Sabtu, 05 Oktober 2013

Aku Dijadikan Tumbal Nelayan.


Kusminah: Ibu Rumah Tangga
 Aku ditakdirkan sebagai istri seorang pelaut. Meski suamiku bukan seorang nelayan. Kehidupannya di tengah laut tak terlepas dari tugas kantor yang mengharuskannya berkelana di tengah laut. Mas Pri, begitu aku biasa memanggil suamiku. Ia bekerja di perusahaan perkapalan yang bekerjasama dengan nelayan.
Mas Pri ditugaskan di wilayah Indonesia Timur. Di awal-awal pernikahan, kami bertemu sebulan sekali. Selebihnya jarak antara Jakarta dan Maluku memisahkan kami. Ini adalah resiko yang sudah kami sadari sejak awal.
Kesepian adalah harga mahal yang harus kubayar. Aku tahu ini adalah konsekuensi pekerjaan. Tidak mudah bagi suamiku untuk pindah tugas ke Jakarta. Keahliannya masih dibutuhkan untuk menyelesaikan tugas di lapangan. Pilihan terbaik adalah aku yang harus mengalah. Aku yang harus rela ikut kemana suami melangkah. Terlebih aku sudah berbadan dua. Janin tiga bulan dalam kandunganku tidak rela berpisah dengan bapaknya.
Aku menyusul suami ke Maluku dan tinggal di perkampungan nelayan. Berbaur, menyatu dan hidup bersama dengan mereka. Di tengah keseharian mereka, kutemukan sesuatu yang tidak lazim. Gairah dan semangat untuk melaut tidak seperti yang kubayangkan sebelumnya. Rona kesedihan terpancar di wajah-wajah nelayan sepulang dari melaut. Sudah cukup lama hasil tangkapan ikan mereka sepi. Tidak bisa menutupi kebutuhan harian, terlebih mereka harus mencicil biaya kapal perbulan.
      Setiap tahun, katanya ada musim paceklik. Tapi tahun itu, lain dengan tahun-tahun sebelumnya. Ikan semakin sulit didapat. Biasanya, dalam situasi seperti itu, tetua adat perkampungan nelayan mengadakan ritual larung sajen ke laut. Sudah lama mereka menggagasnya tapi belum terlaksana hingga aku berkumpul bersama mereka.
Suatu hari kulihat undangan tergeletak di meja. Kuambil undangan itu. Di atasnya tertera nama suamiku. Undangan itu mengharap suamiku untuk hadir di ritual larung sajen yang akan diselenggarakan selama tiga hari. Secara khusus, Danang, salah seorang Tetua adat mengharap Mas Pri sendiri yang mewakili kantor.
Di hari yang ditentukan, Mas Pri menghadiri ritual larung sajen. Sementara aku hanya berdiam diri di rumah. Aku tidak ikut serta ke sana, karena undangan itu bukan untukku.
"Nih minum!" kata Mas Pri sambil menyodorkan sebotol air. Aku mengangguk pelan. Kuambil sebotol air dari tangan suamiku. "Ini air dari ritual larung sajen. Kata Tetua adat harus diminum, biar kamu sehat. Kamu kan lagi hamil," jelas Mas Pri panjang lebar.
Sebagai orang baru, aku merasa terharu atas perhatian Danang yang masih sempat mengirimkan sebotol air. Aku tidak berpikir macam-macam. Meski air itu bukan air biasa. Dengan santainya air kembang itu kuminum seteguk dan sebagian lagi untuk cuci muka. Sementara Mas Pri menceritakan acara larung sajen sambil rebahan di lantai. Ritual itu diselenggarakan di atas karang di tengah laut. Sebotol air yang tersisa separuh itu kemudian kutaruh kembali di atas meja.
Malam itu, suasana perkampungan nelayan sedikit berbeda. Tidak seperti biasanya, lolongan anjing terdengar nyaring. Anjing-anjing itu meraung-raung. Seakan memberi tanda kehadiran makhluk lain di sekitar perkampungan. Bulu kudukku merinding. Aku tak mengingkari bahwa malam itu aku sedikit takut. Sementara suamiku terlelap dalam tidurnya. Ia kelelahan setelah tiga hari mengikuti ritual larung sajen.
Kupaksa memejamkan mata. Di tengah ketakutan itu aku dikejutkan oleh kehadiran sosok tinggi besar. Berbaju hitam. Celana hitam. Ia membawa bungkusan hitam. Entah apa yang dipegangnya. Sosok hitam di tengah kegelapan itu membungkuk. Kulihat tangannya memegang kakiku. Dingin. Aku pun berteriak histeris. Teriakan itu membuyarkan semua yang ada di depanku. Aku yakin tidak sedang bermimpi. Aku melihat dan merasakan sentuhan tangannya yang dingin. Tapi makhluk itu hilang begitu saja. Ia seakan lenyap ditelan bumi
Suamiku terbangun geragapan. Ia terkejut mendengar lengkingan suaraku. Didekapnya aku yang masih gemetaran. Dengan isak tangis, kuceritakan apa yang baru terjadi. Mas Pri, menggeleng setengah tidak percaya. Kuceritakan kembali keganjilan demi keganjilan yang ada. Suara anjing yang terus meraung, hingga udara malam yang terasa berbeda.
Perlahan, Mas Pri memahami apa yang kumaksud. Akhirnya malam itu kami lalui dengan banyak berdzikir dan membaca ayat Kursi. Malam itu menandai berlakunya malam yang mencekam. Dan itu adalah malam pertama.
Setiap malam, aku hidup dalam ketakutan. Sampai akhirnya aku sakit. Yang mengherankan, anjing yang berkeliaran di desa itu selalu menggonggong bila melihatku. Mereka seperti melihat sesuatu yang lain dalam diriku. Sementara orang yang melintas sebelumku tidak dihiraukan oleh anjing-anjing itu. Bahkan tidak jarang ada anjing yang sengaja datang ke rumahku hanya untuk menggonggong.
Kian hari sakitku makin parah. Berita sakitku menyebar ke warga. Kedudukan suamiku sebagai orang yang mewakili kantor cukup terpandang di mata mereka. Tanpa kami minta, ada saja orang yang datang ke rumah memberi minuman. Katanya, minuman itu dari orang pintar. Bahkan ada juga yang memandikanku selama tujuh hari. Katanya, hamil muda harus selalu dimandikan dengan kembang. Aku hanya bisa pasrah. Begitulah adat di perkampungan nelayan itu. Tiap Maghrib dia selalu ke rumah.
Kuturuti kemauan mereka, karena aku ingin segera terbebas dari kelumpuhan ini. Tiga bulan lamanya, aku terbaring lemah di atas tempat tidur. Tergolek tanpa daya. Aku bersyukur, Allah memberi kekuatan kepada janin dalam kandunganku. Hingga tidak terpengaruh dengan keadaan orangtuanya. Sebenarnya aku takut bila terjadi apa-apa dengan janinku. Tapi alhamdulillah semua itu tidak terjadi.
Dalam balutan ketakutan yang semakin kuat itu, akhirnya aku minta diantar kembali ke Semarang. Aku ingin melahirkan anak dalam ketenangan. Mas Pri menuruti kemauanku.
Gangguan itu semakin menguat setelah melahirkan
Sakitku berangsur membaik. Anak pertamaku lahir dengan selamat tanpa banyak kendala. Pertemuan dengan suami pun kembali merenggang. Sebulan sekali, kami baru bertemu. Hal ini memang kurang baik bagi perkembangan anakku. Akhirnya setelah anakku berumur setahun, aku kembali ke Maluku mengikuti suami. Semua itu demi kebahagiaan keluarga ini.
Dua tahun di Maluku, aku mendapat firasat kurang baik. Seolah-olah akan terjadi peristiwa besar. Tiga hari kemudian, terjadilah peristiwa yang menggemparkan. Perang antar agama di Ambon pecah. Peperangan itu menjalar ke mana-mana. Termasuk di perkampungan di mana aku tinggal.
Kami kalang kabut melarikan diri. Waktu itu Danang memberiku ikat pinggang. Katanya, agar kami selamat dalam pelarian. Ikat pinggang itu harus dibawa kemana-mana dalam keadaan suci dan tidak boleh di bawah ke kamar mandi. Aku ikuti pesan tetua adat itu, karena aku memang tidak tahu apa-apa.
Bersama suami dan rombongan, kami terdampar di Pasuruan. Di sinilah aku dan Mas Pri memutuskan untuk menetap dan memulai hidup baru. Apalagi aku sudah mulai mengandung anak kedua. Aku mengontrak rumah, sambil menunggu renovasi rumah yang baru kami beli. Sementara Mas Pri kembali ke perkapalan.
Ikat pinggang dari Danang kukubur di halaman rumah kontrakan. Waktu itu aku tidak tahu bila Ujang, pemilik rumah, sudah memagari rumahnya dengan pagar ghaib yang menyerupai seekor ular berkulit hijau dan belang kuning itu tidak terima kedatangan tamu asing, hingga ia menampakkan diri.
Saat Ujang memberi jaminan rasa aman pun aku hanya mesam-mesem saja. Aku tidak cerita bila sudah melihat binatang peliharaannya. “Kamu di sini tenang saja. Tidak akan ada yang berani mengambil harta kamu, bila kamu ngontrak di sini,” kata Ujang. “Emang kenapa Jang?” tanyaku pura-pura tidak tahu.
“Di sini sudah dijaga ular,” katanya. Dalam hati saya bilang, saya sudah lihat. “Oh ya Jang ya,” kataku sambil mengangguk.
Sebulan, aku mengontrak di rumah Ujang, hingga pada akhirnya ia meninggal dengan cara mengenaskan. Badannya penuh luka benjolan. Bernanah dan mengeluarkan bau anyir. Berhari-hari, Ujang melolong minta tolong. Namun, ajal seakan sulit menghampirinya. Dalam hati aku berpikir, sungguh berat siksanya di dunia.
Sepeninggal Ujang, aku pindah ke rumah sendiri. Kebetulan rumahku sudah selesai direnovasi. Aku gali kembali ikat pinggang yang telah kukubur. Dan kubawa ke rumah yang baru. Di sini, di rumah yang baru, penampakan-penampakan kembali hadir. Di malam pertama, aku disambut dengan suara berdebum di lantai dua. Seperti suara barang yang dilempar keras.
Aku bergegas naik ke atas, tapi tak terlihat seorang pun di sana. Tidak ada benda yang berserakan, atau jatuh ke lantai. Semuanya tetap di tempatnya seperti semula. Pengalaman yang mengingatkanku kembali dengan kenangan pahit di Maluku dulu.
Aku bergegas turun ke bawah. Kudekap anakku yang tertidur pulas. Aku bersyukur, ia tidak terganggu dengan dentuman suara itu. Ingatanku kembali kepada Mas Pri yang jauh di seberang sana. Entahlah, apakah ia merasakan keanehan seperti yang kurasakan ini, aku tidak tahu. Yang jelas, kerinduan dalam hatiku kembali membuncah. Dalam suasana seperti ini aku sangat membutuhkan kehadirannya.
Suara berdebum di malam pertama itu merupakan sebuah pertanda. Bahwa ada makhluk lain yang tinggal di lantai atas. Beberapa kali makhluk tak diundang itu menampakkan diri kepada warga sekitar. Mereka pun bercerita, “Kus, ada bapak-bapak yang tinggal di lantai atas rumahmu. Badannya tinggi sekali. Sekitar dua meter. Bajunya hitam,” kata Imah, seorang tetanggaku.
Aku tidak menyangkal apa yang mereka ceritakan. Karena sudah beberapa kali aku melihat kehadiran makhluk itu. Tapi di hadapan Imah, aku pura-pura tidak tahu. Aku tidak ingin mereka takut dan enggan bermain di rumahku. “Ah, nggak ada. Ibu nakut-nakuti saya saja,” kataku mengelak.
Setelah kelahiran anak yang kedua, aku mulai sensitif bila ada orang yang meninggal. Ada desiran halus yang menandakan seseorang akan meninggal. Firasat itu seringkali benar. Dimulai dengan bulu kuduk yang merinding lalu mulai kesakitan di sekujur badan. Badanku meriang. Bila perasaan seperti ini muncul, maka itu adalah pertanda datangnya kematian. Kekuatan ini justru membuatku semakin tercekam ketakutan.
Kian hari firasatku semakin kental, hingga akhirnya orang di sekitarku mulai percaya dengan ramalan kematianku. Ada saja yang kemudian mereka pertanyakan kepadaku.
Sampai akhirnya, aku sendiri yang ketakutan luar biasa. Kekalutan  ini bermula ketika aku mendengar takbir lebaran dari masjid. Gema takbir yang membahana berulang-ulang itu seakan merontokkan jiwaku. Aku berteriak histeris. “Panaaasss. Panaaassss.” Ibu mertua yang sejak kehamilanku mulai membesar tinggal di rumahku berusaha menenangkan diriku.
Aku mulai tenang. Ketika Mas Pri menghubungi via telpon, aku menangis. Aku merasa sedih, di saat lebaran seperti ini harus tinggal berjauhan. Aku ceritakan peristiwa semalam. Mas Pri minta maaf, karena belum bisa pulang. Ia lalu memberiku wiridan. Kuamalkan wiridan itu. Tapi semakin lama kuamalkan, hatiku semakin gelisah. Hingga akhirnya aku berteriak histeris. “Aku mau pulang. Aku mau pulang,” aku terus berteriak sambil berlari ke sana kemari. Semua itu kulakukan tanpa sadar. Aku tidak lagi ingat punya anak dan suami.
Dalam ketakutan itu, aku mengajak ibu mertua untuk wiridan. “Bu, aku disantet orang. Ayo wiridan bu!” kuajak ibu mertua wiridan. Saat wiridan itu badanku bergoyang-goyang. “Ayo bu. Ayo bu. Aku disantet bu!” Aku semakin yakin bila disantet. Aku kalut. Kuminta ibu mertua membawaku pulang ke orangtua di Semarang. “Bu, pulang saja bu. Antar aku ke Semarang bu!”.
Kondisiku semakin parah. Kekuatan lain dalam diriku semakin tidak dapat kukendalikan. Akhirnya ibu mertua mengantarkan aku ke Semarang sambil menggendong anak keduaku yang masih orok.
Disuruh makan ekor kucing hitam
Sesampai di Semarang, aku dibawa berobat ke orang pintar. Ki Dargo namanya. Padepokannya hanya berjarak satu kilo meter dari rumah ibu. Menurut ibu, ketika masuk  ke padepokan Ki Dargo aku berlagak tak ubahnya seorang jagoan. Dengan berkacak pinggang, aku tantang Ki Dargo. “Ilmu kamu setinggi mana?” kataku. “Aku mau pulang. Kalau kamu benar-benar tinggi ilmunya, antarkan aku pulang!” bentakku dengan sengit.
Ki Dargo tidak menduga mendapat tantangan itu. Namun, ia masih berusaha tenang. “Emang, rumahmu dimana?” tanya Ki Dargo. “Di Maluku,” kataku. Ki Dargo mengira aku masih trauma perang saudara di Maluku dan masih membekas. Karena itu ia menyarankan agar aku dibawa ke rumah sakit jiwa.
Orangtuaku menuruti nasehat Ki Dargo. Aku dibawa ke rumah sakit jiwa. Selama di rumah sakit, aku mengoceh tidak karuan. Aku sebutkan keburukan orang-orang di Pasuruan. Tetanggaku dan orang-orang yang selama ini aku kenal. Perawat di rumah sakit itu hanya bisa geleng-geleng kepala melihat ulahku.
Seminggu di rumah sakit tidak ada perubahan berarti, bahkan setiap mendengar suara adzan, aku ketakutan luar biasa. Mataku blingsatan dan secepat kilat kucabut selang infus. Aku berlari dan bersembunyi. Hingga pada akhirnya Mas Pri datang seminggu setelah aku dirawat.
Mendengar keanehanku, Mas Pri teringat peristiwa di Maluku beberapa tahun lalu. Ia mencoba menenangkanku dengan membaca ayat Kursi. Aku berontak. Telingaku terasa panas. “Kurang ajar kamu Priono. Kamu yang membawa aku ke sini. Kurang ajar kamu. Antarin ke Ki Dargo aku mau pulang,” kataku dengan keras.
Suamiku ketakutan. Ia tidak menduga bila mendapat bentakan seperti itu. “Kalau tidak, istrimu aku bawa,” ancam jin yang menguasai diriku. “Jangan. Istriku jangan dibawa,” Mas Pri mempertahankan diri.
Akhirnya aku dibawa kembali ke padepokan Ki Dargo. Di sana, aku tidak kerasan. Aku tersiksa dengan bisikan-bisikan yang terus terngiang di telinga. “Syetan. Syetan. Syetan.” Bisikan ini terus membuntuti kemanapun aku pergi. Sampai akhirnya salah seorang murid Ki Dargo mencoba mengusir bisikan itu dengan memasukkan jin ke dalam diriku. Ia bermaksud mengusir jin dengan jin yang ia masukkan. Tapi hasilnya nihil. Jin murid Ki Dargo dikalahkan oleh jin yang telah menetap dalam diriku.
Melihat kenyataan itu, akhirnya Ki Dargo memutuskan untuk mewariskan ilmu tenaga dalamnya kepadaku. Ia berharap dengan mengamalkan ilmu ini, pada akhirnya jin itu akan kalah seiring dengan perjalanan waktu. Aku tidak tahu, apa motif dibalik pengajaran ilmu tenaga dalam itu. Kedatanganku ke sana bukanlah untuk mencari ilmu, tapi jin yang ada dalam diriku ingin dipulangkan ke Maluku. Ia merasa tidak bisa keluar dengan sendirinya dari tubuhku.
Aku tirakat. Tidak makan dan tidur sehari semalam. Setelah itu aku disuruh makan silet dan kaca. Aku tidak mau. Keinginanku bukanlah untuk mendapatkan kekebalan. Setiap kali ke padepokan Ki Dargo, aku bukannya diobati, tapi diberi amalan-amalan baru berupa mantra Jawa. Aku disuruh merapal mantra-mantra itu. hasilnya penyakitku bukannya sembuh, tapi aku semakin kuat. Pukulanku semakin mematikan. Akibatnya aku mudah marah kepada suami. Dan dengan ringan, aku pukul Mas Pri bila dia melakukan kesalahan. Bukannya sembuh. Justru melahirkan masalah baru.
Di lain waktu itu bisikan jahat itu memprofokasi untuk bunuh diri. “Reputasi kamu sudah habis. Sudah dibikin malu di Banyuwangi. Sekarang, kamu bunuh diri saja. Kamu gantung saja di pohon mlinjo,” bisikan itu terus terngiang di telinga. Aku terpengaruh. Tanpa sadar aku berteriak, “Talinya mana, aku mau gantung diri.”
Orang-orang segera mengamankan tali dari jangkauanku. Aku semakin kalut. Dalam kondisi seperti itu, aku tidak ingat pada anak atau suami. Aku tidak kenal siapapun. Yang kutahu, aku hanya ingin dipulangkan ke Maluku.
Kegagalan Ki Dargo tidak membuat keluargaku menyerah. Mereka terus berusaha mencari pengobatan alternatif. Setiap orang bilang, di sana ada dukun bagus, dia diundang ke rumah. Sampai karena sedemikian parahnya, aku pernah disuruh makan ekor kucing hitam. Keluargaku menuruti permintaan sang dukun. Dan merelakanku makan ekor kucing. Di lain waktu, ada dukun yang menyuruh menaruh tulang babi di bawah tempat tidurku.
Keluargaku juga membawaku berobat ke psikeater, tapi tidak banyak membawa perubahan. Karena ujung-ujungnya hanya dikasih obat penenang.
Suatu ketika, Mas Pri kembali bertugas di Maluku. Di sana, ia bertemu dengan tetua adat yang dulu memberi air sebotol. Ia menceritakan semua peristiwa yang menimpaku. Entah apa yang dipikirkan tetua adat itu. hingga ia memberi suamiku tiga botol air. Katanya aku harus dimandikan dengan tiga botol air itu.
Mas Pri senang. Ia berharap tiga botol air dati tetua adat itu bisa menyembuhkanku. Hingga hari itu pun ia langsung pulang. Jam lima sore, aku dimandikan. Katanya, biar syetannya tahu rasa.
Tapi yang terjadi kemudian justru kebalikannya. Jam dua malam, terdengar suara berdentum di lantai atas. Seperti ada yang meletus.  Keesokan harinya, anakku yang kedua muntah-muntah dan harus dirawat di rumah sakit. Anak pertama juga menyusul diopname. Tidak lama kemudian, aku juga harus dirawat karena demam yang tinggi. Melihat gelagat yang kurang baik itu akhirnya aku dibawa ke Semarang kembali. Ibu bahkan menyuruh menjual rumah di Banyuwangi.
Pertemuan dengan Majalah Ghoib.
Aku pindah ke Jakarta ketika suamiku ditarik ke kantor. Waktu itu aku sedang hamil anak yang ketiga. Setelah kelahiran anak ketiga aku mulai sakit lagi. Makin parah. Kali ini, aku sudah menuntut cerai dari suamiku. “Sudahlah Mas, aku sudah tidak kuat. Aku minta cerai.  Pokoknya aku mau pergi dari sini. Anak-anak kamu ambil semua.” Aku mulai kebingungan.
Mas Priono sadar bahwa itu bukan dari diriku. Gangguan dari jin itu kembali muncul setelah aku mulai banyak membaca Al-Qur'an dan mendekatkan diri kepada Allah. Beruntung, pada saat itu istilah ruqyah sudah tidak lagi asing di masyarakat. Sehingga tetangga menyarankan agar aku mengikuti terapi ruqyah di kantor Majalah Ghoib.
Ketika aku menghubungi kantor Majalah Ghoib, aku disarankan untuk mengikuti terapi ruqyah di Ghoib Ruqyah Syar’iyah cabang Ciputat. Salah satu cabang terapi ruqyah dari Majalah Ghoib yang lebih dekat dengan tempat tinggalku.
Aku tidak sabar lagi. Kupanggil taxi dan kubawa ketiga anakku. Sementara suami yang masih di kantor kuminta segera menyusul ke tempat terapi ruqyah ke Ghoib Ruqyah Syar’iyah cabang Ciputat.
Saat dibacakan ayat-ayat Al-Qur'an oleh Ustadz Endang, aku langsung teriak, “Aku mau pulang. Mau pulang.”  Aku terus berteriak dan memberontak.  Jin itu masih belum mengaku darimana asalnya. Dia hanya tertawa dan berbelit-belit ketika ditanya.
Setelah terus dibacakan ayat Al-Qur'an, akhirnya jin itu mengaku bahwa dia berasal dari kuburan. “Aku mau pulang. Tapi aku harus bawa Kusminah,” kata jin dari kuburan itu. “Kamu pulang sendiri,” jawab Ustadz Endang. “Dulu perjanjiannya gimana? Aku mau bawa Kusminah.”
Jin dari kuburan itu tidak mau pulang tanpa diriku. Ia juga mengaku dia masuk melalui air kembang yang dibawa suamiku dari ritual larung sajen di laut Maluku.
Pengakuan jin itu mengingatkanku kembali kepada masa silam. Saat aku menginjakkan kaki di tanah Maluku. Menurut cerita yang kudengar dari tetangga di perkampungan nelayan. Tempat larung sajen itu memang berada di atas kuburan. Dulu, karang di tepi laut itu berupa daratan. Seiring dengan waktu, ia terkikis dan menjadi bagian dari laut. Di sanalah Tetua adat biasa mengadakan larung sajen.
“Yang ngasih minum itu Priono. Yang nyuruh Tetua adat,” jin dari kuburan itu terus ngedumel.
“Aku diikat di badannya Kusminah. Aku tidak bisa keluar,” celoteh jin itu. Suamiku pucat pasi mendengar pengakuan jin dari kuburan. Ia tidak mengira bila diriku akan dijadikan tumbal nelayan.
Sepulang dari Ciputat, aku tetap memutar kaset ruqyah di rumah. Akibatnya aku kembali melolong minta tolong. “Tolong-tolong, aku mau pulang. Aku sudah tidak suka di badan Kusminah.” Lain kali dia mengancam suamiku. “Priono. Bilangin Tetua adat sana, aku mau pulang. Kalau tidak aku bunuh ibu kamu. Aku bunuh siapa saja.”
Di lain kesempatan jin itu merajuk seperti anak kecil. Ia merayu suamiku. “Anakku sayang, Priono, ke sini aku pangku nak,” katanya. “Sini sayang. Aku pulangin ya nak. Kamu anakku. Pulangin aku.” Ia selalu mengulang kata-kata ingin pulang. Karena ia merasa tersiksa berada di badanku. Sudah lama ia menetap di sini, dan ia ingin bebas. “Kalau aku sampai mati, tetua adat mati,” ancamnya lagi.
Mas Pri mencoba menghubungi Danang di Maluku. Waktu itu Danang minta dikirim baju yang sudah kupakai dan masih ada keringatnya. Hanya saja dia baru bisa melakukan ritual pada hari Jum'at.
Suamiku ketakutan, sampai akhirnya dia hampir saja mengabulkan permintaan Danang. “Gimana ya kalau baju kamu kukirim ke Danang. Kalau tidak, kamu sendiri yang ke sana naik pesawat,” kata Mas Pri. “Aku tanya ke Ustadz Endang dulu,” jawabku. Aku tidak mau mengabulkan keinginan Mas Pri sebelum konsultasi dengan Ustadz Endang. Ketika akhirnya ustadz tidak mengizinkan, Mas Pri tidak jadi mengirim pakaianku ke Maluku.
Jalan yang kutempuh hanya mengintensifkan ruqyah. Karena dari pengalaman selama ini, inilah jalan terbaik untuk mengeluarkan jin dari dalam diriku. Aku tidak jemu-jemunya untuk terus ruqyah di rumah atau di Ciputat. Karena pada dasarnya, aku mengalami gangguan di malam hari. Siang hari, kesadaranku muncul kembali dan aku bisa melakukan aktifitas seperti biasa.
Hingga suatu malam, jin itu menyerah. Ia keluar sekitar jam sembilan malam. Dua jam setelah utusan dari kantor pulang dari rumahku. Waktu itu aku tidur. Anakku yang pertama juga tiduran di sampingku. Anak yang kedua aku dekap dengan erat. Saat itulah aku melihat bayangan seperti asap hitam naik dan menembus atap rumah.
Anakku yang kedua melihat peristiwa bersejarah dalam hidupku itu. Seperti seorang anak yang melepas kepergian orang lain. Anakku mengucapkan salam perpisahan. “Dada mamaaa,” sementara anakku yang masih bayi menangis keras.
Entahlah, apakah ada hubungan antara keluarnya jin itu kedatangan utusan kantor ke rumah, aku tidak tahu pasti. Yang jelas, sekarang aku mulai menata kembali kehidupanku bersama suami dan anak-anak setelah sekian lama terganggu.
http://ruqyahmajalahghoib.blogspot.com/ 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar