Jumat, 03 April 2020

Kado Jin dari Suami di Malam Pertama



 Gerbang pernikahan begitu sakral. Selayaknya disikapi dengan dewasa. Bukan hanya mau menang sendiri, tanpa sudi mengindahkan hak pasangannya. Bila demikian, maka kebahagiaan rumah tangga hanya diangan-angan. Seperti kisah Sari, seorang ibu beranak dua. Ia menuturkan kisahnya kepada Majalah Ghoib. Berikut petikannya.

Sebagai wanita, saya ingin mengurangi beban orangtua yang tinggal sebatang kara. Bapak telah meninggal sekian tahun yang lalu. Sementara ibu terbilang sudah tidak muda lagi. Umurnya sudah berkepala lima. Tahun 2000, saya memutuskan melamar kerja di sebuah perusahaan swasta. Meski saat itu sudah ada seorang pemuda yang berniat menyunting saya. Namanya Rian.
Lamaran saya untuk bekerja diterima. Dunia baru yang memang berbeda. Saya bertemu dan berinteraksi dengan orang dengan latar belakang yang beragam.
Sementara itu Rian, yang telah bertemu dengan ibu dan bibi, berniat untuk meminta restu kepada kedua orangtuanya di Pekalongan, Jawa Tengah. Selama ini, saya memang tidak pernah bertemu dengan Rian secara langsung. Saya hanya mengenalnya sebatas informasi dari orang lain. Meski demikian, sejujurnya saya yakin bahwa ia pemuda yang baik dan mampu menuntun istrinya.
Ketika dia main ke rumah, saya tidak ikut serta menemaninya. Niatannya untuk menikah, itu pun diutarakannya langsung di hadapan ibu dan bibi. Sementara saya hanya mendengarnya dari balik pintu.
Memang, saat itu Rian belum memberikan kepastian. Dia menggantung niatan nikah itu dengan restu orangtuanya. Hanya batasan waktu tiga bulan yang ia berikan. Bila tidak ada berita apapun darinya, maka saya bebas menikah dengan orang lain. Karena itu berarti ia tidak mendapatkan restu dari orangtuanya.
Waktu berlalu begitu cepat. Sementara kabar dari Rian belum juga datang. Dalam kondisi yang tidak menentu itu, salah seorang teman kantor menemukan celah untuk mendekati saya. Teman-teman biasa memanggilnya dengan Rizal, asal Sumatra. Nama lengkapnya Syahrizal. Selama ini Syahrizal diam-diam memperhatikan saya. Hal itu saya ketahui dari teman-teman. Meski sebenarnya kami satu kantor, tapi di gedung yang berbeda.
Entah darimana asalnya, Syahrizal mengetahui rencana pernikahan saya dengan Rian. Hingga dalam suatu kesempatan dia memojokkan saya, "Sudah mau nikah ya?" tanyanya. Saya yang masih belum tahu ada apa di balik pertanyaan itu, menjawab apa adanya. "Iya, tapi nanti setelah lebaran."



Mendengar jawaban yang tegas itu, Syahrizal potong kompas. Dia mendatangi ibu dan bibi tanpa sepengetahuan saya. Entahlah mantra apa yang dikatakannya kepada ibu dan bibi. Hingga mereka berbunga-bunga. Dengan tangan terbuka mereka menerima kehadiran Syahrizal menggantikan Rian. Kata bibi, siapa yang melamar duluan itulah yang akan diterimanya.
Selama ini, Rian memang belum pernah menghubungi ibu maupun bibi, bahwa ia mendapat restu dari orangtuanya. Meski tenggat waktu tiga bulan telah berlalu. Meski ia juga telah menelpon saya di kantor. Hanya memang, saya tidak menceritakan hal itu kepada ibu maupun bibi, karena saya pikir, Rian sendiri yang akan menghubungi mereka.
Secara berkala Syahrizal mendatangi ibu dan bibi. Seiring itu pula perasaan cinta saya kepadanya mulai tumbuh. Perlahan namun pasti, saya melupakan Rian dan tidak lagi banyak berharap. Sebaliknya, bayangan Syahrizal selalu hadir di hati. la memang lebih tua sepuluh tahun. Satu hal yang saya harapkan lahirnya sikap kebapakan dan arif bijaksana.
Namun, ada yang tidak wajar. Perasaan cinta saya semakin tidak terkendali. Bayang-bayang Syahrizal selalu hadir di hati. Saat makan, sendirian, atau bercengkerama dengan teman-teman.
Syahrizal memang tampan. la menjadi idola banyak wanita di kantor. Bila kemudian ada teman wanita yang ngobrol berdua dengannya, hati saya berdesir. Rona-rona kecemburuan yang seharusnya tidak merasuk ke dalam jiwa, tidak lagi terhindarkan. Bila hal itu sudah tidak lagi tertahankan dada rasanya ingin meledak. Saya ingin mendatangi wanita itu dan memarahinya.
Uci, teman karib saya yang melihat perubahan saya dari hari ke hari geleng-­geleng kepala. "Kok begitu banget sih kamu," katanya suatu siang. Memang, bila dalam sehari saya tidak bertemu dengan Syahrizal, seakan ada sesuatu yang hilang. Rindu saya ingin melihat wajahnya tidak lagi tertahankan. Hingga terkadang saya marah-marah tanpa alasan yang jelas.
Dari sinilah kemudian, saya mulai mendesak orangtua untuk segera melamar. Saya tidak lagi mempedulikan adat. Pihak laki-laki yang seharusnya datang ke rumah wanita, bukan sebaliknya. Tapi bagi saya saat itu, adat ini bukanlah harga mati. Saya tidak ingin kehilangan Syahrizal. Saya tidak ingin melihatnya dinikahi wanita lain. Karena itu pilihan yang ada di mata saya adalah melamar. Ya, pihak wanita yang melamar. Meski hal itu sempat ditentang oleh paman. Namun akhirnya mereka meluluskan juga. Karena saya sering uring-uringan.
Resepsi pernikahan pun digelar. Harapan bersanding dengan Syahrizal di kursi pengantin pun terlaksana, meski ada sedikit keterlambatan dari pihak mempelai laki­laki, alhamdulillah acara resepsi berjalan lancar. Setidaknya harapan menjadi raja dan ratu sehari telah tercapai.

Diperlihatkan jin oleh suami
Setelah resepsi pernikahan selesai. Rombongan tamu dan undangan pun sudah ke rumah masing-masing, menyisakan makanan, minuman dan piring-piring yang masih berserakan. Hari itu juga, kami pindah ke rumah kontrakan yang tidak jauh dari rumah ibu. Hanya berjarak seratusan meter. Hanya ada antara saya dan Syahrizal, yang telah sah dan resmi menjadi suami saya.
Namun, justru di hari dan malam pertama itu, bayang-bayang kebahagiaan sedikit redup. Padahal itu di malam pertama kami. Suasana pesta siang tadi juga masih tercium. Pasalnya, pada malam itu Mas Rizal, begitu saya biasa memanggilnya, memberikan hadiah yang tidak terduga oleh seorang istri manapun. Mas Rizal memberi saya seorang penjaga dari bangsa jin. Ya, dia mengharapkan bantuan dari mereka untuk menjaga saya bila saya seorang diri, tanpa kehadirannya di samping saya.
Mulanya, kami bercanda dan Mas Rizal mengungkapkan tawaran yang saya kira hanya gurauan semata. "Dik, sudah pernah lihat hantu belum?" candanya. "Belum," kata saya. "Emang kenapa?" tanya saya lagi.
Selang beberapa lama kemudian, di depan rumah, dari balik jendela biasanya tukang sate keliling sering lewat. Malam itu, saya melihat sosok penjual sate mendekat. Dari jauh, sorot lampunya terlihat terang. "Eh, ada tukang sate," seru saya. Semakin lama bayangan itu semakin mendekat. Tapi mulut saya ternganga menyaksikan pemandangan itu. "Apa itu mas, kok besar sekali?" saya mulai ketakutan.
"Tidak apa-apa. Itu kan cuma teman," jawab Mas Rizal acuh tak acuh. "Teman?" saya tidak bisa menghilangkan keterkejutan saya. apa benar Mas Rizal berteman dengan hantu? Beragam pertanyaan mulai terlintas dalam benak saya. "Iya tidak apa-apa. Baca an-Naas, al-Falaq sama al-Fatihah, nanti juga hilang. Dia cuma ingin kenalan kok. Ingin bersahabat," jawabnya menghilangkan keterkejutan saya. Ketika saya desak lebih jauh darimana ia dapatkan temannya. Mas Rizal menceritakan bahwa dulu, dia pernah belajar dari seseorang yang dianggap tokoh agama di kampungnya. la kemudian diajari wiridan-wiridan yang mendatangkan jin. Saya bingung, hingga malam itu saya tidur dengan galau.
Malam-malam berikutnya kejanggalan demi kejanggalan bermunculan. Suara tikus di atap rumah berisik sekali. sementara bunyi-bunyian di depan rumah juga tidak kalah serunya. Klotek... klotek.... Saya penasaran, dengan perlahan saya mengintip dari balik jendela suara apakah itu sebenarnya. Rupanya, tempat sampah dari plastik di depan rumah, terbuka dan tertutup sendiri. Tidak ada tikus atau hewan lain di dalamnya.
Saya penasaran. Saya keluar dan saya lihat, ternyata kosong. Di dalam tempat sampah itu tidak ada binatang apapun. Tak urung bulu kuduk saya merinding dibuatnya. "Ini rumah banyak hantunya ya?" kata saya ke Mas Rizal. Namun, Mas Rizal biasa saja. la tidak merasa terusik atau terganggu. la masih menganggap suara-­suara aneh itu adalah bagian dari kesehariannya. Kejadian seperti ini berlangsung beberapa hari, bahkan sesekali terdengar suara orang melempar batu ke atap rumah. Untuk menghilangkan gangguan-gangguan itu saya memutar kaset murattal sehabis shubuh.
Sewaktu sendirian di rumah kebetulan lampu listrik padam. Saya nyalakan lilin, saat itulah nyala lilin itu memanjang lebih dari sepuluh senti. Ketika Mas Rizal, saya ceritakan perihal nyala lilin itu. "Mas, tadi waktu saya nyalakan lilin, kan mati lampu, kok nyalanya bisa memanjang sampai ke atas ya?" "Nggak apa-apa. Adik kalau di rumah kan ada yang jagain. Adik sudah saya kasih jin satu," kata Mas Rizal terus terang. Astaghfirullah, saya merinding bercampur takut. "Tidak apa-apa. Kalau nanti ada yang jahatin sama adik, dia yang jagain," katanya. "Nggak mas, yang jagain itu Allah. Mas Rizal tidak boleh begitu. Itu dosa." Saya mencoba meminta untuk mencabut kembali jin itu. Saya tidak mau hidup bersama jin. Tapi Mas Rizal tetap kekeh. Dia tidak mau mencabutnya, karena ilmu itu didapatkannya dari seseorang yang dianggap paham agama. la yakin bahwa apa yang dilakukannya itu tidak salah.

Dibakar api cemburu
Seminggu setelah menikah, kami masuk kantor lagi. Berangkat bersama, pulang pun demikian. Mas Rizal biasanya sudah menelpon saya jam lima agar saya segera bersiap-siap. Saat keluar dari ruangan kantor, ia selalu menengok dan memperhatikan cukup lama seorang karyawati bank swasta yang kantornya di samping kanan pintu ruang kantor kami. Pada mulanya, saya menganggap biasa sehingga saya ikut-ikutan menyapa karyawati tersebut. "Mbak, pulang duluan ya?" "Oh iya," katanya sambil tersenyum.
Tapi hal itu terus berlanjut setiap hari. Bahkan terkadang Mas Rizal menunjukkan kesan bahwa banyak wanita yang jatuh hati kepadanya. Di antaranya adalah karyawati tersebut. Itu berita yang saya dengar dari teman-teman. Lama kelamaan, jiwa kewanitaan saya berontak. Saya tersulut api cemburu. Ketika Mas Rizal ngeloyor ke tempat karyawati tersebut saya langsung pergi. Tanpa pamitan seperti biasanya.
Saya menegurnya di jalan. "Mas Rizal nggak boleh seperti itu. Sudah punya istri masih suka tengak-tengok." Nggak, cuma lihat saja," elaknya. "Iya, tapi tidak boleh sampai lama-lama begitu," tukas saya lagi.
Kejadian yang sama selalu saja terulang. Mas Rizal tetap saja ngobrol dengan karyawati tersebut. Akhirnya daripada ribut di jalan, saya mengambil keputusan untuk pulang duluan. Dan rasanya lebih nyaman. Setelah itu biasanya di rumah, kami bertengkar. Saya diam saja di rumah. Saya sediakan makanan begitu saja, tanpa banyak bicara. Tidak seperti biasanya. "Kenapa sih diam saja?" "Nggak apa-apa," kata saya. Terkadang saya diamkan saja sampai pagi, lalu saya berangkat ke kantor sedirian. Yang penting saya sudah menyiapkan sepatu dan bajunya.
Saya berpamitan melalui tulisan di kertas. Karena Mas Rizal belum bangun. Mas, diminum airnya, makannya jangan lupa. Saya berangkat duluan. Mas Rizal marahnya luar biasa, padahal saya hanya diam dan tidak menegur dengan keras. Kepalanya dibentur-benturkan ke tembok. Tangannya mukul-mukul tembok. Mas Rizal kesal.
Pertengkaran kecil, selalu mengisi keseharian kami. Mas Rizal bukan seperti yang saya bayangkan sebelumnya. Kebapakan dan bijaksana, seperti kesan yang ditunjukkannya sebelum menikah. Tapi, semuanya telah terjadi. Saya tidak boleh menyerah dan berputus asa. Semoga dari sini, saya dapat meraih ridha Allah.
Saat hamil tujuh bulan, saya mengalami pendarahan. Dan dokter menyarankan saya untuk banyak istirahat. Saya tidak boleh terlalu capek, bila tidak ingin semakin parah. Akhirnya saya memutuskan untuk mengundurkan diri dari tempat kerja. Sejak saat itu, saya tidak diperkenankan Mas Rizal pergi kemana-mana. Juga tidak boleh banyak ngobrol dengan tetangga.
Setelah kelahiran anak pertama, saya berharap Mas Rizal mulai berubah. Kebiasaannya yang baru untuk pulang malam, bisa dikurangi. Saya berharap anak yang baru lahir ini menjadi pelita dalam rumah tangga. Menjadi perekat antara kami, yang tidak begitu harmonis dalam menjalankan bahtera rumah tangga ini.
Namun, semua itu ternyata tidak banyak berarti. Tangisan Putri, anak pertama saya tidak banyak meluluhkan hati Mas Rizal. Ia tetap pulang malam dan enggan bergurau dengan anaknya sendiri.
Sepertinya tidak ada rasa kangen bertemu dengan anaknya. Putri pernah sakit panas. Tensinya di atas 35 derajat celcius. Sepanjang malam Putri yang masih berumur 8 bulan itu menangis. la sama sekali tidak mau ditidurkan. Tapi anehnya, Mas Rizal enak saja tidur, tanpa terusik dengan tangisan anaknya. Atau membantu saya menggendongnya. Awalnya saya kira ia lelah, namun setelah hal itu berlanjut hingga tujuh hari saya paham bahwa Mas Rizal memang tidak mau direpotkan dengan anak-anak.
Saya sedih, mengapa harus begini jadinya. Tapi saya tidak ingin banyak mengeluh. Sampai detik itu tidak seorang pun keluarga yang mengetahui perilaku Mas Rizal. Karena saya tidak pernah bercerita kepada siapapun. Sampai akhirnya terjadilah peristiwa mengerikan yang terjadi di malam Idul Fitri. Waktu Putri berumur 1.5 tahun. Jelang lebaran itu, saya tidak sempat melipat jemuran karena harus membantu ibu memasak. Ibu sedang sakit, sehingga tidak bisa menyelesaikan tugas masak untuk persiapan esok hari.

Kemarahan yang terus memuncak
Saat Mas Rizal pulang dari kantor, ia mendapatkan jemuran masih tergeletak di lantai dan belum dilipat. Saat itulah kemarahannya memuncak. "Ini jemuran masih berantakan. Belum diberesin," bentaknya dengan keras. Saya tidak mau bertengkar. Saya minta maaf. Saya jelaskan bahwa sore itu saya membantu ibu masak dan belum sempat menyelesaikan tugas rumah.
"Sekarang sudah tidak nurut lagi ya, sama suami," katanya. Untuk meredam kemarahannya, saya katakan bahwa saya sedang hamil dua bulan. Selama ini saya memang belum bercerita kepada Mas Rizal, karena saya menunggu saat yang tepat. Namun diluar dugaan. Plok. Tangannya langsung melayang menampar pipi saya. Saya menangis dan tidak mengerti mengapa sedemikian marahnya. Baru dua tahun menikah, tapi Mas Rizal terus berubah.
Saya pindahkan jemuran ke tempat lain. Saya pergi ke rumah tetangga untuk meminjam sesuatu. Tapi dia sudah pulang. tetangga sebelah menyampaikan bahwa Putri menangis. "Mbak dari mana, itu Putri menangis. Sepertinya jatuh." Saya berlari ke rumah dan mendapatkan Putri sudah di teras menangis. Saya tanya, "Kenapa menangis sayang?" "Itu bapak nakal. Putri dipukul," jawabnya dengan sesenggukan. Saya ikut menangis, kenapa Mas Rizal begitu tega memukul anaknya sendiri. Ketika saya tegur, Mas Rizal menjawabnya dengan kasar. "Biarin. Saya banting sekalian,' katanya.
Sejak itu kemarahan Mas Rizal terus memuncak. Hanya karena masalah sepele, saya sudah kena damprat. Lupa tidak menyediakan teh saat berangkat atau pulang kantor saja, saya sudah kena marah. Padahal, saya merasa selama ini menuruti kemauannya. Dilarang main ke tetangga, saya turuti. Tidak mengikuti pengajian, juga saya turuti.
Pernah saya hampir disiram dengan air panas dari termos. Saya sampai menangis, dengan berlutut saya pegangi kakinya. "Saya minta maaf kalau selama ini ada salahnya, tapi jangan sampai begitu banget," kata saya. Tapi semua itu tidak meredakan kemarahannya. "Sadar. Sadar kayak gitu itu dosa," saya berusaha menenankan Mas Rizal. Tapi ia justru makin marah. Saya ditendangnya. "Ngomong lagi. Kalau dikasih tahu sama suami diam. Tidak usah ucap sepatah katapun," katanya. Akhirnya saya memilih diam dengan air mata berlinang.
Keluarga Mas Rizal memperhatikan keadaan saya yang serba berkekurangan. Sehingga baju pun jarang gonta-ganti. Padahal mereka melihat sendiri bahwa Mas Rizal kerja tiap hari. Sabtu dan Ahad pun tidak libur, pulang jam dua belas malam. saya sedih mendengar komentar mereka. Karena sebagai seorang istri saya tidak bisa menutupi kekurangan suami.
Kelahiran anak yang kedua, tetap juga tidak membawa perubahan. Sikap kebapakan yang saya harapkan darinya pun belum kelihatan. Sementara kedua anak saya sedang membutuhkan figur seorang ayah yang mengayomi dan melindungi mereka. Saat liburan bersama keluarga besar, Mas Rizal lebih senang menyendiri dan enggan bergabung dengan saya dan kedua anaknya. Sampai ada saudaranya yang menegurnya. "Rizal, kamu itu gimana sih. Istrimu itu sudah nggendong, terus bawa tas lagi." Tapi mas Rizal hanya diam. Tidak tergerak untuk membantu saya.
Setelah semakin lama, Mas Rizal semakin suka memukul, saya tidak tahan lagi menahan derita ini sendirian. Saya membutuhkan tempat untuk berkeluh kesah. Akhirnya saya ceritakan semuanya kepada Bibi. Dari sini kemudian semua keluarga pada. tahu. Mereka akhirnya menyerahkan semua keputusan kepada saya, apakah masih terus berlanjut atau cerai.
Selama ini saya masih berkeyakinan bahwa perangai yang kasar itu bukan bagian dari pribadi Mas Rizal yang sesungguhnya. Terlebih, Mas Rizal pernah mengikuti terapi ruqyah di kantornya. Menurut berita yang saya dengar dari temannya, saat itu Mas Rizal paling keras reaksinya di antara peserta lainnya. Jin yang merasukinya bernama Adnan dan membutuhkan waktu yang lama untuk mengeluarkannya. Namun, sejak itu Mas Rizal tidak pernah lagi mau mengikuti ruqyah. Ketika saya desak, ia bahkan berkilah bahwa jin itu tidak akan bisa dikeluarkan karena dia telah melakukan perjanjian tertentu. Entahlah, perjanjian seperti apa. Mas Rizal tidak pernah mau terbuka. Saya masih berharap Mas Rizal berubah. Karena itu saya mencoba bertahan sampai batas kemampuan terakhir.
Sebenarnya, sejak hamil kedua saya sudah merasakan sakit perut. Hal ini terjadi setelah saya didatangi sosok hitam besar. Kulitnya berbulu. Makin lama makin dekat dan tiba-tiba hilang begitu saja. Malam harinya, ketika tidur saya merasakan ada makhluk besar yang duduk di atas saya sehingga saya tidak bisa bangun. "Kok tidak bisa bangun, kenapa ya Mas?" tanya saya. "Sudahlah tidur saja jangan berisik," kata Mas Rizal. Waktu itu lagi hamil muda. Tangan dan kaki saya tidak bisa diangkat. Karena suami tidak bangun, saya terus membaca la ilaha illallah wahdahu la syarikalah menjelang shubuh, baru bisa tidur. Semenjak itu saya sering sakit perut dan kadang kembung. Ketika berobat medis dokter mengatakan bahwa saya tidak sakit apa-apa. Itu hanya karena beban psikologis saja.
Akhir-akhir ini saya suka menyendiri dan seperti orang kebingungan. Itulah yang kemudian membawa saya mengikuti terapi ruqyah di kantor Majalah Ghoib, setelah mendapat informasi dari saudara sepupu.
Saat terapi ruqyah, saya berontak dan berteriak-teriak. Kata teman yang menyertai saya, suara saya berubah seperti suara laki-laki. Malam harinya, saya tidak bisa tidur. Badan saya rasanya sakit semua. Keesokan malamnya, saya bahkan tidak bisa bangun. Waktu itu ibu ada main ke rumah dan saya ceritakan bila sebelumnya mengikuti ruqyah.
Ibu tidak banyak berbicara, namun dari sorot matanya saya merasakan kesedihannya melihat saya. Saya membaca doa-doa yang saya hafal, tapi seiring dengan itu, saya semakin tidak bisa bangun. Sampai akhirnya Mas Rizal pulang jam dua belas malam. Saya minta didoakan, semoga doanya dikabulkan Allah, tapi ia menanggapinya dengan acuh tak acuh. "Doa saja sendiri," katanya sambil menyandarkan diri di kursi.
Keesokan harinya, tenggorokan saya terasa kering. Saya minta Mas Rizal mengambil air putih. Mas Rizal memberi segelas air putih setelah sebelumnya dibacakan doa. Entah apa yang dibacanya, saya tidak tahu. Saya hanya berdoa, semoga Allah segera menyembuhkan saya. Memang, setelah minum air tenggorokan saya terasa segar.
Kembali keanehan bermunculan di rumah setelah saya mengikuti terapi ruqyah. Gelas di atas lemari es, bergoyang-goyang sendiri. Saya sadar itu adalah bagian dari perjawanan jin yang mencoba menteror saya agar saya melemah. Tapi bagi saya hal itu justru berlaku sebaliknya. Saya akan tetap mengikuti terapi ruqyah. Saya terus mendengarkan kaset ruqyah dengan headphone. Bahkan di sela-sela mengajar di bimbingan belajar, saya sempatkan diri untuk dengarkan kaset ruqyah beberapa saat. Ya, sekarang saya sudah punya kegiatan baru. Menjadi pembimbing di sebuah lembaga kursus. Kegiatan yang baru berjalan beberapa bulan ini.
Saya berharap dengan itu semua, saya tabah menghadapi masalah demi masalah yang terus mendera. Saya berdoa semoga perjalanan rumah tangga kami segera menemukan titik terang. Bukan lagi seperti dua tahun kemarin yang terus digoncang dengan perselisihan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar