Ini kisah nyata, tentang keprihatinan seorang suami yang istrinya
dinyatakan gila, padahal karena gangguan syetan. Sisi lain dari kisah
suka-dukanya mengabdi di jalur pendidikan di Timor-Timur.
Saya A. Helmi,
asal Yogyakarta. Pada tahun
1990 saya ditugaskan ke Timor Timur
sebagai guru PNS. Di sanalah saya menikah dengan istri saya yang berasal dari Ujung Pandang lulusan IAIN Alauddin Ujungpandang.
1990 saya ditugaskan ke Timor Timur
sebagai guru PNS. Di sanalah saya menikah dengan istri saya yang berasal dari Ujung Pandang lulusan IAIN Alauddin Ujungpandang.
Awal kisah menyedihkan terjadi ketika kami mempunyai usaha sampingan dengan
bergabung dalam bisnis multi level marketing AMWAY. Saya bekerja sama dengan
up-line seorang Ibu sebut saja ibu Ax yang kebetulan beragama Nasrani. Hubungan
saya dengan pak Ax atau suaminya, sebenarnya cukup baik, karena dia adalah
teman dekat saya yang sama-sama mengajar di SMU 2 Baucau Timor Timur. Bahkan
setiap hari saya selalu shalat Ashar di rumahnya. Adik dan istrinya juga siswa
saya. Ketika anaknya sakit panas sampai step (kejang-kejang), saya juga yang menolongnya
sampai kondisinya membaik. Karena kebetulan saya dulu penah belajar PPPK
sewaktu masih di pramuka Gudep 15-16
Kotagede Yogyakarta pada tahun 80-an.
Sebagai up-line seharusnya ibu
Ax selalu menepati pembayaran fee kepada saya setiap bulannya. Karena saya juga
akan membayar kepada down-line saya. Tetapi ia tidak pernah menepati janji itu.
Sehingga saya harus nombok setiap bulan untuk menggaji down-line saya. Akhirnya
piutang saya pada dirinya semakin besar sampai ratusan ribu rupiah. Nilai uang
itu terasa besar, karena memang saat itu, pada tahun 1997 belum terjadi krisis
moneter.
Saya berusaha menagih dengan
cara baik-baik setiap hari. Tetapi ia selalu berjanji besok-besok terus. Pernah
suatu hari, saya bertemu bu Ax di bis kota. Saat itu saya tagih lagi. Namun
tetap menolak. Kali ini ia beralasan mau langsung pulang. Saya katakan, “Saya
nggak mau peduli, kamu kan sudah lama menunda, jangan begitu dong!” Setelah
saya desak terus, akhirnya dibayar lunas.
Berobat dari dokter sampai ‘orang
pinter’
Beberapa hari berikut,
menyusul peristiwa itu, istri saya tiba-tiba merasa pusing yang sangat berat
setiap hari. Maka saya mengadu ke teman saya yang dari NTB. Seorang
bapak-bapak. Dia bilang bahwa daerah pak Ax itu memang terkenal sihirnya yang
hebat. Bahkan istri teman saya itu juga mengalami gangguan yang sama dengan
istri saya, sebentar-sebentar juga sering kambuh. Tapi entah bagaimana, teman
saya itu bisa menanganinya.
Karenanya, saya minta bantuan
kepada teman tersebut untuk mengobati istri saya. Entah dengan ilmu apa yang
dia pakai, tetapi nampaknya seperti menggunakan pernafasan tenaga dalam. Ketika
saya tanyakan kepadanya, di menjawab bahwa dia sendiri juga tidak tahu, karena
sejak kecil tangan dia terasa ada suatu kekuatan, dan bisa untuk mengobati, termasuk
anaknya juga begitu. Bahkan katanya ketika ibunya pernah sakit dan dia yang
masih kecil menamparnya begitu saja, akhirnya sembuh.
Dalam pengobatannya, dia
dekatkan telapak tangan kanannya ke dekat tubuh istri saya, tanpa menyentuhnya.
Lalu dengan satu tarikan nafas yang kemudian ditahan, ia mulai mendeteksi
bagian mana yang sakit. Tiba-tiba dia bicara, “Nah di sini ini, aduh lari ke
sini, lari ke sini, wah ini lari ke perut.” Kalau sudah lari ke perut akhirnya
dihentikan terapinya. Selama istri saya dalam proses diterapi, sering terdengar
omongan lewat mulut istri saya, “Saya mau pulang, saya mau pulang.” Sambil
nangis. Ketika ditanya, “Mau pulang kemana?” Dia menjawab, “Itu ke sana, ke
belakang kantor Kejaksaan.” Ternyata itu suara jin suruhan, saya hanya menduga
mungkin yang dimaksud adalah rumahnya bu Ax.
Begitulah. Anehnya, setiap
kali istri saya diterapi lalu saya ketemu pak Ax, tampak muka pak Ax merah
kehitam-hitaman, layaknya orang habis dipukuli begitu, dan dari sikapnya dia
sangat benci kepada saya.
Suatu malam, istri saya
bermimpi melihat burung putih keluar dari kepalanya dan kemudian terbang menuju
rumah di belakang kantor kejaksaan itu. Tapi penyakit yang diderita istri
sayapun belum juga sembuh. Saya juga selalu mengupayakan terapi medis dengan
memeriksakan istri saya ke dokter. Mulai dokter Puskesmas, ke dokter
spesialis penyakit dalam, kemudian harus ke RSUP di Dili yan harus menempuh
perjalan lebih dari 100 km ke arah barat. Istri saya harus dirontgen. Dan untuk
diketahui, semua hasil pemeriksaan dokter itu menyatakan bahwa istri saya tidak
apa-apa.
Kemudian saya bawa ke RSAD.
Setelah diperiksa oleh dokter spesialis penyakit dalam dan ahli penyakit jiwa,
mereka berkesimpulan yang sama, istri saya tidak apa-apa. Justru yang membuat
saya terpukul, dokter malah bilang bahwa istri saya mengalami gejala penyakit
jiwa. Istri saya sendiri tampak sedih dan sesampainya di rumah ia hanya
menangis tersedu-sedu, dan mengatakan, “Saya ini nggak kuat menahan sakit, kok
dibilang sakit jiwa.” Bahkan mamanya juga ikut nangis.
Kami tetap belum puas dengan
hasil pemeriksaan itu, maka kami bawa istri ke dokter spesialis jantung. Hasil
pemeriksaan menyatakan bahwa jantung istri saya bagus. Kemudian kami
membawanya ke dokter THT, di sana dinyatakan ada gangguan THT, maka diberi obat
sakit THT. Meskipun obat sudah habis dikonsumsi oleh istri saya, tetapi rasa
sakit pusing-pusing itu tetap belum berkembang.
Sampai akhirnya ada orang yang
mengajurkan kepada saya untuk terapi ke seorang bapak di suatu tempat di
Timor-Timur, yang dianggap orang pintar yang sering mengobati segala macam
penyakit. Kebetulan ia ini berasal dari Ujungpandang satu daerah dengan istri
dan bahkan senior istri saya ketika masih sama-sama sekolah.
Maka kami cepat akrab dengan
dia, dan terapinya menjadi rutin karena memang nggak pakai syarat apa-apa, yang
penting datang dan bismilah niat berobat. Tetapi, ya, dat nyeng
(gangguan itu selalu datang dan pergi). Setiap sepuluh hari, atau lima belas
hari saya balik ke sana. Saya perhatikan terapinya dengan memegang ibu jari
istri saya dan dia baca bismillah dan seterusnya saya tidak mendengar apa yang
dia lafalkan lagi, tampaknya dia rahasiakan. Orang-orang banyak bilang, si
bapak itu orangnya dugdeng (sakti), dan orang Timor Timur takut sama
dia. Katanya, karena ia pernah mengalami kecelakaan lalu lintas dan banyak
luka-lukanya. Lalu dia usap luka-lukanya itu dengan telapak tangan kanannya.
Terus luka itu hilang dan sembuh.
Saya pernah tanyakan
kepadanya, tentang ilmunya itu dari mana didapatkan. Dia jawab, “Guru saya
pernah suatu ketika sedang menjalani ilmu, beliau berjalan-jalan di pantai
Sulawesi, tiba-tiba beliau melihat ikan cumi-cumi terdampar di pinggir pantai,
maka beliau dekati dan ambil. Tiba-tiba cumi-cumi itu berubah menjadi manusia
kecil dan bilang kepadanya akan mengajarkan ilmu-ilmu untuk pengobatan. Maka
sejak saat itulah manusia kecil itu ikut beliau dan saya dituruni ilmu itu.”
Tapi entahlah, saya sendiri tidak tahu.
Sebelumnya ada juga yang
menunjukkan kepada saya ‘orang pintar’ di Timor Timur yang berasal dari sebuah
daerah di Jawa Timur. Orang kalau datang ke sana untuk berobat, harus membawa
ayam, kemudian disembelih di situ untuk makan bersama-sama, dan katanya
keesokan harinya penyakitnya keluar sendiri. Saya katakan, “Wah ini model
dukun seperti di Jawa sana.” Dan saya pun nggak mau ke sana.
Kondisi istri semakin buruk
diperparah lingkungan
Kondisi istri saya semakin
memburuk ketika pada suatu hari yang kelam ia melihat pembantaian besar yang
dilakukan orang-orang Fretelin terhadap 20-an orang anggota POLRI yang
ditugaskan sebagai PAMSUNG. Ketika mereka naik truk, tiba-tiba mereka mendapat
serangan dengan senapan mesin dari bebagai arah. Akhirnya mereka semuanya
meninggal dan dibakar langsung di atas truk itu sampai habis semuanya jadi
arang. Tubuh-tubuh yang tadinya kekar itu, menjadi meringkuk dan tulang belulangnya
merapat hingga pendeknya tidak ada satu meter. Kebetulan rumah kami di atas
gumuk tepatnya di belakang kantor POLRES. Seluruh jenazah anggota POLRI yang
dibantai itu disemayamkan di kantor itu. Peti mati telah berjejer di situ dan
tampak jelas dari jendela kaca yang terlihat dari rumah kami. Apalagi, istri
Kapolres itu adalah teman mengaji istri saya, maka istri saya jadi
sangat-sangat ikut sedih dan prihatin bersama. Bencana itu benar-benar
memperburuk kondisi istri saya.
Apalagi, setiap hari kami
sering mendengar tembakan. Ya siang, ya malam terus menerus begitu dan
suasananya tegang sekali. Istri saya tampak seperti orang linglung. Ditambah
lagi setiap malam, mendengar jeritan kesakitan dari orang yang tertangkap dan
menghadapi interogasi di kantor POLRES itu. Tidak itu saja, semua itu juga
berimbas kepada anak saya, karena dia juga sering melihat suasana yang semacam
itu.
Setelah kurang lebih setahun
menghadapi gangguan semacam itu, saya dimutasikan ke daerah lain, ke Ambeno.
Karena suasana di Baucau tidak aman, sering terjadi tembak-menembak, suara
senapan di tengah malam yang memekakkan gendang telinga. Daerah yang saya tuju
sangat sulit medannya. Saya masih teringat saat kami pindahan itu. Kami harus
naik kapal dari siang sampai malam hari, dan turunnya baru jam 03.00 pagi.
Itupun, kapal tidak bisa merapat ke dermaga karena ombaknya begitu besar.
Akhirnya awak kapal melepaskan sekoci. Sedangkan kami harus turun dengan
tangga tambang. Lampu sorot dari atas kapal dengan terang menyinari kami yang
mendekati air laut yang tampak hitam kelam, berkali-kali istri saya gagal turun
ke sekoci. Karena goncangan ombak begitu keras, sehigga sekoci terbentur
dinding kapal itu. Bersyukur akhirnya kami berhasil naik sekoci itu bersama dua
awak kapal.
Setelah kami mendekat ke
dermaga, kami mencari pantai yang landai untuk mencapai daratan, karena kalau
melalui dermaga terlalu tinggi kami bisa terbentur dinding. Begitu kami sampai
ke pinggir pantai yang landai kami langsung loncat turun dan segera
menyelamatkan sekoci agar tidak dihantam ombak. Setelah kami turun dan barang
bawaan diturunkan semua, kami kembali ke sekoci itu lagi untuk mengecek
barangkali ada yang tertinggal. Ternyata,
sekoci itu sudah digulung ombak dan tertimbun pasir, untung bukan kami
yang tergulung ombak. Maka awak kapal harus mencari cangkul untuk mengangkat
sekoci itu.
Setelah kami shalat subuh di
kampung itu, saya, isteri dan anak pertama saya Saif (4 tahun) harus
melanjutkan perjalanan yang lebih melelahkan. Betapa mahal nilai sebuah
perjuangan pendidikan. Kami harus melalui lima kali penyeberangan sungai yang
belum ada jembatannya. Jadi jalan itu terputus oleh sungai-sungai itu. Istri
saya sampai nangis-nangis kemekelen (tersedu-sedu), karena ia saat itu
sedang hamil enam bulan.
Bulan Januari 1999 saya mulai
aktif di SMPN 3 Nitibe Ambeno. Itulah tempat tugas baru saya sebagai kepala
sekolah. Selama delapan bulan saya berada di komplek guru, sedangkan istri saya
karena akan melahirkan anak kami kedua, maka saya kirim ke Makassar. Kondisi
medan di sana sangat berat, pasar saja adanya hanya seminggu sekali. Saya hanya
mengingat betapa tinggi nilai sebuah cinta dan kesetiaan. Istri sebelumnya
tinggal di kota, tetapi saat itu ia rela mengikuti saya sampai di pelosok tanah
air yang akhirnya lepas dari peta Nusantara setelah dilakukan jajak pendapat.
Pada waktu itu kebetulan ada
kapal pengungsi yang mau pulang ke Ujungpandang. Orang Makassar yang mau
pulang hanya membayar setengah harga tiket. Maka istri dan anak saya ikut kapal
itu. Istri saya melahirkan di kampungnya. Tetapi ini mungkin perjuangan yang
lebih berat lagi dibandingkan sebelumnya. Bidan yang menunggu-nunggu proses
kelahiran itu, akhirnya tidak sabar dan istri saya ditinggal pergi. Nah, di
saat bidan itu tidak ada, istri saya melahirkan anak saya yang kedua. Ia hanya
ditemani anak saya yang masih 4 tahun itu. Karena kebetulan, ibu mertua waktu
itu juga belum datang.
Pada bulan Juni 1999 saya baru
bisa menengok istri yang sudah melahirkan buah hati saya yang kedua tanpa saya
di sampingnya. Luapan kegembiraan kamipun tidak bisa terabaikan. Sehingga kedua
bola mata kami pun tidak sanggup membendung butiran airmata kerinduan, keharuan
dan kebahagiaan di saat kami bertemu dengan istri dan anak-anak.
Hari-hari bersama istri begitu
pendek rasanya, karena saya harus segera kembali ke Ambeno, Timor Timur.
Tetapi setelah saya sampai di sana, keadaan sudah berubah. Sudah mulai ada
kekacauan. Bahkan saya sendiri sebagai kepala sekolah yang sering berhubungan
dengan pak Camat, pak Kapolres, Pak Danramil, dianggap mouhu
(mata-mata/intelejen) oleh orang Fretelin sana. Mereka mengancam saya dengan
menempelkan plakat di sekolah yang isinya akan menghabisi saya dan anak istri
saya. Tetapi keadaan cepat sekali berubah, karena ABRI pada waktu itu di atas
angin, dengan terbentuknya milisi-milisi pro Indonesia di mana-mana di seluruh
timTim.
Nah, orang yang menandatangani
plakat ancaman itu, atas namanya Aji Ayat/Fransisco Pa Chunha sangat takut
melihat perubahan itu. Ia bahkan terkencing-kencing dan menemui saya, dan
berikutnya sangat hormat kepada saya. Tetapi di sisi lain, anak-anak muda itu
memusuhi saya, karena saya dianggap anggota intelejen, tukang lapor. Mungkin
mereka mendengar dari murid-murid saya yang dari Baucau itu. Karena saya dulu
tinggal di tanah komplek Kodim.
Sebelum jajak pendapat, kami semua di sana
yakin bahwa kita pasti menang, karena seluruh orang asal Timor Timur yang menyebar
di bebagai daerah di Indonesia pada pulang ke sana untuk ikut mendukung pro
integrasi. Bahkan ada Dandim yang datang membawa truk penuh dengan penumpang
dari Indonesia lama dan menginap di sekolah saya. Saya dan teman-teman menyambut
mereka dengan gembira, karena mereka datang sebagai pejuang untuk menjaga
keutuhan wilayah Indonesia. Pada hari jajak pendapat, seluruh rakyat menyambut
gembira. Tetapi anehnya banyak LSM dari Jawa tidak diperkenankan untuk
menghadiri penghitungan suara. Jadi semua dari pasukan PBB. Dan tampaknya
dari departemen luar negeri juga tidak bisa berbuat apa-apa. Karena datangnya
sudah sore hari dan semua kotak suara sudah dikemasi.
Sehari setelah jajak pendapat,
saya menyembelih dua ekor kambing aqiqah untuk anak saya. Kemudian saya
bagikan ke teman-teman pejuang pro integrasi dan polisi yang berjaga di sana. Setelah itu saya
beriap-siap untuk pulang dengan naik sepeda motor ke pelabuhan. Tapi kapal
sudah jalan dan saya harus ke pelabuhan lain dengan menempuh perjalanan dua jam
lagi. Saya harus menyeberangi lima sungai lagi, dan sampai di pelabuhan
ternyata kapal pengangkut kayu itu sudah mau jalan, sehingga saya nggak
bisa mendekat untuk naik kapal kayu itu. Akhirnya saya dipanggul oleh awak
kapal, dan motor saya dipikul dua awak kapal lain yang menyeberangi air laut
dengan ke dalaman sedada. Saya duduk di atas papan kayu. Di bawah saya muatan
binatang sapi yang mau dibawa ke Kupang. Saya tanyakan kepada awak kapal,
kira-kira sampai di Kupang jam berapa? Dia jawab, “Jam tiga sore”. Saya agak
lega dengan jawaban itu, karena nanti jam 06.00 sore bisa naik kapal ke Ujung
Pandang. Tetapi ternyata kapal kayu itu sampai di Kupang setelah jam 12.00
malam. Saya terpaksa tidur di pelabuhan Tenao. Setelah beberapa hari
berikutnya saya melanjutkan perjalanan ke Ujung Pandang dengan kapal dan
alhamdulillah bisa kembali bertemu istri dan anak-anak.
Ketika saya di Tenao, saya
mendengar berita hasil jajak pendapat di Timor Timur ternyata kita kalah telak.
Saya benar-benar kaget, dan setengah tidak percaya. Saya tahu persis bagaimana
masyarakat TimTim bersemangat untuk tetap bergabung dengan Indonesia. Saya
yakin ini pasti ada kecurangan dari pelaksana.
Saya dengar dari teman-teman
dosen di Amerika, ketika mereka naik pesawat, di atas pesawat itu ada kotak
suara yang dimintakan bagi setiap penumpang untuk memilih kemerdekaan bagi
Timor Timur. Kemudian kotak suara itu yang dikirim ke TimTim.
Akhirnya saya dan isteri
memutuskan untuk tidak balik ke TimTim. Karena bagaimana mungkin ke sana,
TimTim bukan lagi bagian dari negara kita. Saya menyesal sekali, karena tidak
mudah meninggalkan daerah yang penuh kenangan, selama saya mengabdikan diri
di dunia pendidikan. Semua pakaian saya dan barang-barang saya masih tertinggal
di sana. Termasuk pesawat radio, televisi dan lainnya. Sebelum saya pulang ke
Ujung Pandang saya yakin dan bilang sama teman-teman di sana, sebentar lagi
kita akan kembali aktif mengajar lagi di SMPN 3 Nitibe Ambeno.
Memulai Hidup Baru di Yogyakarta
Kondisi istri saya masih
pusing-pusing terus, maka kami bersepakat untuk pindah ke Yogyakarta. Dengan
naik kapal dari Ujung Pandang dan turun di Surabaya. Kemudian disambung naik
bis jurusan Yogyakarta.
Namun setelah kami sampai di
Yogyakarta, istri saya semakin berat dan parah kondisinya. Sebab lingkungan
kami di kampung Joyopranan, Desa Singosaren Banguntapan Bantul, jauh berbeda
dengan suasana kampung istri. Rumah di sini besar-besar, pagarnya
tinggi-tinggi, pintu selalu tertutup. Jarang ada orang saling bertandang ke
tetangga, sehingga isteri di rumah merasa sendiri.
Kami berusaha terus dengan
terapi medis, ke dokter-dokter ahli seperti sampai di rontgen bekali-kali. Dari
hasil pemeriksaan itu, istri saya diberi obat juga dan dikonsumsi istri sampai
habis. Kondisi pusing-pusingnya tetap dan belum berubah.
Ketika kami bersilaturahmi ke
rumah saudara sepupu saya, dan saya ceritakan kondisi istri saya, maka saudara
saya itu bilang bahwa istri saya itu kesambet (ketempelan makhluk halus). Pada
waktu itu, kakak sepupu saya mengajak seorang temannya untuk mengobati istri
saya dengan ilmu tenaga dalamnya. Mereka berputar-putar di sekeliling istri
saya dan bilang ini hari harus dilepas ikatannya. Kemudian di lain hari kakak
sepupu datang, dia bilang, “Nah itu, sudah lari ke sana. Insya Allah tidak
apa-apa.” Memang kondisi istri saya membaik, meskipun akhirnya kambuh lagi dan
lebih parah. Bahkan untuk berjalan sebentar saja sudah nggak kuat.
Kemudian
ada yang memberitahu kami agar mencoba apa yang disebut dengan “Terapi Zona” ke
rumah seseorang di Jogyakarta juga. Saya pun ke sana. Setelah itu terasa lebih
ringan, tetapi beberapa hari berikutnya sakit lagi dan tetap seperti semula.
Ruqyah dengan Ustadz Fadhlan
Hari-hari berjalan seperti
biasa. Juga dengan kondisi istri saya yang tak kunjung berubah. Sampai suatu
ketika, saya sedang pergi ke toko buku Iqro AMM Kotagede yang kebetulan cuma di
sebelah rumah saya. Di sana saya ngomong-ngomong dan cerita dengan teman-teman
yang sudah lama nggak ketemu. Sampailah kami bercerita tentang istri
saya. Maka, mereka menyarankan untuk berobat ke kang Fadhlan di Dalem Kotagede.
Begitu mendengar nama itu, saya langsung ingat, dan bilang kepada mereka, “Wah,
saya ingat betul siapa Fadhlan itu, karena dia adik kelas saya di Ma’had Islamy
Kotagede dan binaan saya di Pramuka Gudep 15-16 Kotagede tahun 80-an.”
Maka, saya sekeluarga ke
rumahnya. Alhamdulillah dia dengan senang hati menyambut kehadiran saya
sekeluarga. Apalagi sudah lebih dari lima belas tahun kami nggak ketemu.
Setelah saya sampaikan maksud
saya, maka Ustadz Fadhlan meminta isteri saya berwudhu, kemudian berbaring dan
mendengarkan kaset terapi gangguan jin yang disetel dengan volume tinggi. Ayat-ayat Al-Qur’an dibaca dengan tartil. Itu
ternyata berpengaruh besar terhadap istri saya. Sebab, tiba-tiba istri
menjerit-jerit kesakitan.
Ustadz Fadhlan menjelaskan
kepada saya, “Ini bukan suara istri kang Helmi, tetapi ini suara jin yang ada
di dalam tubuhnya, jin itu terbakar dengan ayat-ayat ini.”
Setelah kaset terapi selesai
diperdengarkan, maka Ustadz Fadhlan mengenakan sarung tangan dari kulit dan
menempelkan telapak tangan kanannya di atas ubun-ubun istri saya. Kemudian
membacakan ayat-ayat dan do’a yang cukup panjang ke segelas air sirih. Kemudian
istri saya disuruh duduk dan minum air itu. Ustadz melakukan pukulan keras di
punggung istri saya saat istri meronta-ronta, sampai akhirnya diam. Tapi istri
saya kemudian bercerita bahwa ia tidak merasakan sakit saat dipukul keras
itu.
Setelah terapi itu, pusing-pusing
itu mulai berkurang. Ustadz Fadhlan menyarankan untuk banyak mendengarkan
kaset Ruqyah ini di rumah. Saya bilang terus terang saja, saya tidak punya
tape. Alhamdulillah ustadz Fadhlan dengan senang hati meminjamkan walkmannya
dan kaset ruqyah untuk saya pakai terapi di rumah. Karena saya sekeluarga
datang ke Yogya ini tidak membawa apa-apa dan (barang-barang) sudah
habis-habisan di TimTim sana.
Setelah satu pekan, saya
sekeluarga datang lagi ke Ustadz Fadhlan untuk terapai istri saya lagi. Seperti
proses sebelumnya, jin di dalam istri saya menjerit-jerit minta pulang dan
mengatakan, “Ibu ini orangnya baik, saya yang bersalah.”
Anehnya, suara itu persis
dengan suara bu Ax yang pernah saya tagih utangnya dulu. Ustadz bertanya dengan
membentak, “Kamu mau pulang kemana?” Jin menjawab, “Ke Timor Timur.” Maka,
dengan pukulan keras lagi jin itu dibentak untuk keluar, “Ukhruj ya
Aduwallah.” (keluarlah wahai musuh Allah).
Setelah terapi itu, istri saya mulai
bisa naik motor sendiri. Tetapi kalau masuk pasar atau bank terasa pusing lagi.
Kemudian diterapi dengan kaset. Dan pusing itu kembali hilang. Kata Ustadz
Fadhlan di situlah tempat yang banyak syetannya. Baik syetan manusia atau
syetan jin, perbanyak baca doa perlindungan kalau mau masuk ke tempat itu.
Setelah empat kali diterapi di rumah ustadz Fadhlan dan juga terapi mandiri di
rumah, alhamdulillah istri saya sembuh total sampai sekarang. Saya benar-benar
bersyukur kepada Allah. Apalagi kami kini bisa hidup bersama istri dan
anak-anak saya. Meskipun, kami tidak akan pernah bisa menghapus segala kenangan
saya selama di Timor-Timur, suka maupun dukanya.
Sumber majalah Ghoib
Tidak ada komentar:
Posting Komentar