Sulastri (Penderita Insomnia):
Harta warisan, terkadang menjadi biang keladi
perselisihan antar saudara. Dalam situasi seperti ini tidak jarang dukun pun
bertindak. Ironis memang, harta yang dikumpulkan orangtua dengan susah payah
akhirnya menjadi awal bencana bagi anak-anaknya. Itulah sepenggal kisah
Sulastri yang tidak bisa tidur dua bulan lamanya karena santet. Dengan mata
yang sedikit berkaca-kaca, ibu beranak satu itu menuturkan kisahnya kepada Majalah
Ghoib di Bogor. Berikut petikan kisahnya.
Awalnya saya tidak tahu bahwa penyakit yang saya derita
selama ini disebabkan oleh sihir. Karena gejalanya itu seperti sakit medis
biasa. Saya hanya merasakan demam yang cukup tinggi dan tenggorokan terasa
gatal. Hal ini mulai saya alami pada pertengahan minggu kedua bulan Februari
tahun 2004. Untuk itu saya berobat ke dokter di Bogor. Setelah menjalani terapi, dokter bilang saya mengidap radang
tenggorokan. Dan saya diberi resep obat yang harus dibeli di apotik. Namun,
setelah obatnya habis, demam yang saya rasakan itu belum juga menurun. Yang
lebih memperparah keadaan adalah saya juga selalu was-was.
Memang setahun yang lalu saya pernah menderita sakit
demam berdarah, sementara berita di koran-koran mengatakan bahwa radang
tenggorokan ada hubungannya dengan demam berdarah. Dari sinilah rasa takut itu
semakin mencekam, “Aduh… saya sakit demam berdarah kali?.” Akibatnya saya tidak
bisa tidur. Untuk itu saya mengikuti tes darah. Namun hasilnya negatif, saya
dinyatakan tidak mengidap demam berdarah, tipes maupun lever. Diagnosa dokter
tetap tidak berubah, saya dinyatakan sakit radang tenggorokan.
Entahlah, hari-hari berikutnya tidak ada perubahan.
Karena itu dengan berbekal hasil tes laboratorium di Bogor, saya berangkat ke
Jakarta bersama anak saya yang masih kelas 6 SD. Saya ingin mengetahui penyakit
apa yang sebenarnya saya alami, untuk itu saya berobat ke RS Pertamina. Di sini
saya mendesak dokter untuk mengulangi tes darah. Namun, hasilnya tetap nihil,
sampai ada dokter yang mengatakan, “Coba ibu diperiksa malaria.” Saran dokter
ini saya coba ikuti. Namun ketika bertemu dengan dokter yang lain dia melarang.
“Tidak usah periksa ini. Karena ini cuma radang tenggorokan biasa.”
Saya mencoba bertahan di Jakarta, namun akhirnya saya
harus mengambil keputusan untuk kembali ke Bogor dengan tidak membawa hasil
yang cukup berarti. Hal ini tidak lain karena anak saya sudah seminggu lebih
tidak masuk sekolah. Saya tidak ingin sekolahnya terganggu. Saat itu saya masih
belum berpikir bahwa apa yang saya alami ini ada hubungannya dengan gangguan
jin. Maka sesampai di Bogor saya tetap berobat secara medis.
Meski berbagai jenis antibiotik sudah saya coba dan
dengan dosis yang semakin lama semakin tinggi, tapi tetap saja tidak ada
perubahan. Siang maupun malam saya masih tetap tidak bisa memejamkan mata.
Dalam keadaan demikian saya merasa seperti seorang diri. Suami yang biasanya
memberi ketenangan itu sudah tiga tahun berada di negeri seberang. Sedih dan
kesepian bercampur aduk menjadi satu. Apalagi bila teringat dalam sehari saya
bisa mengeluarkan uang enampuluhan ribu untuk menebus obat. Padahal setelah
obatnya habis dada saya langsung deg-degan, “Aduh, obatnya sudah habis.”
Selanjutnya saya harus menebus kembali resep yang baru.
Sekian banyak obat-obatan itu tetap saja tidak mengurangi
derita yang saya alami. Bahkan boleh dibilang semakin lama semakin berat. “Saya
akan masuk rumah sakit. Saya akan masuk rumah sakit” kekhawatiran itulah yang
pada akhirnya memaksa saya untuk bolak-balik berobat ke Jakarta hingga empat
kali. Sudah berjuta-juta uang keluar tapi anehnya penyakit saya tetap tidak
ditemukan.
Jin membuat mata saya sulit terpejam
Setelah tiga minggu tidak bisa tidur, saya mulai
merasakan keanehan yang sedikit membuka ruang pertanyaan dalam hati. Mulai saat
itu dada saya berdebar-debar bila berada di ruangan tertutup, nafas saya secara
tiba-tiba menjadi sesak tanpa sebab yang jelas. Ketakutan-ketakutan itu memaksa
saya untuk meminta bantuan kerabat dekat agar menginap di rumah. Di samping itu
saya berharap ada yang membantu mengurus keperluan anak saya.
Dalam keheningan malam-malam itu, saudara sepupu saya
sudah terlelap dalam mimpinya. Sementara saya tetap dalam kegalauan. Saya
bolak-balikkan badan ke kiri dan kanan, tapi tetap saja mata tidak mau
terpejam. Hingga tanpa terasa air mata mengalir perlahan di pipi. “Apa saya
masih sempat mengurusi anak saya?” Kegetiran itu semakin menyesakkan dada,
hingga sempat terbawa dalam mimpi. Dalam tidur sekitar lima menit, saya seakan
dibawa ke kuburan. Dan di sana, di dalam lubang kuburan itu saya melihat badan
saya sudah terbungkus kain kafan dan siap untuk dimakamkan. Saya tersentak
hingga akhirnya terbangun.
Sedih rasanya hati ini. Bukan karena saya takut mati.
Saya sadar bahwa semua orang pasti akan mati. Tapi kesedihan itu lebih dipacu
oleh perasaan seorang ibu yang ingin membimbing dan mendampingi anaknya hingga
ia mandiri. Kesedihan saya semakin bertambah, ketika teman-teman yang selama
ini dekat dengan saya ternyata masih belum memahami apa yang saya rasakan. Ya,
ketika saya bilang, “Kenapa ya, kok saya selalu ketakutan. Saya takut mati.
Saya takut sendiri.” Tanggapan mereka bukannya memberikan solusi tapi terkesan
menyalahkan saya, “Kok kamu jadi orang tidak ikhlas menerima sakit.” Mendengar
komentar demikian saya semakin sedih. Dalam hati saya berpikir kok orang tidak
tahu perasaan saya.
Barangkali karena mereka tidak merasakan bagaimana
rasanya tidak tidur berminggu-minggu disertai dengan demam dan tenggorokan yang
sakitnya bukan main. Bisa dibilang badan dan mental saya benar-benar diuji
habis-habisan hingga saya sempat putus asa. “Aduh…. Apa saya harus menyerah
saja.”
Memasuki minggu keempat, saya mulai sadar bahwa
penderitaan saya selama ini tidak terlepas dari gangguan jin terlaknat.
Kesadaran itu muncul ketika saya melihat Al-Qur'an dari jarak seratus meter,
jantung saya langsung berdebar-debar. Saya masih tidak peduli. Tangan saya
segera meraih Al-Qur'an yang tergeletak di meja. Tapi reaksi berikutnya jantung
saya berdegup semakin kencang. Entahlah, mengapa bisa demikian saya tidak tahu.
Yang bisa saya lakukan hanyalah meletakkan kembali Al-Qur'an. Dan saya lari ke
luar kamar dengan muka pucat. Saya berpikir ini pasti ada yang tidak beres
dalam diri saya.
Gangguan yang semakin menghebat semenjak diruqyah
Peristiwa inilah yang mengantarkan saya untuk mengikuti
ruqyah di PPIB pada hari Senin tanggal 15 Maret 2004. Waktu itu fisik saya
sudah lemah, muka pucat dan dengan sorot mata yang redup. Begitu memasuki ruang
ruqyah, saya langsung terduduk lemas di lantai. Sementara orang-orang yang
melihat saya berteriak, “Ustadz-ustadz, ini sudah parah.” Ketika ustadz Febri
mendekati saya, dia sempat terkejut, “Kok, sekarang mukanya sudah pucat
sekali.” Ustadz Febri berkata demikian karena seminggu sebelumnya kita sempat
bertemu dan kondisi saya masih cukup bagus. “Saya sudah tiga puluh hari tidak
tidur-tidur. Hanya satu menit dua menit, paling lama lima menit.” Jawab saya
lirih.
Ketika diruqyah, kaki dan tangan saya bergerak-gerak
sendiri. Saya panik, kenapa bisa demikian. Terus saya duduk lalu disuruh
tiduran lagi. Pada saat ustadz Febri menarik leher saya, saya merasakan ada
benda yang tajam dan lancip dengan ukuran yang cukup panjang seakan ikut
tertarik juga. Saat itu saya pikir penyakit saya sudah bisa disembuhkan.
Ruqyah hari itu dilanjutkan kembali di rumah saya, karena
ustadz Febri beranggapan bahwa media sihirnya ada di rumah saya. dan dari
sinilah saya merasa kehidupan saya berubah seratus delapan puluh derajat.
Karena sejak itu saya mulai bersinggungan langsung dengan dunia jin.
Ya, setelah ustadz Febri membaca ruqyah di air yang
kemudian diciprat-cipratkan ke seluruh penjuru rumah terjadilah peristiwa yang
tidak terbayangkan sebelumnya. Beberapa orang yang ikut membantu langsung
merasakan kedinginan. Padahal sebelumnya biasa-biasa saja.
Malam harinya, kebetulan saudara sepupu tidak ada yang
datang sehingga saya hanya tidur berdua dengan anak saya. Saya perhatikan
tidurnya tidak tenang, hingga membolak-balikkan badan, sementara di ruang tamu
terdengar derit suara kursi ditarik paksa. Deritan suara itu awalnya membuat
kecut nyali saya, tapi ketika suara itu tidak juga berhenti akhirnya saya
beranikan diri untuk keluar. Dengan langkah agak tertatih-tatih saya membuka
pintu dan melongok ke ruang tamu. Dan …. Ternyata tidak terjadi apa-apa. Semua
kursi masih tetap dalam posisi semula dan tidak bergeser sama sekali. Aneh,
memang. Lalu saya kembali ke kamar dalam keadaan gelisah dan perasaan tidak
enak. Dada saya terus berdebar-debar dan sesak nafas sampai akhirnya saya
berpikir, “Jangan-jangan saya mau pingsan.”
Saya tidak mau menyerah. Dengan langkah berat saya segera
berwudhu dan shalat untuk mengurangi beban yang kian menghimpit. “Ya Allah
sembuhkanlah penyakit saya. Ya Allah, tolong saya. Saya ingin menjadi ibu yang
baik, menjadi istri yang baik bisa menjadi hamba-Mu yang baik.” Saya berdoa
dengan suara agak tersendat disela-sela isak tangis. Terus terang waktu itu
saya masih belum mau cerita kepada ayah saya, karena beliau orangnya suka
sakit-sakitan sementara ibu kandung saya sudah meninggal. Hanya keberadaan anak
saya yang membuat saya tegar.
Kesedihan saya mencapai puncaknya ketika saya menelpon
suami yang sedang kerja di luar negeri, dia ternyata sedang sibuk dan tidak
bisa diganggu. Saya benar-benar merasa sendirian. Sampai akhirnya saya mengeluh
kepada ustadz Febri. ”Ibu kan tidak sendirian. Masih ada teman-teman yang lain.
Kita ini kan saudara.” Terus terang kata yang terdengar tulus itu sangat
menyentuh hati dan membangkitkan semangat. Semenjak itu secara bergantian
teman-teman menginap di rumah.
Hawa dingin menusuk tulang terus menyerang
Sejak ruqyah di rumah terjadilah suatu keanehan. Rumah
saya menjadi tidak nyaman lagi. Kamar tidur saya sekarang rasanya dingin,
hingga badan saya pun menggigil. Untuk mengurangi rasa dingin itu saya pakai
jaket. Tetesan keringat segera keluar dari pori-pori membasahi jaket. Saya
ganti dengan pakaian yang lain, tapi hasilnya sama, rasa dingin itu terus
menyerang sampai baju itu menumpuk dan tidak sempat tercuci.
Empat hari setelah
ruqyah yang pertama, saya mengalami kedinginan yang tiada terkira. Gigi saya
sampai terdengar menggeretak menahan hawa dingin. Waktu itu jam 8 malam, lalu
saya berlari ke rumah tetangga. “Ibu …ibu tolong pelukin saya. Ibu baca
surat-surat pendek deh. Tolong bantu saya,” kata saya kepada tetangga yang saat
itu sedang asyik nonton TV dengan suami dan anaknya. Mereka nampak tercengang
mendengar permintaan saya. “Sakit apaan kayak gini” ujarnya, namun tak urung
dia pun segera memeluk saya erat-erat sambil terus membaca surat al-Ikhlas,
al-Falaq dan an-Naas. Sungguh melelahkan, dia memeluk saya selama dua jam.
Ini adalah awal dari hawa dingin yang sulit saya tahan.
Karena hari-hari berikutnya hawa dingin itu kembali menyerang. Bila demikian
maka saya segera mengambil pakaian dan mengajak anak saya untuk mengungsi ke
rumah tetangga. Sesampainya di rumah tetangga anak saya langsung asyik dengan
dunianya, dia langsung nonton TV.
Saya lari ke rumah tetangga karena saya berpikir bahwa
orang perang saja memakai taktik. Kalau saya sampai kedinginan sampai pagi,
maka fisik saya akan hancur. Selain itu kalau di rumah tetangga saya bisa makan
dan tidur walau hanya 1-2 jam, tapi itu sudah cukup. Sedangkan di rumah saya
tidak pernah mau makan. Akibatnya berat badan saya turun 15 kg.
Keesokan harinya saya baru cerita ke ustadz Febri. “Ini
tanda-tanda ibu terkena sihir. Berarti sihir itu ada di rumah.” Kata ustadz
Febri. Tak lama kemudian ustadz Febri datang bersama teman-teman saya. Ruqyah
kali ini saya juga dimandikan dengan daun bidara. Aneh, badan saya langsung
menggigil kedinginan. Dan setelah mandi daun bidara, tangan saya langsung
berputar-putar seperti terserang tremor, orang yang terserang sarafnya.
Saya sampai teriak, “Kenapa tangan dan kaki saya bergerak-gerak sendiri.”
Semakin lama mendengar kaset ruqyah, putaran tangan semakin kuat. Mulut saya
juga mulai bergerak-gerak. Melihat itu ustadz Febri bilang , “Coba ibu bentak,
‘diam’”. Saya ikuti saran itu, “Diam kamu.” putaran tangan saya agak diam
memang. Sejak itu saya sudah mulai berani dengarkan kaset meski tidak ada
orang. Karena saya diajari bagaimana menanganinya.
Saya pernah ketiduran sekali di ruang tamu sewaktu
menunggu anak saya pulang dari sekolah. Saat rebahan itu saya membaca doa. Tak
lama kemudian saya terlelap. Namun, baru beberapa menit ada yang mengusik tidur
saya, “Oh, dia bisa tidur rupanya,” suara itu menyerupai suara perempuan. Saya
bergegas keluar membuka jendela, tapi tidak ada siapa-siapa. “Siapa tadi yang
ngomong?” saya mencoba mencari tahu, tapi tidak ada yang menyahut. Akhirnya saya
lanjutkan tidur lagi, tiba-tiba saya merasa seperti ada dua ular di belakang
punggung saya. “Astaghfirullahal adhim. Tolong saya” dengan suara sedikit
terpekik saya meraih bayangan dua ular itu dan kemudian saya lempar begitu
saja. Saya terkesima karena bayangan ular itu hilang dengan sendirinya. Saya
sempat menangis mengalami hal yang cukup mengerikan itu. Karena saya seperti
orang gila. Bahkan saya pernah bertakbir dengan keras ketika di kamar.
Dukun bertindak untuk menguasai harta warisan
Beberapa hari kemudian saya diruqyah lagi. Saat itulah
terjadi dialog dengan jin yang merasuk ke tubuh saya. “Kamu kenapa sampai di
sini”. “Saya Cuma disuruh” “Disuruh apa” “Disuruh nyakitin ibu ini” “Supaya
apa” “Supaya tidak menjadi penghalang orang yang menyuruh saya menguasai
warisan orangtuanya.” Dengan panjang lebar jin itu cerita tentang masalah
keluarga yang pada intinya tidak jauh dari masalah warisan. Jin itu mengatakan
bahwa dia disuruh oleh seorang laki-laki dan perempuan untuk menyakiti saya.
Karena semua keluarga yang lain sudah bisa dikuasai tinggal saya sendiri yang
masih belum dikuasainya. Dan saya bisa menjadi penghalang rencana mereka.
Meski saya tidak boleh mempercayai perkataan jin, tapi
tidak urung dialog itu mengingatkan saya akan perselisihan yang terjadi setahun
lalu. Terlebih ruqyah berikutnya semakin menunjukkan keterlibatan adik ipar,
karena jin yang merasuk ke tubuh saya mengatakan, “Tolong sampaikan pesan saya.
Dia itu harus minta maaf sama adik iparnya. Kalau tidak dia akan mengirim pasukannya
terus-menerus.”
Awalnya saya tidak mau, karena saya merasa tidak
bersalah, sampai ustadz Febri mengatakan, “Kalau begitu ibu orang yang sombong.
Bila sombong, maka pintu syetan akan terbuka lagi.” Saya tetap dalam pendirian
saya dan tidak mau minta maaf. “Ibu mintalah maaf karena Allah, bukan karena
dia. Ibu mau sakit seperti ini?” ustadz Febri mencoba meluruhkan kekerasan hati
saya.
Akhirnya saya luluh juga. “Allah saja suka memaafkan
hamba-Nya. Mengapa saya tidak?” pikir
saya. Pas ketika saya telpon kebetulan adik ipar sendiri yang mengangkatnya.
Seperti layaknya saudara yang lama tidak bertemu kita saling menanyakan kabar
keluarga masing-masing. Hingga tiba-tiba adik ipar bertanya, “Katanya sakit
ya?” “Cuma terlalu capek saja,” jawab saya dengan menyisakan tanda tanya
darimana dia tahu kalau saya sakit. Sebelum mengakhiri pembicaraan lewat telpon
itu saya meminta maaf, “Oh ya, maafkan saya lahir batin ya.” Mendengar
permintaan maaf saya itu, dia nangis. Saya tahu dari nada suaranya. “Oh ya
sama-sama mbak,” jawabnya agak tersedu-sedu.
Setelah meminta maaf via telpon itu, ketika saya membuka
jendela saat mau berwudhu untuk shalat tahajud, saya melihat segerombolan orang
dan hewan menyeramkan di jalan depan rumah. Mereka melambai-lambaikan tangannya
seakan ingin memberikan salam perpisahan. Entahlah, siapa mereka. Yang ada
dalam benak saya barangkali itu adalah jin-jin yang telah dikeluarkan dari
badan saya setelah seharian diruqyah. Setelah peristiwa malam itu badan saya
memang sudah agak mendingan.
Bila saya emosi, maka badan saya
terasa sakit kembali. Seperti yang terjadi saat anak saya rewel karena burung
pembelian suami saya sebelum berangkat ke luar negeri, saya berikan kepada
seorang sopir tetangga. Saya memberikan burung itu, karena memang sudah
berminggu-minggu burung itu kurang perawatan. Anak saya marah, “Mama harusnya
jangan kasihin. Itukan punya saya.” dia terus saja merengek. Saya ganti dengan
yang lain tapi dia tetap tidak mau dan emosi saya pun tidak tertahan lagi.
Akibatnya badan saya panas seperti ditaburi cabe.
Tanggal 5 April, gangguan jin itu mulai berkurang.
Barangkali ini terkait dengan ditemukannya sebuah jarum pentul di bawah kasur
tempat tidur. Jarum pentul itu terkesan
aneh dan berwarna doff. Lebih mengherankan lagi ketika jarum itu saya
rendam di lepek berisi air yang telah dibacakan al-ma’tsurat.
Tiba-tiba air rendaman itu habis. Air itu seakan menguap dan tidak berbekas.
Akhirnya jarum itu saya masukkan di amplop dan dibakar di sekitar pohon mangga.
Setelah pembakaran jarum pentul itu kepala saya sakitnya bukan main, saya
seperti dipukul dengan palu. Akhirnya saya memanggil saudara sepupu.
Dalam keadaan seperti itu saya hanya meminta mereka
mengatakan, “Yang sabar mbak. Yang kuat mbak.” Saya ingin mereka memotivasi
agar saya mampu menghadapi cobaan ini. Memang, awalnya saya tidak tahu
kiat-kiat melawan jin. Tapi lama-lama saya berpikir, “Kemarin saya bisa kok melawan itu”. Akhirnya
ketika rasa sakit itu datang lagi, saya bacakan ayat Kursi atau ayat-ayat lain
sambil terus saya pukul tempat yang sakit. Bahkan saya pernah terus
memukul-mukul bahu saya yang kesakitan hingga dua jam.
Baru akhir-akhir ini ketika keadaan saya sudah semakin
membaik, akhirnya saya ceritakan apa adanya kepada bapak. Meski bapak sempat
kaget juga, tapi akhirnya bapak sering memotivasi saya untuk sabar
menghadapinya. Demikian pula halnya dengan ibu mertua saya juga sudah tahu apa
yang terjadi. Ibu mertua sadar bahwa penyakit yang saya derita ini bukan sakit
medis. Sehingga ibu pernah menawarkan saya untuk diobati di Medan. Katanya di
sana ada seorang paranormal yang terkenal. Tapi dengan halus, tawaran itu saya
tolak. Saya lebih memilih terapi ruqyah seperti yang telah saya jalani.
Terlebih hasil dari terapi ini bisa saya rasakan. Sekarang bisa dikatakan saya
sudah sembuh 75 %, meski terkadang gangguan itu sesekali datang. Badan saya
juga sudah naik 5 kg.
Saya juga tidak pernah membicarakan masalah ini terlalu
jauh dengan ibu mertua. Bagaimanapun juga yang mengirim ini adalah salah satu
anaknya dan saya tidak mau menyakiti hati ibu mertua, yang sangat perhatian
kepada saya dan cucunya.
Kegembiraan saya semakin lengkap tatkala anak semata
wayang saya bisa memahami apa yang terjadi. Bahkan dia kadang berkelakar,
“Ustadz bakar saja jinnya.” Terkadang
saya tanya, “Takut nggak sama mama berdua?” “Ah,kalau ada jinnya saya lawan
saja,” katanya dengan mimik serius.
Sepenggal kisah ini semoga menjadi renungan bagi setiap
orang yang karena suatu alasan tertentu ingin menguasai harta orang lain.
Ingatlah bahwa harta orangtua yang dikumpulkan dengan susah payah itu menjadi
amanah bagi anak-anaknya. Dan tidak semestinya dijadikan ajang rebutan,
terlebih bila sampai meminta bantuan jin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar