Kamis, 14 Februari 2019

Istri Saya Diavonis Gila oleh Dokter, padahal Terkena Gangguan Jin


Ini kisah nyata, tentang kepriha­tinan seorang suami yang istrinya dinyatakan gila, padahal karena gangguan syetan. Sisi lain dari kisah suka-dukanya mengabdi di jalur pendidikan di Timor-Timur.
Saya A. Helmi, asal Yogyakarta. Pada tahun
        1990 saya ditugas­kan ke Timor Timur
        sebagai guru PNS. Di sanalah saya menikah dengan istri saya yang berasal dari Ujung Pandang lulusan IAIN Alauddin Ujungpandang.
Awal kisah menyedihkan terjadi  ketika kami mempunyai usaha sampingan dengan bergabung dalam bisnis multi level marketing AMWAY. Saya bekerja sama dengan up-line seorang Ibu sebut saja ibu Ax yang kebetulan beragama Nasrani. Hubungan saya dengan pak Ax atau suaminya, sebenarnya cukup baik, karena dia adalah teman dekat saya yang sama-sama mengajar di SMU 2 Baucau Timor Timur. Bahkan setiap hari saya selalu shalat Ashar di rumahnya. Adik dan istrinya juga siswa saya. Ketika anaknya sakit panas sampai step (kejang-kejang), saya juga yang menolongnya sampai kondisinya membaik. Karena kebetulan saya dulu penah belajar PPPK sewaktu masih di  pramuka Gudep 15-16 Kotagede Yogyakarta pada tahun 80-an.
Sebagai up-line seharusnya ibu Ax selalu menepati pembayaran fee kepada saya setiap bulannya. Karena saya juga akan membayar kepada down-line saya. Tetapi ia tidak pernah menepati janji itu. Sehingga saya harus nombok setiap bulan untuk menggaji down-line saya. Akhirnya piutang saya pada dirinya semakin besar sampai ratusan ribu rupiah. Nilai uang itu terasa besar, karena memang saat itu, pada tahun 1997 belum terjadi krisis moneter.
Saya berusaha menagih dengan cara baik-baik setiap hari. Tetapi ia selalu berjanji besok-besok terus. Pernah suatu hari, saya bertemu bu Ax di bis kota. Saat itu saya tagih lagi. Namun tetap menolak. Kali ini ia beralasan mau langsung pu­lang. Saya katakan, “Saya nggak mau peduli, kamu kan sudah lama menunda, jangan begitu dong!” Setelah saya desak terus, akhirnya dibayar lunas.

Berobat dari dokter sampai ‘orang pinter’
Beberapa hari berikut, menyusul peristiwa itu, istri saya tiba-tiba merasa pusing yang sangat berat setiap hari. Maka saya mengadu ke teman saya yang dari NTB. Seorang bapak-bapak. Dia bilang bahwa daerah pak Ax itu memang terkenal sihirnya yang hebat. Bahkan istri teman saya itu juga mengalami gangguan yang sama dengan istri saya, sebentar-sebentar juga sering kambuh. Tapi entah bagaimana, teman saya itu bisa menanganinya. 

Karenanya, saya minta bantuan kepada teman tersebut untuk mengobati istri saya. Entah dengan ilmu apa yang dia pakai, tetapi nampaknya seperti menggunakan pernafasan tenaga dalam. Ketika saya tanyakan kepadanya, di menjawab bahwa dia sendiri juga tidak tahu, karena sejak kecil tangan dia terasa ada suatu kekuatan, dan bisa untuk mengobati, termasuk anaknya juga begitu. Bahkan katanya ketika ibunya pernah sakit dan dia yang masih kecil menamparnya begitu saja, akhirnya sembuh.
Dalam pengobatannya, dia dekatkan telapak tangan kanannya ke dekat tubuh istri saya, tanpa menyentuhnya. Lalu dengan satu tarikan nafas yang kemudian ditahan, ia mulai mendeteksi bagian mana yang sakit. Tiba-tiba dia bicara, “Nah di sini ini, aduh lari ke sini, lari ke sini, wah ini lari ke perut.” Kalau sudah lari ke perut akhirnya dihentikan terapinya. Selama istri saya dalam proses diterapi, sering terdengar omongan lewat mulut istri saya, “Saya mau pulang, saya mau pulang.” Sambil nangis. Ketika ditanya, “Mau pulang kemana?” Dia menjawab, “Itu ke sana, ke belakang kantor Kejaksaan.” Ternyata itu suara jin suruhan, saya hanya menduga mungkin yang dimaksud adalah rumahnya bu Ax.
Begitulah. Anehnya, setiap kali istri saya diterapi lalu saya ketemu pak Ax, tampak muka pak Ax merah kehitam-hitaman, layaknya orang habis dipukuli begitu, dan dari sikapnya dia sangat benci kepada saya.
Suatu malam, istri saya bermimpi melihat burung putih keluar dari kepalanya dan kemudian terbang menuju rumah di belakang kantor kejaksaan itu. Tapi penyakit yang diderita istri sayapun belum juga sembuh. Saya juga selalu mengupayakan terapi medis dengan memerik­sakan istri saya ke dokter. Mulai dokter Pus­kesmas, ke dokter spesialis penyakit dalam, kemudian harus ke RSUP di Dili yan harus menempuh perjalan lebih dari 100 km ke arah barat. Istri saya harus dirontgen. Dan untuk diketahui, semua hasil pemeriksaan dokter itu menyatakan bahwa istri saya tidak apa-apa.
Kemudian saya bawa ke RSAD. Setelah diperiksa oleh dokter spesialis penyakit dalam dan ahli penyakit jiwa, mereka berkesim­pulan yang sama, istri saya tidak apa-apa. Justru yang membuat saya terpukul, dokter malah bilang bahwa istri saya mengalami gejala penyakit jiwa. Istri saya sendiri tampak sedih dan sesam­painya di rumah ia hanya menangis tersedu-sedu, dan mengatakan, “Saya ini nggak kuat menahan sakit, kok dibilang sakit jiwa.” Bahkan mamanya juga ikut nangis.
Kami tetap belum puas dengan hasil peme­riksaan itu, maka kami bawa istri ke dokter spesialis jantung. Hasil pemeriksaan menya­takan bahwa jantung istri saya bagus. Kemudian kami membawanya ke dokter THT, di sana dinyatakan ada gangguan THT, maka diberi obat sakit THT. Meskipun obat sudah habis dikonsumsi oleh istri saya, tetapi rasa sakit pusing-pusing itu tetap belum berkembang.
Sampai akhirnya ada orang yang mengajurkan kepada saya untuk terapi ke seorang bapak di suatu tempat di Timor-Timur, yang dianggap orang pintar yang sering mengobati segala macam penya­kit. Kebetulan ia ini berasal dari Ujungpandang satu daerah dengan istri dan bahkan senior istri saya ketika masih sama-sama sekolah.
Maka kami cepat akrab dengan dia, dan terapinya menjadi rutin karena memang nggak pakai syarat apa-apa, yang penting datang dan bismilah niat berobat. Tetapi, ya, dat nyeng (gangguan itu selalu datang dan pergi). Setiap sepuluh hari, atau lima belas hari saya balik ke sana. Saya perhatikan terapinya dengan meme­gang ibu jari istri saya dan dia baca bismillah dan seterusnya saya tidak mendengar apa yang dia lafalkan lagi, tampaknya dia rahasiakan. Orang-orang banyak bilang, si bapak itu orangnya dug­deng (sakti), dan orang Timor Timur takut sama dia. Katanya, karena ia pernah mengalami kece­lakaan lalu lintas dan banyak luka-lukanya. Lalu dia usap luka-lukanya itu dengan telapak tangan kanannya. Terus luka itu hilang dan sembuh.
Saya pernah tanyakan kepadanya, tentang ilmunya itu dari mana didapatkan. Dia jawab, “Guru saya pernah suatu ketika sedang menjalani ilmu, beliau berjalan-jalan di pantai Sulawesi, tiba-tiba beliau melihat ikan cumi-cumi terdam­par di pinggir pantai, maka beliau dekati dan ambil. Tiba-tiba cumi-cumi itu berubah menjadi manusia kecil dan bilang kepadanya akan mengajarkan ilmu-ilmu untuk pengobatan. Maka sejak saat itulah manusia kecil itu ikut beliau dan saya dituruni ilmu itu.” Tapi entahlah, saya sendiri tidak tahu.
Sebelumnya ada juga yang menunjukkan kepada saya ‘orang pintar’ di Timor Timur yang berasal dari sebuah daerah di Jawa Timur. Orang kalau datang ke sana untuk berobat, harus membawa ayam, kemudian disembelih di situ untuk makan bersama-sama, dan katanya keesokan harinya penyakitnya keluar sendiri. Saya kata­kan, “Wah ini model dukun seperti di Jawa sana.” Dan saya pun nggak mau ke sana.

Kondisi istri semakin buruk diperparah lingkungan
Kondisi istri saya semakin memburuk ketika pada suatu hari yang kelam ia melihat pembantaian besar yang dilakukan orang-orang Fretelin terhadap 20-an orang anggota POLRI yang ditugaskan sebagai PAMSUNG. Ketika mereka naik truk, tiba-tiba mereka menda­pat serangan dengan senapan mesin dari bebagai arah. Akhirnya mereka semuanya meninggal dan dibakar langsung di atas truk itu sampai habis semuanya jadi arang. Tubuh-tubuh yang tadinya kekar itu, menjadi meringkuk dan tulang belu­langnya merapat hingga pendeknya tidak ada satu meter. Kebetulan rumah kami di atas gumuk tepatnya di belakang kantor POLRES. Seluruh jenazah anggota POLRI yang dibantai itu disemayamkan di kantor itu. Peti mati telah berjejer di situ dan tampak jelas dari jendela kaca yang terlihat dari rumah kami. Apalagi, istri Kapolres itu adalah teman mengaji istri saya, maka istri saya jadi sangat-sangat ikut sedih dan prihatin bersama. Bencana itu benar-benar memperburuk kondisi istri saya.
Apalagi, setiap hari kami sering mendengar tembakan. Ya siang, ya malam terus menerus begitu dan suasananya tegang seka­li. Istri saya tampak seperti orang linglung. Ditambah lagi setiap malam, mendengar jeritan kesakitan dari orang yang ter­tangkap dan menghadapi interogasi di kantor POLRES itu. Tidak itu saja, semua itu juga berimbas kepada anak saya, karena dia juga sering melihat suasana yang semacam itu.
Setelah kurang lebih setahun menghadapi gangguan semacam itu, saya dimutasikan ke daerah lain, ke Ambeno. Karena suasana di Baucau tidak aman, sering terjadi tembak-menembak, suara senapan di tengah malam yang memekakkan gendang telinga. Daerah yang saya tuju sangat sulit medannya. Saya masih teringat saat kami pinda­han itu. Kami harus naik kapal dari siang sampai malam hari, dan turunnya baru jam 03.00 pagi. Itupun, kapal tidak bisa merapat ke dermaga karena ombaknya begitu besar. Akhirnya awak kapal mele­paskan sekoci. Sedangkan kami harus turun dengan tangga tambang. Lampu sorot dari atas kapal dengan terang menyinari kami yang mendekati air laut yang tampak hitam kelam, berkali-kali istri saya gagal turun ke sekoci. Karena goncangan ombak begitu keras, sehigga sekoci terbentur dinding kapal itu. Bersyukur akhirnya kami berhasil naik sekoci itu bersama dua awak kapal.
Setelah kami mendekat ke dermaga, kami mencari pantai yang landai untuk mencapai daratan, karena kalau melalui dermaga terlalu tinggi kami bisa terbentur dinding. Begitu kami sampai ke pinggir pantai yang landai kami langsung loncat turun dan segera menyelamatkan sekoci agar tidak dihantam ombak. Setelah kami turun dan barang bawaan diturunkan semua, kami kembali ke sekoci itu lagi untuk mengecek barangkali ada yang tertinggal. Ternyata,  sekoci itu sudah digulung ombak dan tertimbun pasir, untung bukan kami yang tergulung ombak. Maka awak kapal harus mencari cangkul untuk mengangkat sekoci itu.
Setelah kami shalat subuh di kampung itu, saya, isteri dan anak pertama saya Saif (4 tahun) harus melanjutkan perjalanan yang lebih mele­lahkan. Betapa mahal nilai sebuah perjuangan pendidikan. Kami harus melalui lima kali penye­berangan sungai yang belum ada jembatannya. Jadi jalan itu terputus oleh sungai-sungai itu. Istri saya sampai nangis-nangis kemekelen (tersedu-sedu), karena ia saat itu sedang hamil enam bulan.
Bulan Januari 1999 saya mulai aktif di SMPN 3 Nitibe Ambeno. Itulah tempat tugas baru saya sebagai kepala sekolah. Selama delapan bulan saya berada di komplek guru, sedangkan istri saya karena akan melahirkan anak kami kedua, maka saya kirim ke Makas­sar. Kondisi medan di sana sangat berat, pasar saja adanya hanya seminggu sekali. Saya hanya mengingat betapa tinggi nilai sebuah cinta dan kesetiaan. Istri sebelumnya tinggal di kota, tetapi saat itu ia rela mengikuti saya sampai di pelosok tanah air yang akhirnya lepas dari peta Nusantara setelah dilakukan jajak penda­pat.
Pada waktu itu kebe­tulan ada kapal pengungsi yang mau pulang ke Ujung­pandang. Orang Makassar yang mau pulang hanya membayar setengah harga tiket. Maka istri dan anak saya ikut kapal itu. Istri saya melahirkan di kam­pung­nya. Tetapi ini mungkin perjuan­gan yang lebih berat lagi dibandingkan sebelum­nya. Bidan yang menunggu-nunggu proses kelahiran itu, akhirnya tidak sabar dan istri saya ditinggal pergi. Nah, di saat bidan itu tidak ada, istri saya melahirkan anak saya yang kedua. Ia hanya ditemani anak saya yang masih 4 tahun itu. Karena kebetulan, ibu mertua waktu itu juga belum datang.
Pada bulan Juni 1999 saya baru bisa mene­ngok istri yang sudah melahirkan buah hati saya yang kedua tanpa saya di sampingnya. Luapan kegembiraan kamipun tidak bisa terabaikan. Sehingga kedua bola mata kami pun tidak sanggup membendung butiran airmata kerinduan, keha­ru­an dan kebahagiaan di saat kami bertemu dengan istri dan anak-anak.
Hari-hari bersama istri begitu pendek rasa­nya, karena saya­ harus segera kembali ke Ambeno, Timor Timur. Tetapi setelah saya sampai di sana, keadaan sudah berubah. Sudah mulai ada kekacauan. Bahkan saya sendiri sebagai kepala sekolah yang sering berhubun­gan dengan pak Camat, pak Kapolres, Pak Danramil, diang­gap mouhu (mata-mata/intelejen) oleh orang Fretelin sana. Mereka mengancam saya dengan menempelkan plakat di sekolah yang isinya akan menghabisi saya dan anak istri saya. Tetapi keadaan cepat sekali berubah, karena ABRI pada waktu itu di atas angin, dengan terben­tuknya mili­si-milisi pro Indonesia di mana-mana di selu­ruh tim­Tim.
Nah, orang yang menandatangani plakat ancaman itu, atas namanya Aji Ayat/Fransisco Pa Chunha sangat takut melihat peruba­han itu. Ia bahkan terkencing-ken­cing dan menemui saya, dan berikutnya sangat hormat kepada saya. Tetapi di sisi lain, anak-anak muda itu memu­suhi saya, karena saya diang­gap anggota intele­jen, tukang lapor. Mungkin me­re­ka mendengar dari murid-murid saya yang dari Baucau itu. Karena saya dulu tinggal di tanah komplek Kodim.
 Sebelum jajak pendapat, kami semua di sana yakin bahwa kita pasti menang, karena seluruh orang asal Timor Timur yang menye­bar di bebagai daerah di Indonesia pada pulang ke sana untuk ikut mendukung pro integrasi. Bahkan ada Dandim yang datang membawa truk penuh dengan penumpang dari Indonesia lama dan menginap di sekolah saya. Saya dan teman-teman menyambut mereka dengan gem­bira, karena mereka datang sebagai pejuang untuk menjaga keutuhan wilayah Indonesia. Pada hari jajak pendapat, seluruh rakyat menyambut gembira. Tetapi anehnya banyak LSM dari Jawa tidak diperkenankan untuk menghadiri penghitungan suara. Jadi semua dari pasukan PBB. Dan tam­pak­nya dari departemen luar negeri juga tidak bisa berbuat apa-apa. Karena datangnya sudah sore hari dan semua kotak suara sudah dikemasi.
Sehari setelah jajak pendapat, saya menyem­belih dua ekor kambing aqiqah untuk anak saya. Kemudian saya bagikan ke teman-teman pejuang pro integrasi dan polisi  yang berjaga di sana. Setelah itu saya beriap-siap untuk pulang dengan naik sepeda motor ke pelabuhan. Tapi kapal sudah jalan dan saya harus ke pelabuhan lain dengan menempuh perjalanan dua jam lagi. Saya harus menyeberangi lima sungai lagi, dan sampai di pelabuhan ternyata kapal pengangkut kayu itu sudah mau jalan, sehingga saya nggak bisa mendekat untuk naik kapal kayu itu. Akhirnya saya dipanggul oleh awak kapal, dan motor saya dipikul dua awak kapal lain yang menyeberangi air laut dengan ke dalaman sedada. Saya duduk di atas papan kayu. Di bawah saya muatan binatang sapi yang mau dibawa ke Kupang. Saya tanyakan kepada awak kapal, kira-kira sampai di Kupang jam berapa? Dia jawab, “Jam tiga sore”. Saya agak lega dengan jawaban itu, karena nanti jam 06.00 sore bisa naik kapal ke Ujung Pandang. Tetapi ternyata kapal kayu itu sampai di Kupang setelah jam 12.00 malam. Saya ter­paksa tidur di pelabuhan Tenao. Setelah beberapa hari berikutnya saya melanjut­kan per­jalanan ke Ujung Pandang dengan kapal dan alhamdulillah bisa kembali bertemu istri dan anak-anak.
Ketika saya di Tenao, saya mendengar berita hasil jajak pendapat di Timor Timur ternyata kita kalah telak. Saya benar-benar kaget, dan setengah tidak percaya. Saya tahu persis bagai­mana masyarakat TimTim bersemangat untuk tetap bergabung dengan Indonesia. Saya yakin ini pasti ada kecurangan dari pelaksana.
Saya dengar dari teman-teman dosen di Amerika, ketika mereka naik pesawat, di atas pesawat itu ada kotak suara yang dimintakan bagi setiap penumpang untuk memilih kemerdekaan bagi Timor Timur. Kemudian kotak suara itu yang dikirim ke TimTim.
Akhirnya saya dan isteri memutuskan untuk tidak balik ke TimTim. Karena bagaimana mungkin ke sana, TimTim bukan lagi bagian dari negara kita. Saya menye­sal sekali, karena tidak mudah meninggalkan dae­­rah yang penuh kenangan, selama saya mengabdikan diri di dunia pendidikan. Semua pa­kai­an saya dan barang-barang saya masih ter­tinggal di sana. Termasuk pesawat radio, televisi dan lainnya. Sebelum saya pulang ke Ujung Pandang saya yakin dan bilang sama teman-teman di sana, sebentar lagi kita akan kembali aktif mengajar lagi di SMPN 3 Nitibe Ambeno.

Memulai Hidup Baru di Yogyakarta
Kondisi istri saya masih pusing-pusing terus, maka kami berse­pakat untuk pindah ke Yogyakarta. Dengan naik kapal dari Ujung Pandang dan turun di Surabaya. Kemudian disambung naik bis jurusan Yogyakarta.
Namun setelah kami sampai di Yogyakarta, istri saya semakin berat dan parah kondisinya. Sebab lingkungan kami di kampung Joyopranan, Desa Singosaren Banguntapan Bantul, jauh berbeda dengan suasana kampung istri. Rumah di sini besar-besar, pagarnya tinggi-tinggi, pintu selalu tertutup. Jarang ada orang saling bertan­dang ke tetangga, sehingga isteri di rumah me­rasa sendiri.
Kami berusaha terus dengan terapi medis, ke dokter-dokter ahli seperti sampai di rontgen bekali-kali. Dari hasil pemerik­saan itu, istri saya diberi obat juga dan dikonsumsi istri sampai habis. Kondisi pusing-pusingnya tetap dan belum berubah.
Ketika kami bersilaturahmi ke rumah saudara sepupu saya, dan saya ceritakan kondisi istri saya, maka saudara saya itu bilang bahwa istri saya itu kesambet (ketempelan makhluk halus). Pada waktu itu, kakak sepupu saya mengajak seorang temannya untuk mengobati istri saya dengan ilmu tenaga dalamnya. Mereka berpu­tar-putar di seke­liling istri saya dan bilang ini hari harus dilepas ika­tannya. Kemudian di lain hari kakak sepupu datang, dia bilang, “Nah itu, sudah lari ke sana. Insya Allah tidak apa-apa.” Memang kondisi istri saya membaik, meskipun akhirnya kam­buh lagi dan lebih parah. Bahkan untuk berjalan sebentar saja sudah nggak kuat.
Kemudian ada yang memberitahu kami agar mencoba apa yang disebut dengan “Terapi Zona” ke rumah seseorang di Jogya­karta juga. Saya pun ke sana. Setelah itu terasa lebih ringan, tetapi bebe­rapa hari berikutnya sakit lagi dan tetap seperti semula.

Ruqyah dengan Us­tadz Fadhlan
Hari-hari berjalan se­per­ti biasa. Juga dengan kondisi istri saya yang tak kunjung berubah. Sampai suatu ketika, saya sedang pergi ke toko buku Iqro AMM Kotagede yang kebetulan cuma di sebelah rumah saya. Di sana saya ngomong-ngomong dan cerita dengan teman-te­man yang sudah lama nggak ketemu. Sampailah kami bercerita tentang istri saya. Maka, mereka me­nya­ran­kan untuk berobat ke kang Fadhlan di Dalem Kota­gede. Begitu mendengar nama itu, saya langsung ingat, dan bilang kepada mereka, “Wah, saya ingat betul siapa Fadhlan itu, karena dia adik kelas saya di Ma’had Islamy Kotagede dan binaan saya di Pramuka Gudep 15-16 Kotagede tahun 80-an.”
Maka, saya sekeluarga ke rumahnya. Alhamdulillah dia dengan senang hati menyambut kehadiran saya sekeluarga. Apalagi sudah lebih dari lima belas tahun kami nggak ketemu.
Setelah saya sampaikan maksud saya, maka Ustadz Fadhlan meminta isteri saya berwudhu, kemudian berbaring dan mendengarkan kaset terapi gangguan jin yang disetel dengan volume tinggi. Ayat-ayat Al-Qur’an dibaca dengan tartil. Itu ternyata berpengaruh besar terhadap istri saya. Sebab, tiba-tiba istri menjerit-jerit kesakitan.
Ustadz Fadhlan menjelaskan kepada saya, “Ini bukan suara istri kang Helmi, tetapi ini suara jin yang ada di dalam tubuhn­ya, jin itu terbakar dengan ayat-ayat ini.”
Setelah kaset terapi selesai diperdengarkan, maka Ustadz Fadhlan mengenakan sarung tangan dari kulit dan menempelkan telapak tangan kanannya di atas ubun-ubun istri saya. Kemudian membacakan ayat-ayat dan do’a yang cukup panjang ke segelas air sirih. Kemudian istri saya disuruh duduk dan minum air itu. Ustadz mela­ku­kan pukulan keras di punggung istri saya saat istri meronta-ronta, sampai akhirnya diam. Tapi istri saya kemudian berce­rita bahwa ia tidak mera­sakan sakit saat dipukul keras itu.
Setelah terapi itu, pu­sing-pusing itu mulai ber­kurang. Ustadz Fadhlan menyarankan untuk banyak mendengarkan kaset Ruq­yah ini di rumah. Saya bilang terus terang saja, saya tidak punya tape. Alhamdulillah ustadz Fadhlan dengan senang hati meminjamkan walkmannya dan kaset ruqyah untuk saya pakai terapi di rumah. Karena saya sekeluarga datang ke Yogya ini tidak membawa apa-apa dan (barang-barang) sudah habis-habisan di TimTim sana.
Setelah satu pekan, saya sekeluarga datang lagi ke Ustadz Fadhlan untuk terapai istri saya lagi. Seperti proses sebelumnya, jin di dalam istri saya menjerit-jerit minta pulang dan mengata­kan, “Ibu ini orangnya baik, saya yang bersalah.”
Anehnya, suara itu persis dengan suara bu Ax yang pernah saya tagih utangnya dulu. Ustadz bertanya dengan membentak, “Kamu mau pulang kemana?” Jin menjawab, “Ke Timor Timur.” Maka, dengan pukulan keras lagi jin itu dibentak untuk keluar, “Ukhruj ya Aduwallah.” (keluarlah wahai musuh Allah).
Setelah terapi itu, istri saya mulai bisa naik motor sendiri. Tetapi kalau masuk pasar atau bank terasa pusing lagi. Kemudian diterapi dengan kaset. Dan pusing itu kembali hilang. Kata Ustadz Fadhlan di situlah tempat yang banyak syetannya. Baik syetan manusia atau syetan jin, perbanyak baca doa perlindungan kalau mau masuk ke tempat itu. Setelah empat kali diterapi di rumah ustadz Fadhlan dan juga terapi mandiri di rumah, alhamdulillah istri saya sembuh total sampai sekarang. Saya benar-benar bersyu­kur kepada Allah. Apalagi kami kini bisa hidup bersama istri dan anak-anak saya. Meskipun, kami tidak akan pernah bisa menghapus segala kenangan saya selama di Timor-Timur, suka maupun dukanya.
Sumber majalah Ghoib

Tidak ada komentar:

Posting Komentar