Pada
mulanya aktifitas kehidupan saya normal saja. Walaupun harus ditinggal suami
yang hanya pulang seminggu sekali. Saya bersama penduduk sudah biasa mengadakan
pengajian dan ngaji bersama. Alhamdulillah,
mungkin karena profesi sebagai guru, saya sangat mudah diterima penduduk
sekitar.
Hingga datang lah
peristiwa itu. Ketika bulan Desember
1999, orang-orang Nasrani yang hanya berjumlah 7 KK bersikeras mendirikan
gereja diatas tanah milik Bapak Suyitno (75 tahun). Lokasi itu hanya berjarak 300 meter dari
rumah yang saya tempati.
Kontan masyarakat Plumbon, Suruh yang
sebagian besar adalah muslim resah.
Namun mereka tidak berani berbuat apa-apa dengan aparat pemerintah.
Masyarakat menumpahkan kegundahan hatinya pada saya lewat pengajian dan
perkumpulan yang biasa saya lakukan. Melihat kondisi itu, saya bersama suami
mengambil inisiatif mengumpulkan seluruh masyarakat dan mengkoordinasi
demontrasi pada aparat setempat. Dan
alhamdulllah, akhirnya gereja itu tidak jadi dibangun.
Namun, setelah peristiwa itu berlalu.
Tiba-tiba, setiap kali membaca Al Qur’an, saya terasa ngantuk yang amat
sangat. Kondisi itu disertai dengan
pegal-pegal di pundak kanan, dan bengkak di bagian leher. Dan, tiba-tiba saya mempunyai kebiasaan aneh.
Saya sangat gembira kalau memandang salib.
Sehingga setiap berangkat dan pulang mengajar, saya selalu menyempatkan
diri melewati bangunan gereja di sepanjang perjalanan pulang. Dan ketika melihat jurang, hati ini terasa
enak dan sejuk, dan seperti ada yang mendorong saya untuk terjun ke
dalamnya. Namun alhamdulillah, hal itu
masih bisa saya lawan dengan mengucapkan kalimah toyyibah: Laa ilaaha
illallah. Peristiwa seperti ini saya
alami hingga 1 tahun.
Hingga tahun 2000, muncul sebuah benjolan aneh
sebesar bola pimpong di leher sebelah kanan.
Benjolan itu terasa sakit. Dan
tangan saya seringkali bergerak sendiri tanpa kontrol. Bahkan seringkali tangan saya tiba-tiba mau
memukul teman-teman guru yang sholeh.
Kalau saya membaca kalimat tauhid, baru tangan bisa saya kontrol
kembali.
Namun bersamaan dengan itu, muncul sebuah
peristiwa lain, ada seorang gadis yang dibawa lari pemuda desa. Orang tua gadis
itu meminta suami saya untuk ikut bersama mencarinya. Dan akhirnya diketahui bahwa gadis tersebut
dibawa sopir angkot yang biasa ditumpanginya.
Alhasil, mereka ditangkap dan disidang ramai-ramai oleh ketua RT dan
RW. Dan mereka mengakui kalau sering
malakukan perzinaan. Setelah kita minta
taubat dan meninggalkan dosa, mereka pun dilepaskan. Tapi anehnya, orang tua pemuda dan gadis itu
justru marah kepada suami saya. Karena suami saya dianggap telah mencemarkan
nama baik keluarganya.
Tak lama setelah peristiwa itu
berselang. Santri saya di TPA Masjid Al
Hakim, melihat orang tua gadis yang suka kabur itu memasukkan bungkusan dalam
lubang galian tanah di bawah pohon kol Banda yang terletak di halaman rumah
saya. Dan karena dikiranya menanam uang,
begitu bapak gadis itu pergi, santri saya itu buru-buru mengambil dan membukanya. Ternyata isinya rajah dengan tulisan Arab
terbalik (diacak). Maka segera rajah itu
kami bakar.
Keesokan harinya, tiba-tiba seluruh tembok
rumah kami dipenuhi ulat jaran (ulat besar berbulu). Ulat itu memenuhi seluruh tembok sehingga tak
ada celah sedikit pun. Padahal saat itu
belum musim ulat. Dengan terus
beristighfar kami berdua kemudian membersihkan dan membakar ulat-ulat itu