setelah meminta maaf via telpon itu, ketika saya membuka jendela saat mau berwudhu untuk shalat tahajud, saya melihat segerombolan orang dan hewan menyeramkan di jalan depan rumah. Mereka melambai-lambaikan tangannya seakan ingin memberikan salam perpisahan. Entahlah, siapa mereka. Yang ada dalam benak saya barangkali itu adalah jin-jin yang telah dikeluarkan dari badan saya setelah seharian diruqyah. Setelah peristiwa malam itu badan saya memang sudah agak mendingan.

Bila saya emosi, maka badan saya terasa sakit kembali. Seperti yang terjadi saat anak saya rewel karena burung pembelian suami saya sebelum berangkat ke luar negeri, saya berikan kepada seorang sopir tetangga. Saya memberikan burung itu, karena memang sudah berminggu-minggu burung itu kurang perawatan. Anak saya marah, “Mama harusnya jangan kasihin. Itukan punya saya.” dia terus saja merengek. Saya ganti dengan yang lain tapi dia tetap tidak mau dan emosi saya pun tidak tertahan lagi. Akibatnya badan saya panas seperti ditaburi cabe.

Tanggal 5 April, gangguan jin itu mulai berkurang. Barangkali ini terkait dengan ditemukannya sebuah jarum pentul di bawah kasur tempat tidur. Jarum pentul  itu terkesan aneh dan berwarna doff. Lebih mengherankan lagi ketika jarum itu saya rendam di lepek berisi air yang telah dibacakan al-ma’tsurat. Tiba-tiba air rendaman itu habis. Air itu seakan menguap dan tidak berbekas. Akhirnya jarum itu saya masukkan di amplop dan dibakar di sekitar pohon mangga. Setelah pembakaran jarum pentul itu kepala saya sakitnya bukan main, saya seperti dipukul dengan palu. Akhirnya saya memanggil saudara sepupu. 

Dalam keadaan seperti itu saya hanya meminta mereka mengatakan, “Yang sabar mbak. Yang kuat mbak.” Saya ingin mereka memotivasi agar saya mampu menghadapi cobaan ini. Memang, awalnya saya tidak tahu kiat-kiat melawan jin. Tapi lama-lama saya berpikir,  “Kemarin saya bisa kok melawan itu”. Akhirnya ketika rasa sakit itu datang lagi, saya bacakan ayat Kursi atau ayat-ayat lain sambil terus saya pukul tempat yang sakit. Bahkan saya pernah terus memukul-mukul bahu saya yang kesakitan hingga dua jam.

Baru akhir-akhir ini ketika keadaan saya sudah semakin membaik, akhirnya saya ceritakan apa adanya kepada bapak. Meski bapak sempat kaget juga, tapi akhirnya bapak sering memotivasi saya untuk sabar menghadapinya. Demikian pula halnya dengan ibu mertua saya juga sudah tahu apa yang terjadi. Ibu mertua sadar bahwa penyakit yang saya derita ini bukan sakit medis. Sehingga ibu pernah menawarkan saya untuk diobati di Medan. Katanya di sana ada seorang paranormal yang terkenal. Tapi dengan halus, tawaran itu saya tolak. Saya lebih memilih terapi ruqyah seperti yang telah saya jalani. Terlebih hasil dari terapi ini bisa saya rasakan. Sekarang bisa dikatakan saya sudah sembuh 75 %, meski terkadang gangguan itu sesekali datang. Badan saya juga sudah naik 5 kg.

Saya juga tidak pernah membicarakan masalah ini terlalu jauh dengan ibu mertua. Bagaimanapun juga yang mengirim ini adalah salah satu anaknya dan saya tidak mau menyakiti hati ibu mertua, yang sangat perhatian kepada saya dan cucunya.

Kegembiraan saya semakin lengkap tatkala anak semata wayang saya bisa memahami apa yang terjadi. Bahkan dia kadang berkelakar, “Ustadz bakar saja jinnya.”  Terkadang saya tanya, “Takut nggak sama mama berdua?” “Ah,kalau ada jinnya saya lawan saja,” katanya dengan mimik serius.

Sepenggal kisah ini semoga menjadi renungan bagi setiap orang yang karena suatu alasan tertentu ingin menguasai harta orang lain. Ingatlah bahwa harta orangtua yang dikumpulkan dengan susah payah itu menjadi amanah bagi anak-anaknya. Dan tidak semestinya dijadikan ajang rebutan, terlebih bila sampai meminta bantuan jin.

 

 

 

 

 

 

 

 

                                                  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar