Sabtu, 05 Oktober 2013

Aku terbelenggu cinta sesama jenis

ALAMAT RUQYAH SYAR'IYYAH DAN BEKAM
JL. PERCETAKAN NEGARA IX A NO 79 B RAWASARI  JAKARTA PUSAT 
BUKA PRAKTEK BEKAM SETIAP HARI DARI JAM 09.00 S/D 17.00 TERMASUK HARI LIBUR DILUAR JAM BISA JANJIAN MENERIMA BEKAM PANGGILAN, BEKAM MASSAL, BEKAM SUAMI ISTRI , BEKAM KEPALA TANPA HARUS MENCUKUR RAMBUT DLL, Tlp : 0815 11311 554 , 0812 828 11254 WA / SMS 
Putri, 30 tahun, eksekutif muda

Harus darimana aku memulai kisahku ini, sulit rasanya. Tapi baiklah, sebut saja namaku Putri, kelahiran 30 tahun silam di Kudus, Jawa Tengah. Aku lahir dan dibesarkan di tengah keluarga baik-baik dan berkecukupan. Satu hal yang kubanggakan dari ayah adalah semangatnya untuk belajar dan terus belajar. Sesuatu yang menurun pada diriku.

Masa-masa kuliah di salah satu perguruan tinggi ternama di Jawa Tengah, kulalui dengan mulus. Meski disibukkan dengan kegiatan ekstra kurikuler, tapi hal itu tidak mempengaruhi nilai akademisku. Bahkan banyak pelajaran berharga yang kureguk kala bergelut dengan dunia organisasi.

Pengalaman yang memudahkanku meraih prestasi di dunia kerja. Hingga sekarang, terbilang sudah lima perusahaan yang pernah kulewati. Semuanya dalam posisi yang strategis dan sangat menjanjikan. Sekarang, aku menjadi asisten manajer di PMA Jepang.
Enam tahun silam, aku mengakhiri masa lajangku. Kebetulan, Allah mempertemukanku kembali dengan pemuda satu angkatan di atasku. Mas Hanif, begitu aku biasa memanggilnya. Waktu kuliah, kami sama-sama aktif di organisasi. Kami sering bertemu dan bertukar pikiran. Tapi bukan berarti kami telah merajut cinta. Hubungan kami masih sebatas teman satu organisasi yang sering menyuarakan sikap yang sama.

3 Tahun Terperangkap Cinta Dukun Cabul

Jangan mudah terbawa perasaan, lalu memperturutkan apa kata hati. Meski telah dikhianati orang yang paling dipercaya selama ini. Karena akibatnya bisa lebih fatal. Seperti kisah Nita, seorang janda yang dikhianati suaminya. Niatan untuk membalas dendam melalui tangan dukun berbuah petaka. Tiga tahun Nita terperangkap dalam dekapan dukun cabul. Berikut petikan kisahnya sebagaimana disampaikan kepada Ustadz Awaludin dari Ghoib Ruqyah Syar'iyyah cabang Jambi.
Perkenalanku dengan Rian bukan sesuatu yang kebetulan. Kebiasaanku minum es degan di warung depan kampusnya, membuat kami sering bertemu. Terutama jika jam istirahat, kebetulan juga kantor tempatku bekerja letaknya tidak jauh dari kampusnya Rian. Keseringan bertemu dan kesukaan pada menu minuman yang sama membuat kami sering bertegur sapa, bertukar cerita, hingga akhirnya suatu hari ia memberanikan diri ingin mengajakku nonton dan jalan-jalan.
Mendapat ajakan itu, rasanya aku seperti mendapat durian runtuh, bahkan mungkin lebih. Saat itu aku merasa lebih gembira mendengar ajakan Rian daripada informasi kenaikan gaji dan bonus yang akan kuterima bulan depan. Bagaimana tidak, gadis seusia diriku, yang selama ini hanya bisa berhayal mempunyai seorang kekasih… . Oh, belum apa-apa aku sudah membayangkan yang bukan-bukan. Padahal ajakan Rian baru sebatas nonton, jalan-jalan… dan Rian belum menyatakan apa-apa.
Oh …. tidak. Aku harus bisa mengendalikan diri. Meski tidak bisa kupungkiri bahwa dalam hati ini memendam harapan dan rasa cinta.  Aku jadi GR dan sering salah tingkah. Apakah itu yang namanya jatuh cinta? Entahlah, aku tidak lagi mempedulikannya. 

Ajian pengasihan membawaku kencan dengan tujuh belas cewek

Lira, 22 tahun, karyawan swasta.

Play boy SMA. Lira pantas mendapat julukan itu. Ia suka bergonta-ganti pacar. Tak kurang dari tujuh belas cewek sempat mampir di hatinya, saat ia masih berseragam putih abu-abu. Fantastis. Tujuh belas bukan jumlah yang sedikit. Mengapa begitu banyak cewek yang tergoda? Apa rahasianya? Lira menuturkan kisahnya kepada Majalah Ghoib di Jakarta. Berikut petikannya.
Palembang, 2.000
Hari masih pagi. Jarum jam baru menunjuk angka 10. Aku duduk di bawah pohon rindang di samping sekolah. Sudah lima menit kutinggalkan ruangan kelas dengan segala hiruk pikuknya. Aku ingin menyendiri, menghilangkan segala keresahan yang ada. Kupilih pohon rindang itu, karena tak seorang pun ada di sana. Sebagian teman memilih bermain bola. Ada juga yang bertahan di ruangan kelas atau ke kantin.
Keceriaan teman-teman yang bermain bola plastik di halaman sekolah tak lagi menarik perhatianku. Aku larut dalam kesendirianku. Aku terduduk lesu menatap sepasang muda-mudi yang duduk berdua di kantin sekolah. Linda dan Santo.
Kebersamaan mereka mengusik ketenanganku. Linda. Gadis manis itu sedang mengobrak-abrik perasaanku.  Kebersamaannya dengan Santo mengoyak-oyak hatiku. Mencabik-cabiknya hingga berkeping-keping. Aku tak menyangkal, bila hatiku tertarik dengan gadis berambut panjang itu. Rambutnya yang hitam tergerai bertambah manis dengan pipinya yang lesung.
Masalahnya, aku tidak punya keberanian untuk mengutarakan isi hatiku kepada Linda. Selama ini perasaan itu hanya kupendam sendiri. Perasaan malu dan rendah diri lebih menguasai diriku. Lantaran asal-usul diriku yang bukan berasal dari keluarga kaya. Tidak punya motor, seperti Santo atau teman-teman lainnya.

Aku cemburu pada mantan pacar suamiku

Terbalut cemburu pada mantan pacar suamiku/
Cinta pertama begitu melekat di hati, kata yang pernah pacaran. Hari-hari yang  'indah' itu terasa lengket. Kenangan demi kenangan pun tak mudah hilang, walau telah sekian lama berlalu. Meski, sang pujaan hati pun sudah menjadi milik orang lain. Tidak lagi single. Bila kenangan demi kenangan itu sesekali terlontarkan di hadapan sang istri atau suami, kecemburuan pun tak lagi dapat terhindarkan. Wajar memang. Menjadi tidak wajar, bila kemudian kecemburuan itu ditunggangi oleh jin. Seperti kisah Rine. Seorang ibu muda asal Cirebon, Jawa Barat.
Terus terang, seperti kebanyakan remaja, aku juga punya pacar. Seorang pemuda desaku yang sudah berniat untuk melamarku. Tapi aku menolaknya dengan halus. Kukatakan, bahwa usiaku masih muda. Aku ingin meringankan beban orangtua. Untuk saat itu, aku masih belum siap menikah.
Sebagai seorang wanita, aku juga memiliki kriteria seorang lelaki idaman yang kelak kuharapkan sebagai suamiku. Seorang lelaki yang penyayang, setia, perhatian dan bertanggungjawab. Dan lebih dari itu, aku mengharapkan seorang suami yang rajin shalat. Seorang suami yang mengerti masalah agama, sehingga bisa membimbing diriku serta anak-anakku ke masa depan yang lebih baik.
Sayangnya, kriteriaku itu tidak dimiliki pacarku. Singkat kata dia bukanlah lelaki idamanku. Itulah alasan utama mengapa aku menolak lamarannya dengan alasan belum siap.  
Setelah beberapa hari di rumah, aku bermain ke seorang teman yang secara kebetulan orangtuanya berprofesi sebagai dukun. Aku hanya ingin bersilaturrahmi dan berbagi cerita dengan anaknya. Tidak ada urusanku dengan orangtuanya. Entah kenapa, tiba-tiba orangtua temanku memberikan nasehat. "Kamu tidak usah kerja. Sudah menikah saja dengan tetangga desa kamu. Itu jodohmu," katanya.

Aku Dijadikan Tumbal Nelayan.


Kusminah: Ibu Rumah Tangga
 Aku ditakdirkan sebagai istri seorang pelaut. Meski suamiku bukan seorang nelayan. Kehidupannya di tengah laut tak terlepas dari tugas kantor yang mengharuskannya berkelana di tengah laut. Mas Pri, begitu aku biasa memanggil suamiku. Ia bekerja di perusahaan perkapalan yang bekerjasama dengan nelayan.
Mas Pri ditugaskan di wilayah Indonesia Timur. Di awal-awal pernikahan, kami bertemu sebulan sekali. Selebihnya jarak antara Jakarta dan Maluku memisahkan kami. Ini adalah resiko yang sudah kami sadari sejak awal.
Kesepian adalah harga mahal yang harus kubayar. Aku tahu ini adalah konsekuensi pekerjaan. Tidak mudah bagi suamiku untuk pindah tugas ke Jakarta. Keahliannya masih dibutuhkan untuk menyelesaikan tugas di lapangan. Pilihan terbaik adalah aku yang harus mengalah. Aku yang harus rela ikut kemana suami melangkah. Terlebih aku sudah berbadan dua. Janin tiga bulan dalam kandunganku tidak rela berpisah dengan bapaknya.
Aku menyusul suami ke Maluku dan tinggal di perkampungan nelayan. Berbaur, menyatu dan hidup bersama dengan mereka. Di tengah keseharian mereka, kutemukan sesuatu yang tidak lazim. Gairah dan semangat untuk melaut tidak seperti yang kubayangkan sebelumnya. Rona kesedihan terpancar di wajah-wajah nelayan sepulang dari melaut. Sudah cukup lama hasil tangkapan ikan mereka sepi. Tidak bisa menutupi kebutuhan harian, terlebih mereka harus mencicil biaya kapal perbulan.
      Setiap tahun, katanya ada musim paceklik. Tapi tahun itu, lain dengan tahun-tahun sebelumnya. Ikan semakin sulit didapat. Biasanya, dalam situasi seperti itu, tetua adat perkampungan nelayan mengadakan ritual larung sajen ke laut. Sudah lama mereka menggagasnya tapi belum terlaksana hingga aku berkumpul bersama mereka.

Aku Menggoncang Dangdut dengan Jimat Penglaris

Sheila (38) penyanyi dangdut

Enam belas tahun aku telah malang melintang di dunia tarik suara. Bermula ketika di tahun 90 an, aku menjadi penyanyi bar di sebuah hotel berbintang di Jakarta Utara. Setahun lamanya, kujalani profesi ini. Berangkat pukul tujuh malam, pulang ke rumah jam dua atau tiga dini hari.
Di mata sebagian orang, mungkin ada yang berpandangan negatif. Penyanyi bar identik dengan dunia glamour. Dunia malam yang penuh hura-hura. Di tengah suasana hotel yang melenakan. Aku tidak menyalahkan pandangan mereka. Karena jam kerjaku memang boleh dibilang seperti kalong. Siang istirahat, malam begadang. Sebuah kenyataan yang mengundang orang menganggap penyanyi bar mudah diajak apa saja. Tapi aku bukan wanita sembarangan.
Kerja malam, bagiku, bukan berarti aku harus larut dalam situasi. Aku tidak mau. Meski tidak sedikit laki-laki hidung belang, yang mencoba  mendekati. Bagiku, menyanyi adalah menyanyi. Dan tugasku hanya itu. Aku tidak mau melakukan sesuatu yang bertentangan dengan nurani. Honor yang kudapat sudah lebih dari cukup untuk bertahan hidup di Jakarta.
Setahun lamanya kujalani profesi itu, hingga akhirnya kelelahan fisik membuatkan mundur teratur. Aku terserang typhus. Otomatis, aku harus mengubah pola hidupku. Aku tidak lagi diperkenankan keluar malam.
Memang, selama menjadi penyanyi bar, keluargaku tidak ada yang tahu. Waktu itu, mereka hanya menganggap aku begadang dengan teman-teman di RT sebelah. Kebetulan di sana ada aula yang biasa menjadi tempat mangkal anak-anak muda. Di sanalah setiap malam, aku luangkan waktu bila tidak ada job, tiga kali seminggu.

Keluar Ulat dari Telinga Bayi Berumur Dua Minggu

Bakri, 47 tahun.
Sejauh-jauh burung terbang, ia akan kembali ke sarang juga, kata pepatah. Kehidupanku tidak jauh berbeda dengan burung-burung yang berangkat pagi, pulang sore. Menembus cakrawala hingga berpuluh-puluh kilo, demi sesuap nasi, lalu kembali dengan tenang di sore hari.
Seperti burung-burung itu, aku juga seorang perantau. Jauh bermil-mil dari tanah kelahiranku, Cirebon, Jawa Barat. Bedanya, aku menetap hingga puluhan tahun di tanah rantau, di ibokota Sumatera Selatan, Palembang. Di sanalah, aku merajut hari, menanam harapan. Di sana pula, aku dipertemukan Allah dengan jodohku. Seorang wanita kelahiran Palembang. Jeng Nur. Begitu aku biasa memanggilnya.
Jeng Nur, tipikal seorang istri yang penurut. Demikian pula, ketika di awal tahun 2000, kuputuskan untuk kembali ke tanah kelahiran. Jeng Nur dengan setia mengikutiku. Ia tidak menolak. Meski keenam anak kami juga terlahir di Palembang.
Seperti burung yang kembali di sore hari, aku pun kembali ke pangkuan ibu pertiwi.
Saat main ke rumah orangtuaku, kulihat tulisan terpampang di papan pinggir jalan. "Rumah dijual tanpa perantara". Seandainya, kubeli rumah itu tentu sangat menyenangkan, pikirku. Lokasinya strategis, di pinggir jalan raya Blok A no 1. Solusi tepat bagiku yang telah mengajukan pensiun dini dari kantor. Aku ingin berwiraswasta. Dan tidak selamanya menjadi orang gajian.
Proses pembelian rumah itu berjalan lancar. Istri saya setuju, dan pemilik rumah itu pun sepakat dengan tawaran harga yang kusodorkan. Enam puluh lima juta rupiah. Bahkan ia bersedia mengurus semua surat-suratnya. Aku tinggal menunggu beres saja. "Kamu pulang ke Palembang saja, Sini KTP kamu, biar aku yang ngurus balik nama sekalian," katanya.

Nyawaku nyaris terenggut tangan aparat

Alex 27 tahun, karyawan swasta
Lepas SMA, aku diterima kerja di perhotelan. Bagian pramusaji di café. Di sana, aku bertemu dengan sekian banyak orang yang berbeda latar belakang. Ada pengunjung yang memang murni menginap di hotel. Sebagian yang lain, ada yang memanfaatkannya untuk menikmati gemerlapnya dunia malam.
Kerja di café sendiri, kurasakan mengandung banyak resiko. Aku sering melihat teman-teman dipukul, dibentak atau diberlakukan dengan kasar oleh preman yang mabuk. Terlebih bila kami, pramusaji, harus mengantarkan makanan atau minuman ke night club, segala kemungkinan bisa terjadi.
Suatu ketika, ada seorang teman yang betisnya ditembak oleh Rio, pentolan preman. Hanya karena alasan yang sepele. Rio mabuk. Secara tak sengaja temanku menyinggung perasaannya. Penembakan itu menjadi berita besar di media massa.
Melihat segala kemungkinan buruk juga bisa menimpaku, aku mengiyakan saja, ketika teman-teman mengajak ke dukun. Dalam hati, aku hanya ingin menemani mereka. Tidak terbetik sedikit pun keinginan untuk mencari ilmu kebal, atau ajian pengasihan. Anehnya, setiap kali menemani teman ke dukun, aku selalu ditawari dukun ilmu kesaktian tanpa harus membayar.
Tawaran itu senantiasa kutolak. Ketika ke Lampung misalnya, teman-teman minta diajari ilmu kesaktian. Aku sendiri yang tidak meminta. Tapi teman-teman tidak ada yang dikasih. Anehnya, aku yang justru ditawarinya. Aku tidak tahu mengapa dia ingin mewariskan ilmunya kepadaku. Padahal kami baru bertemu. Tujuanku kesana juga sekadar menemani teman. Tidak lebih.
“Malam ini kamu tidur saja di kamar saya, nanti ilmu saya itu nurun sama kamu,” kata dukun yang sudah paruh baya itu dengan serius. Tapi aku tidak mau. Bukannya apa-apa, aku memang tidak ingin menjadi orang sakti.

Suara Iringan Jenazah Meresahkan Seluruh Keluarga

Kesaksian ibu Asti (30 tahun)

Aku lahir di Jawa Timur tepatnya di kota Jombang 30 tahun yang lalu.  Kota yang lebih dikenal dengan banyak kyai dan para santrinya.  Meski dibesarkan di sana bukan berarti aku juga memiliki pemahaman Islam yang memadai. Boleh dikata, aku nyaris tidak mengenal syariat Islam dengan baik.  Aku hanya mengetahui orang Islam itu yang penting shalat, puasa, dan mengaji. 
Aku dibesarkan di lingkungan keluarga yang berkecukupan secara ekonomi.  Kehidupan masa kanak-kanak dan remaja kulalui dengan mulus tanpa banyak kendala yang berarti.  Papaku memiliki usaha yang terbilang sukses sehingga aku bisa melanjutkan kuliah di sebuah kampus terkenal di kota Semarang. Aku menyelesaikan kuliah pada tahun 1999. 
Semasa kuliah tingkat akhir aku bekerja di kantor papa sebagai bekal pengalaman kelak.  Kenyataannya, pengalaman kerja yang kumiliki memang cukup membantu.  Akan tetapi roda kehidupan tidak selamanya berjalan mulus.  Anak buah papa, sebut saja namanya Nina, menghilangkan aset perusahaan yang nilainya cukup besar.
Meski Nina mau bertanggung jawab atas kesalahan yang dilakukannya, namun belakangan diketahui ada beberapa kejanggalan di balik hilangnya aset tersebut.  Diduga ada beberapa indikasi mistis di balik semua kejadian ini. Seperti ditemukannya taburan garam di rumah dan di kantor.
Hal ini menjadi awal petaka yang menimpa keluargaku.  Kehidupan keluargaku berubah karena papa tidak lagi bekerja di kantor yang dulu.  Ia diberhentikan dengan tidak hormat. Tanpa sepeserpun uang pesangon yang diterimanya.  Secara otomatis bersamaan itu pula aku keluar.  

Tiga kali, aku nyaris diperkosa jin

Maria: (34 tahun) Ibu Rumah Tangga
Enam tahun lalu, aku menikah dengan seorang duda beranak satu. Sebut saja namanya Toni. Ia seorang pelaut. Waktu itu aku masih gadis. Usiaku baru 28 tahun. Untuk ukuran kehidupan kota besar seperti Jakarta, usiaku belum terlalu tua. Boleh dibilang masih belum terlambat menikah. Terlebih aku seorang wanita karir.
Aku bekerja di salah satu bank pemerintah. Sedemikian kuatnya keinginan untuk mengejar jabatan yang setinggi-tingginya, sampai terlintas dalam pikiran untuk tidak cepat-cepat menikah. Toh, tanpa bersuami pun aku dapat memenuhi kebutuhan hidupku. Begitulah prinsipku dulu. Meski tidak sedikit lelaki yang menyatakan cintanya, tapi aku enggan menanggapi mereka.
Suatu sore, telepon rumah berdering. Aku yang sedang asyik membaca tabloid dwi mingguan di sofa, dengan sedikit malas, bangkit mengangkat telepon. Rupanya, suara kakak di seberang sana. Suasana rumah menjadi ramai. Biasa, kalau sudah ngobrol di telepon, ada saja cerita lucu tentang Adit, keponakanku, yang berusia dua tahun.
Tiba-tiba Kakak nyeletuk, “Mar, mau nggak dikenalin dengan duda?” tanyanya dengan nada sedikit bergetar. Mungkin kakak takut menyinggung perasaanku.
“Duda?” tanyaku setengah tidak percaya. “Nggak ah,” tolakku. Sebagai gadis, otomatis, aku langsung menolak. Apalagi ia sudah memiliki satu anak, sementara istrinya pun masih tinggal sekota. Aku khawatir, kelak akan menjadi pergunjingan orang.
“Ya sudah, tidak apa-apa. Tapi besok bisa kan main ke toko? Kebetulan Adit besok minta diajak sekalian ke toko,” tanya kakak. Tanpa curiga apa-apa, aku menyanggupinya. Apalagi sudah tiga minggu, Adit tidak main ke rumah. Aku kangen dengan bicaranya yang cadel.
Minggu pagi, aku bergegas ke toko kakak di bilangan Kuningan, Jakarta Selatan. Aku tidak sabar ingin bertemu dengan keponakanku. Ulahnya yang menggemaskan membuatku tidak ingin berlama-lama di rumah.